Chereads / AKU KABUR KAU KEPUNG / Chapter 11 - Siapa Saja, Tolong Datang!

Chapter 11 - Siapa Saja, Tolong Datang!

Pagar dinding yang lebih tinggi dari tubuh orang dewasa di belakang rumah membentang mengelilingi kolam pribadi, taman hingga bersua dengan pagar besi pekarangan depan. Seonggok tangga lipat bersandar pada sisi belakang. Benda itulah bukti nyata pertolongan Yang Maha Kuasa.

Jamin dan Hal bergotong royong menegakkan tangga. Sandal karet Hal meniti anak tangga tergesa sebelum pengajar privatnya. Kedua tangan gadis itu menahan sekuat tenaga guncangan akibat hentakan kaki Hal pada susunan batangan besi.

Derap langkah beberapa pasang kaki tertangkap gendang telinga. Hal memalingkan parasnya. Retinanya menangkap tiga preman bermarathon mendekat. Bocah itu segera bertengger pada puncak dinding.

"Kak Jamin, cepat! Mereka mendekat! Aku akan menahan ujung tangga." bisiknya serak.

Nyali Jamin menguap. Kepalanya tak sanggup berpaling. Kedua tangannya secepat kilat mencengkeram erat gagang tangga sebelum sepasang tumitnya menginjak-injak anak tangga. Tubuhnya terus merangkak naik meskipun lututnya gemetar. Preman kekar berhasil meraih tangga saat Jamin telah hinggap pada bagian teratas pagar dinding.

Preman berkalung rantai berbisik misterius pada preman kekar.

Preman kekar terbelalak. "Kalian turun!"

Hal menyeringai remeh. "Baiklah!" balasnya ceria sebelum menyingkirkan tangga lipat dari puncak pagar dinding.

Tangga tergelincir menimpa dua di antaranya. Sementara preman ahli administrasi dan akuntansi tampak kerepotan memilih antara berkas dalam pelukannya atau teman yang bernasib naas. Diapun enggan bila berkas penting nyawa pekerjaannya ternoda debu.

Hal meluncur dari puncak pagar dinding dengan mulus. Sepasang lengan mungil yang kokoh menopang tubuhnya yang bergelantungan. Selesai hitungan ketiga tubuh anak laki-laki itu berayun dan mendarat tepat menginjak rerumputan kebun salah seorang warga kampung.

Jamin menduplikat gaya Hal melintasi rintangan pagar dinding. Sayang niat Jamin hanya tertahan sampai kedua tungkainya yang menjulur dari puncak pagar. Nyalinya menyusut untuk menggapai permukaan bumi.

Hal menangkap pesan ketakutan dari wajah Jamin. Mata hal menjelajahi sejauh yang dapat dijangkau. Kebun kosong belakang pagar rumahnya tampak lengang. Hanya dihuni beberapa pohon pisang yang bergoyang diterpa angin sore. Jalan setapak yang menjadi alternatif warga kampung ini pun tak ada yang menapaki. Akhirnya pandangannya jatuh pada seonggok tempat sampah yang bersandar pada satu-satunya pohon nangka tak jauh dari pagar.

Hal menggenggam dua ujung gagang tong sampah tertutup itu. Dia menyeret kewalahan benda berat tersebut menuju bawah telapak kaki Jamin.

Hal mendongak. "Ayo, Kak Jamin turunkan kakimu!"

Jamin melirik bagian bawah pagar. Sesuatu yang kokoh terlihat tegap di bawahnya. Dia menjulurkan kaki kanan perlahan hingga terasa sesuatu yang padat menyentuh alas telapak kakinya.

Hal memberi semangat. "Ayo, Kak!"

Jamin menjulurkan sebelah kaki yang lain hingga berpijak pada penutup tong sampah. Namun tampaknya Jamin belum dapat bernapas lega setelah tutup bergeser. Bagian dalam tong yang penuh sampah dedaunan kering menyambut raga Jamin dengan lembut. Jamin mendarat pada tempat yang tak pernah terbayangkan.

Sial sungguh sial. Meskipun alas mendarat memberikan jaminan keselamatan, Jamin kepayahan membebaskan diri dari kungkungan tong sampah. Hal berupaya keras mengulurkan tangannya untuk mengeluarkan Jamin. Namun semua sia-sia belaka. Tubuh sang pangeran penolong tak kuasa menggeser tubuh sang korban.

Hal terperanjat saat gendang telinganya mendengar samar-samar suara beberapa pria yang sedang berdiskusi. Sepertinya ketiga preman mengambil jalan memutar untuk menggapai kebun belakang pagar rumah kakak pertama Hal.

Hal berbisik, "Sepertinya mereka kemari, Kak!"

Jamin menelan ludah kelu. Rasanya tubuh gadis itu menggigil panik.

Hal menepuk dahinya. Sebuah kejanggalan membuatnya tersadar. "Tapi kenapa Kak Jamin harus kabur? Kakak tak kenal mereka, kan?"

Jamin mendelik. "Mereka tukang tagih utang orang tuaku. Aku tidak boleh tertangkap mereka!"

"Kita tak punya banyak waktu mengeluarkan Kak Jamin dari tong sampah. Kakak tetap bersembunyi di sini. Aku akan mencari tempat sembunyi yang lain." usul Hal masih dengah suara rendah.

