Arch pasrah kemudi sedan gelapnya dikendalikan staff keamanan kantor suruhan ayahnya. Dia hanya duduk angkuh menumpu kaki pada bangku penumpang belakang. Pandangan datar menembus kaca depan melintasi celah antara dua bangku kabin.
Staff super setia sang tuan besar itu mengawal langkah sang tuan muda sulung setelah mengamankan mobil majikan pada lahan parkir VIP.
Pria muda pemberani melenggang gagah sebagai perisai pewaris tahta sang tuan besar di belakang punggungnya. Dia membimbing sang pangeran menuju sebuah meja yang berada dalam ruangan khusus pada sebuah restauran kelas atas.
Tuan besar masih gagah dalam usia setengah abad itu tengah menyesap segelas minuman hangat pada mejanya. Setelan hitam berbalut jas hitam menyelimuti kulit cerahnya.
Sang staff dipersilakan masuk setelah beberapa saat mengetuk daun pintu ruangan khusus. Kepalanya menunduk hormat satu kali kemudian berlalu menyisakan sang anak majikan.
Arch mendaratkan tubuhnya pada permukaan kursi sepeninggal sang staff keamanan. Mata elangnya menyorot dingin pada sosok di hadapannya. Kini raga mereka hanya terpisah sebuah meja marmer mewah.
Tuan besar Juan meletakkan cangkir beserta tatakannya pada permukaan marmer. "Silakan pesan makan dan minum."
"Saya sudah tidak mengingat lagi tentang rasa lapar. Silakan anda langsung berbicara pada pokok permasalahan." balas Arch tenang.
Juan mengangguki. "Kalau begitu katakan siapa dia?"
Dahi Arch mengernyit. "Dia? Dia siapa?"
Sebelah alis Juan meninggi. "Wanita yang kau nikahi secara diam-diam."
Rahang Arch mengeras. "Jika perbincangan kita tidak masuk akal, aku akan pergi."
Juan meraih lengan jas Arch sebelum sang putra beranjak meninggalkan tempat duduknya.
Arch melirik tajam pada cengkeraman jemari Juan. "Tuan Besar, saya mohon jangan buang waktu saya."
Paras sang ayah semakin mencekam. "Aku serius, Arch!" sahut Juan tegas.
Arch mengalah. Tubuhnya kembali bersinggungan dengan meja makan setelah Juan melonggarkan jemarinya.
"Katakan siapa wanita yang kau nikahi? Ayah juga ingin mengenal menantu ayah." tanya Juan sedikit melunak.
Arch mendesah lelah. "Berita murahan itu berasal dari mana?"
Juan melipat lengannya sementara sepasang kaki jenjang saling bertumpu. "Pertama, putri sahabat ayah sepihak membatalkan perjodohan. Hal itu diperkuat dengan penuturan orang-orang kepercayaan ayah."
Arch memutar retinanya bosan. "Maksud ayah trio lawak itu?"
"Mereka mengetahui dengan pasti ketika seorang wanita hamil memintamu kembali padanya dan ketika kamu membawa seorang wanita ke rumah sakit pada kesempatan lain."
Arch termenung. Benaknya seolah menjelajahi kenangan yang telah terekam dalam sel-sel otaknya.
Pelita khayalan benderang pada otaknya. Bayangan seorang gadis unik yang gemar bergonta-ganti identitas menyelinap benaknya. Bagaimana mungkin Arch baru menyadari hubungan keuangan rumit antara orang terdekatnya dengan si gadis aneh. Sepenggal demi sepenggal adegan yang bermain dalam hidupnya akhir-akhir ini mulai menemui titik terang. Firasat ambigu seolah meremas aliran darahnya.
Juan sekuat tenaga menahan bara dalam dada karena kebisuan sang putra. "Kamu punya pembelaan."
Arch terkekeh. "Aku tidak punya pembelaan hanya saja aku punya penjelasan."
"Katakan!"
Arch menghisap udara pelan. "Wanita hamil yang pertama salah mengenali aku sebagai suaminya. Aku belum sempat menjelaskan, anak teman ayah sudah pergi. Wanita yang kedua sebenarnya bukan seorang wanita. Dia masih belia. Gadis itu korban keusialan anak bungsu ayah. Dia ada di kamarku dalam keadaan kurang bertenaga. Aku membawanya ke pelayanan kesehatan terdekat."
Juan mendesah begitu lama. "Baiklah. Rencana perjodohan pertama gagal, ayah masih bisa memaafkan."
