Sri mengambil jadwal kuliah siang hari ini. Seusai menuntaskan sarapan yang hanya segelas air mineral, dia melepas keberangkatan sang calon suami dan calon putra meraih masa depan mereka.
Juan heran, selama acara sarapan bersama tadi Sri tak menyentuh apapun yang terbilang menggiurkan di meja. Sri hanya beralasan belum terbiasa sarapan terlalu pagi. Dia akan melanjutkan sarapan di huniannya.
Sri bukan tak terpesona aroma surga dunia yang mengitari meja makan saat sarapan tadi. Sebuah asumsi berkelebat dalam benaknya. Apakah dia sanggup menelan sesuatu yang didapatkan dari hal yang hukumnya meresahkan hati? Bahkan segelas air putih dalam gelas kaca yang ada dihadapannya saat sarapan, berasal dari air mineral yang dibayarnya pada kantin kampus kemarin. Alat bayarnya dari hasil kerja sambilan mencuci peralatan masak di sebuah depot makan.
Sri duduk termenung pada serambi huniannya yang terpisah sebuah kolam renang pribadi luas dengan bangunan utama. Dia dapat langsung menyaksikan aktifitas pagi para karyawan di istana itu.
Bayangan pasutri setengah baya tiba-tiba berkelebat dalam benak Sri. Diraihnya benda pipih yang tergeletak pada bangku kayu tak jauh darinya. Setelah beberapa kali menggeser tampilan layar, nada sambung menyentuh gendang telinga Sri.
Terdengar suara serak memberi salam. Sri membalas salam dengan santun dan hangat. Akhirnya suara yang dirindukan menghampiri gendang telinganya.
Ayah dan Ibu Sri bergantian mengabarkan keadaan mereka di pulau seberang. Sri antusias mendengarkan dan sesekali memberi tanggapan.
Sri membuka suara setelah menghela napas. "Ayah, Sri boleh minta tolong?" tanyanya pelan.
Suara sang ayah meninggi kaget. "Apa ada sesuatu yang telah terjadi?"
Sri menarik napas dalam-dalam. "Renteneir Juan Monarch menangkap Sri dan dia ingin menikahiku. Kami akan menikah beberapa minggu lagi."
Suara terkejut sang ayah menjelma santai. "Kalau itu bukan hal yang buruk. Dia duda dan sendiri jadi tidak ada salahnya dia berencana menikahimu."
Dahi Sri mengernyit heran. "Kenapa ayah bisa bilang seperti itu?"
"Karena Juan sudah meminta restu ayah." balas Jimin dengan mudah tanpa bersalah.
Sri menjerit pada lubang speaker.
Ayah Sri mendengus kesal. "Semakin lama semakin tidak tahu sopan santun, ya?"
Sri membungkam bibirnya. "Maaf, Yah! Sri tak bisa menikahi orang tua itu." gerutu Sri penuh penyesalan.
"Apa?" teriakan sang ayah semakin menaikkan jumlah oktaf.
"Seperti yang Sri bilang tadi." sahut Sri kalem sekuat tenaga menahan gemuruh dada.
"Juan bukan orang tua. Dia masih lima puluh tahun dengan wajah tampan dan tubuh atletis proporsional." lanjut Jimin emosi.
Sri meraih rambutnya kuat-kuat. "Ayah, Sri butuh pertolongan tapi ayah menertawakan anakmu ini?"
"Siapa yang tertawa? Aku serius memberikanmu nasihat!"
Sri menekan dadanya yang sesak. "Baik, terima kasih atas nasihat ayah!"
Sri menekan sesuatu berwarna merah pada layar ponselnya sebelum sang ayah merangkai kalimat balasan.
***
Sri menenggelamkan kedua betisnya pada dinginnya air kolam renang. Kepalanya tiada henti beroperasi. Namun benaknya bergeming kusut. Otaknya seolah tersesat dalam jalan buntu. Terpenjara tingginya dinding kenyataan. Pikirannya seolah telah menemui batasnya. Ketika dukungan kedua orang tuanya berpihak pada Juan, awan hitam bagai berarak menyelimuti atmosfir.
Paras Sri menengadah langit pagi yang benderang saat kemarau panjang. Kepalanya semakin menantang gumpalan awan. Bukan karena matanya terpesona silau yang menyakiti retina, tapi hanya untuk menahan kelenjar air mata yang bisa tumpah kapan saja.