"Aku tidak meminta maaf." celetuk Arch angkuh.
Kepalan tangan Juan membentur permukaan meja. "Masa bodoh dengan kata-katamu. Bulan depan kamu harus sudah menikah!"
Arch begitu tenang tak tersulut.
Juan beranjak geram. "Danaus Monarch bulan depan kau harus menikah dengan apapun itu asalkan wanita!"
"Kenapa pernikahanku menjadi obsesi ayah? Ayah saja yang menikah!"
Juan beranjak kasar dari tempat duduknya. Sepasang tangan kekarnya merapikan lekukan halus pada material mewah yang membalut tubuhnya.
Arch membuang lirikan pada arah yang berlawanan.
Juan melipat lengannya. Seringai menghiasi paras dewasa tampan itu.
"Baik, jika itu kemauanmu. Ayah secepatnya akan menikah dengan gadis yang lebih muda darimu."
Kalimat provokasi andalan biang keladi secara menakjubkan meluncur dari bibir sang kepala keluarga. Arch yang kurang persiapan beranjak kaget dari mejanya. Alur kenyataan sedikit terasa pahit melebihi prediksinya sehingga tiada amunisi untuk membalas keputusan sepihak sang ayah.
Kedua tangan Arch mengepal pada permukaan meja. "Jangan pernah lakukan meskipun hanya dalam angan-angan."
Kedua pasang iris jernih beda warna beradu tajam. Selanjutnya hanya kebisuan menjadi saksi perdebatan keduanya.
Juan membuang tatapannya sebelum berlalu membentangkan jarak dengan sang putra sulung. Pria dewasa sparuh abad itu melenggang gagah tanpa menebar senyuman. Sang putra yang jauh di belakangnya hanya bergeming pada posisinya. Ancaman sang ayah sedikit mengusik pondasi batu karangnya.
***
Sri beberapa kali mengubah lipatan sepasang tungkainya pada permukaan permadani ruang tengah. Sebuah meja persegi menjadi pemisah dirinya dengan seorang anak laki-laki tampan yang berbahaya. Bocah iseng yang hampir mengusir nyawa Sri dari raganya.
Haliastur menekuri lembar demi lembar halaman buku kumpulan soal yang tergeletak pada permukaan meja. Sepasang matanya berpretensi mengikuti barisan pertanyaan pelajaran sains di sana. Sesekali bola matanya bergulir pada gadis pengajar privatnya. Iris mata cerah itu memicing ragu dan bergegas membuang muka saat tertangkap basah.
Sri yang berperan sebagai Jaminten meninggikan sebelah alisnya. "Kakak Hal ada kesulitan?" sapa Jamin ramah.
Haliastur menunduk dalam gelengan kepalanya. Anak laki-laki itu meraih buku kumpuln soal sebelum menegakkannya setinggi wajah.
Paras Jamin bergeser menghampiri sang bocah. Bibirnya yang antik hampir menyentil sampul buku Haliastur. Halistur segera menarik tubuhnya.
"Kak Hal ingin menyampaikan sesuatu?"
Hal bergeming.
Jamin tersenyum palsu di balik hatinya yang waspada. "Jika ada yang ingin disampikan, Kak Jamin akan mendengarkan. Jangan malu-malu."
Hal tetap membalas dengan kebisuan.
Jamin bertopang dagu setelah mendesah kasar.
Hal mulai berdehem. Namun Jamin berpura-pura tidak tertarik.
Hal membuka suara. "Kak Jamin."
Jamin hanya bergumam menanggapi seolah tak ada yang penting.
"Aku hanya merasa bersalah," lirih bocah sekolah dasar itu.
Jamin tak mampu lagi mengubur keingintahuannya. Parasnya menoleh cepat dan mendapati sepasang bola mata mungil menyorotnya takut.
Jamin mengulas senyum lembut. Aura seorang bunda mendadak berpendar dari seluruh sisi tubuhnya. Jemari kanannya menepuk lembut ubun-ubun sang bocah.
Hal menelan ludah kelu. Perasaan hangat istimewa menjalari jantungnya.
Hal mengucap sesal dalam tundukan kepalanya.
Kepala Jamin mengangguk antusias seiring rasa was-was yang menguap entah kemana.
Jamin membelai bahu Hal. "Kak Jamin sudah memaafkan Kak Hal. Kak Hal harus janji untuk tidak mengulangi lagi."
Haliastur mengangguk masih dalam tundukan.
"Kak Hal tahu, tidak? Tidak semua orang bernasib sama seperti Kak Hal. Punya kakak-kakak yang perhatian, punya ayah yang sayang dan tinggal di rumah yang besar." tutur Jamin.
Hal memberanikan diri menengadah. Sorot matanya menerpa sang pengajar privat.
"Banyak yang tidak bisa makan bahkan tidak punya tempat tinggal. Mereka mengalami kesulitan hidup yang tak pernah kita tahu. Oleh sebab itu jangan menyakiti siapa pun. Kita harus berbuat baik pada siapa saja. Siapa tahu kebaikan kita bisa mengurangi penderitaan mereka."
Bibir Hal bergetar. "Iya, Kak!"
Bi Ayu tergopoh-gopoh menuju ruang tengah. Tangan kanan wanita berbalut daster panjang itu menggenggam keranjang belanja dan tangan lainnya mengusap dahi kasar.
"Mbak Jamin, saya titip Mas Hal sebentar ya! Saya mau belanja di mini market dekat sini. Banyak bumbu-bumbu dapur yang habis." pamit Bi Ayu dengan nada tergesa.
Jamin beranjak. Kepalanya menyanggupi.
Bi Ayu bergegas menghampiri pintu utama. "Saya minta tolong pintu dikunci ya Mbak Jamin. Jangan dibuka jika ada orang yang tidak dikenal Mas Hal."
Jamin menyusul dan berusaha menggapai gerak cepat sang asisten rumah tangga. "Baik, Bi!"
Jamin memutar ujung kunci setelah Bi Ayu melintasi serambi utama. Sosok wanita setengah baya itu lenyap di balik bunyi gesekan pengait pagar besi tinggi. Tungkai gadis berbalut celana kulot panjang kembali melintasi rentang ruang tamu menuju ruang keluarga. Namun tak lama gerakannya tertahan suara ketukan pintu yang mengejutkan.
Jantung yang mendadak naik turun butuh beberapa belaian untuk meredakan sebelum kembali memutar haluan.
Jemari kanan Jamin enggan meraih gagang pintu. Sempat menduga si pelaku penggedor pintu adalah Bi Ayu, Jamin setia bertahan dengan kecurigaannya. Langkahnya perlahan mendekati jendela yang berselimut tirai putih tipis.
Matanya memicing pada siluet tiga pria urakan yang tanpa sabar menghadapi daun pintu. Para lelaki bayaran yang telah terdata dalam memori otak Jamin. Mereka terus mengetuk dengan emosi.
Jamin bergegas menghindari jendela.
Hal beranjak dari permukaan permadani ruang tengah. Kepalanya menjulur acak menelusuri keberadaan sang guru privat. Langkahnya berayun kecil setelah menemukan sosok Jamin di depan pintu ruang utama.
Bunyi debam alas kaki Hal tertahan isyarat bibir Jamin. Hal melangkah senyap menghampiri Jamin.
Teriakan pria dewasa menembus sepasang daun pintu lebar yang tertutup. "Mas Hal, tolong buka pintunya!"
Bibir Hal bergetar. "Mereka,"
Jamin membelalak. "Kamu kenal preman-preman itu?"
Hal berbisik, "Mereka anak buah ayah."
Keringat biji jagung menghujani pelipis Jamin. "Lalu apa kamu akan mempersilakan mereka masuk?"
Hal menggeleng takut. "Aku tidak menyukai mereka!"
Tiba-tiba suara hentakan daun pintu dimeriahkan oleh kepalan tangan yang beradu pada permukaan kaca jendela. Ketakutan keduanya mengganda.
Bola mata Jamin hampir meloncat ketika bersirobok dengan tatapan preman kekar yang menembus kaca jendela.
Haliastur menggenggam pergelangan tangan Jamin. " Kak, kita harus segera pergi dari sini. Aku tunjukkan jalannya!"
Kepala Jamin bergerak vertikal. Langkahnya mengikuti irama gerak kaki lincah bocah sepuluh tahunan. Mereka berlalu dari ruang utama dan menghampiri bagian rumah paling ujung yang berbatasan dengan kolam renang.
Teriakan berat kembali merambati udara ruang utama. "Mas Hal, buka pintu! Kalian mau kemana?"
Sayang, teriakannya hanyalah sebuah suara lantang tanpa kekuatan ketika tak ada gendang telinga yang menangkapnya.
.