Teriakan suara pria dewasa menyentil gendang telinga Sri. "Juan! Juan! Keluar kamu! Aku akan membunuh calon istrimu!"
Sri membatu. Suara yang berkali-kali menggelegar marah itu begitu dikenal memori otaknya.
Manik mata Sri beredar mengikuti beberapa asisten istana Juan yang menghambur panik melewati serambi belakang rumah menuju ruangan utama. Seoarang asisten juru masak yang berlari di belakang, menahan langkahnya.
Paras sang asisten juru masak berpaling pada Sri yang terpekur di tepi kolam.
Tangan sang asisten juru masak wanita itu melambai cepat. "Nona Jasmine, tolong anda bersembunyi sekarang juga."
Teriakan amarah semakin terdengar lantang, "Dimana perempuan itu? Dimana perempuan yang sudah merayu Juan? Aku akan membunuhnya!"
Sri membelalak kaget. "A ... A ... Arch." gumamnya.
Asisten juru masak mengangguk sepakat. "Tuan Muda Arch datang dan beliau sudah mendekat!" paparnya dengan nada rendah.
Sri terperanjat. Niat ingin melesat secepat kilat terkendala beban berat sepasang kaki yang terendam kolam.
Benar saja, hanya dalam hitungan detik sosok tinggi gagah berbalut kemeja menyeruak kerumunan karyawan Juan yang seolah menghadangnya. Arch menerobos paksa kepungan orang-orang hingga langkahnya menutup di hadapan seorang asisten juru masak.
Sang asisten juru masak muda segera memalingkan parasnya dari arah kolam renang.
Mata Arch menyipit tajam. " Apa yang baru saja kamu perhatikan di sana?"
Jemari sang asisten juru masak bergetar. Kepalanya menunduk cemas.
Arch geram. Jemari kanannya menyibak helaian lembut yang menjuntai hingga kening sebelum melempar pandangan pada kolam renang.
Matanya membola penuh ketika sebuah lengan menjulur ketakutan pada permukaan kolam renang.
"Astagfirullah, siapa dia? Kenapa kalian hanya diam saja?" teriak Arch emosi.
Pandangan para karyawan Juan berpaling pada kolam renang setelah Tuan muda mereka mengambil langkah seribu menghampiri tepi kolam renang. Para karyawan bergerak gelisah. Keringat dingin mulai mengaliri permukaan kulit mereka.
Seorang tua berwibawa, kepala pelayan kepercayaan Juan segera memegang kendali memberikan arahan untuk anak buahnya melakukan tugas mereka memberi sokongan pada Tuan Muda.
Arch meluncur pada genangan kolam renang sedalam dua meter setelah melempar kemeja kerjanya sembarangan. Tubuhnya melayang gesit pada permukaan air. Lengan kokohnya segera meraih tubuh seorang perempuan mungil. Dia bersusah payah menepi bersama seorang makhluk bumi yang tak mengenal sifat air.
Dua pria supir pribadi Juan menyambut sang tuan muda di tepi kolam. Mereka berupaya mengeluarkan si perempuan dari tepi kolam.
Seorang asisten kebersihan pertama merentangkan sebuah handuk panjang sebelum dua supir Juan memposisikan tubuh mungil pada permukaannya.
Seorang asisten kebersihan kedua segera menyelimuti si perempuan dengan handuk tebal yang lain.
Terdengar napas tersengal-sengal sang perempuan sebelum terbatuk hebat memuntahkan air berkaporit cukup deras.
Arch beranjak dari kolam renang tergesa. Langkahnya mengayun cepat menghampiri sang korban. Sepasang lututnya menekuk di hadapan perempuan basah kuyup tak berdaya itu.
Arch menepuk pipi sang perempuan berkali-kali sebelum dia membuka matanya yang bulat kelereng.
Arch menggeleng heran menatap makhluk beda jenis kelamin darinya itu. Makhluk mungil yang belum genap dua puluh tahun tapi memiliki kegemaran bersahabat dengan mara bahaya.
Kelopak mata Sri menegang. Bayangan pria yang selalu mengusik relung kerinduannya terpantul tepat pada retinanya. Pria berdada bidang dengan cetakan serupa susunan delapan batu pada otot perutnya. Lengan Arch terulur menopang punggung Sri untuk bersandar pada seorang wanita asisten kebersihan kedua.
Asisten juru masak menyorongkan segelas minuman hangat ramuan rempah. Sri perlahan menyesap aroma kuat jahe. Tenggorokan hingga ujung jari kaki seketika terlepas dari belenggu kebas.
Arch menyipit. Kedua lengannya saling bertumpu.
Bibir Sri bergetar. "Te ... te ... te...."
"Simpan saja terima kasihmu!" sela Arch cepat.
Sri menggigit bibirnya cemas.
Arch mendesah berat. "Apa yang kamu lakukan di rumah ini khususnya di kolam renang itu hingga hampir tenggelam untuk yang kedua kalinya, Sri?"
Sri menahan tangisnya. Entah apa yang harus diungkapkannya sebagai jawaban pertanyaan sederhana yang terdengar seperti putusan pengadilan.
Seorang asisten juru masak menghampiri Arch. "Saya meminta maaf atas kejadian ini, Tuan Muda Arch! Nona Jasmine Sri pengajar privat Mas Hal. Dia berkunjung ke rumah ini karena undangan makan pagi Tuan Besar Juan sekaligus memberi informasi tempat les Mas Haliastur yang baru."
Sri melirik sang asisten juru masak tak percaya. Bagaimana mungkin dia mempertaruhkan pekerjaannya hanya untuk melindungi Sri dengan dusta.
Arch beranjak dari kedudukannya. "Lalu mengapa dia bisa jatuh ke kolam renang."
Asisten juru masak menunduk sesal. "Semua kesalahan kami kurang memperhatikan tamu karena sibuk mempersiapkan sarapan untuk Nona Jasmine Sri. Mungkin tanpa sengaja Nona Jasmine Sri terpeleset."
Arch mengangguk samar. "Baik, alasanmu bisa diterima. Aku memang jarang sekali pulang ke rumahku beberapa minggu ini. Kalian urus dia dengan baik. Aku harus segera pergi. Aku masih banyak pekerjaan."
Arch meraih kemeja kantor yang tergeletak di tepi kolam sebelum kembali menutupi keindahan otot tubuhnya.
Sri memaksa raga lemahnya beranjak tertatih dengan batuan asisten kebersihan kedua yang menyokong tubuhnya.
"Arch, tunggu!" teriak Sri, "Aku mencarimu selama ini. Kamu akan pergi lagi ke mana?"
Pada langkah ketiga, tungkai Arch tertahan. Dia hanya setia bergeming pada pijakannya.
"Arch!" panggil Sri lagi.
Terdengar tawa mencemooh sang pria dari balik punggungnya. "Sudah tidak memanggilku dengan sebutan Om? Hanya panggilan Arch? Lalu apa artinya itu?"
Bibir Sri bergetar. "Itu...."
Paras Arch menoleh sebagian. "Apa yang aku lakukan bukan urusanmu dan tidak ada hubungannya denganmu!"
Setetes air mata membentuk aliran panjang melintasi dagu. "Urusanmu memang bukan urusanku begitu juga kekhawatiranku padamu juga bukan urusanmu." balas Sri gelisah.
Arch melirik Sri melalui ekor matanya sebelum memejamkan erat-erat. Arch membuang parasnya kasar lalu kembali membiarkan Sri menatap punggungnya.
"Kalian semua harus melayani Nona Sri dengan baik. Sajikan makanan yang istimewa dan berikan pakaian yang pantas. Setelah itu antar dia pulang." titah Sang Tuan Muda.
Dua supir keluarga tercengang. Mereka saling melempar tatapan heran.
Arch menambah volume nada suaranya ketika tak terdengar tanggapan apa-apa. "Kalian mengerti?"
Para karyawan istana Juan segera menimpali perintah atasan. Mereka menjawab lantang dengan keraguan.
"Untuk kamu Sri. Jika kepentingan sudah selesai segera pulang. Aku tidak ingin kamu terlalu akrab dengan Juan ataupun Leo!"
Sri mengernyit. "Tapi Leo sahabatku...."
Arch menggenggam gerah. "Ini perintahku! Aku tidak ingin Juan dan Leo jatuh cinta padamu. Aku tidak suka hal itu terjadi."
Sri bersusah payah mengayunkan langkah cepat. "Aku bukan siapa-siapamu. Kamu tak berhak memberiku perintah! Aku benci kamu Arch!"
Teriakan Sri menggelegar bersama dengan kedua lengannya yang menolak punggung Arch kuat-kuat.
Mendadak keseimbangan Arch diuji hingga raganya terlontar dalam sergapan air berkaporit.
Sri segera melarikan diri melintasi ruang utama dan pagar besi depan.
***