Jamin mengangguk terpaksa. "Baik, aku tetap di sini. Tolong Kak Hal kirim nomor WA Kak Arch. Aku mau meminta bantuannya."

Hal mengacungkan ibu jarinya.

"Kak Hal harus berhati-hati." nasihat Jamin.

Satu anggukan terakhir membalas pesan Jamin sebelum bocah lincah itu melesat gesit mencari tempat aman untuk perlindungan.

Bibir Jamin bergerak kecil. "Bismillah, Ya Allah lindungilah Sri!" mohonnya dengan segala kerendahan hati.

Kepala Jamin yang menyembul dari lubang tong sampah perlahan-lahan kembali tenggelam bersamaan bunyi gesekan penutup tong pada keliling mulut tong sampah.

***

Selang beberapa detik telepon seluler Sri yang masih dalam genggaman Jamin bergetar menandakan ada sebuah pesan datang. Sri mendekap erat benda pipih itu dalam lengannya. Dia bergeming sejenak meraskan suara-suara dari dunia luar. Sunyi menyergap setelah suara canda tawa anak-anak kampung melintasi tong sampah dan lenyap. Suara-suara berat pria tak tertangkap lagi oleh gendang telinga Sri.

Sri mendesah pelan. Jemarinya cekatan menggesek kode kunci pribadi sebelum menuju aplikasi percakapan sosial media. Dia mengamati sebuah pesan masuk dari nomor pribadi murid lesnya. Di sana tertera sebuah deretan angka panjang milik seseorang.

Sri tanpa ragu menyimpan barisan angka tersebut kemudian menghubunginya.

Beberapa kali nada tunggu berdengung hingga di penghujung lelah sang operator menjawab santun. Sri mematikan sambungan lagi dan lagi untuk kesekian kali. Seseorang di seberang sepertinya enggan menanggapi panggilan nomor asing yang mengganggu.

Sri mengambil sikap berani saat suasana kembali sunyi. Jemari gadis itu menggeser tutup tong sampah dari dalam. Kepalanya mencuat perlahan hingga tubuhnya tegap.

Tiba-tiba ada cengkeraman kuat pada sepasang lengan Sri disertai suara tawa puas. Sri melirik dua makhluk pada kedua sisinya. Preman rantai dan preman pembukuan telah membelenggu pergerakan tubuhnya. Seorang pria dewasa berbalut gaya jalanan serta penuh perhiasan imitasi dan seorang lagi berselimut mode liar serta penghitung keuangan cermat.

Sri berupaya menghentakkan lengannya tapi gagal. "Kalian siapa? Lepaskan saya! Saya tidak kenal kalian."

Preman pembukuan terkikik geli. "Jangan bersandiwara! Kalau tidak kenal kenapa kabur saat kami bertamu?"

Sri menggigit bibirnya. "Kak Hal tidak menyukai kalian. Dia kabur jadi saya ikut kabur saja."

Preman rantai tak sanggup menghentikan tawanya. "Mas Hal itu anak majikan kami. Kami sudah tahu kamu siapa. Kamu anak dari peminjam uang yang selalu berubah warna sesuai dengan tempatnya."

Preman administrasi mengayunkan map pada ubun-ubun rekannya. "Emang bunglon?"

Preman rantai tak mau kalah. "Emang ini anak bunglon. Bisa jadi apa saja! Kamu mau protes?"

Sri sekali lagi berusaha mengentak lengannya. "Kenapa kalian yang ribut?"

Dua preman menoleh kompak. "Bukan urusanmu. Ini urusan pria."

Sri mendecih sebal. "Sekarang di mana Kak Hal?"

"Teman kami satunya sedang mencarinya dan akan membawanya pulang ke rumah ayahnya, Bos Juan." sahut Preman pembukuan.

Preman rantai membimbing Sri bebas dari tong. "Sekarang ikut kami menemui Bos Juan!"

"Tapi pekerjaanku sebagai pengajar les privat belum waktunya gajian!"

Preman pebukuan menyeringai. "Bukan masalah itu tapi masalah hutang bapakmu!"

"Bulan kemarin sudah saya bayar. Bulan ini masih minggu depan jatuh temponya. Kenapa saya harus diseret-seret begini?" protes Sri.

Dua preman masih menggiring langkah Sri dengan paksaan. "Kami ingin membantumu agar hutangmu lunas dan hidupmu sejahtera."

Sri melongo. "Kalian preman, kan? Bukan pegawai yayasan duafa?"

Bola mata preman pembukuan bergulir jengah. "Malah menghina!"

"Lalu?" selidik Sri.

Preman rantai menoyor kening Sri. "Kamu rencananya akan dinikahi ayahnya Mas Hal. Hutang bapakmu lunas dan kamu akan berhenti menjadi gembel."

Biji mata Sri menegang. "Ayahnya Kak Hal berarti ayah dari Kak Arch dan Leo?"

Preman pembukuan mengangguk kilat.

Sri kembali meronta. "Aku tidak mau menikahi bandot bangkotan!!"

Preman pembukuan menghantam pelan ubun-ubun Sri dengan map. "Belum tahu saja kamu kalau bos seratus kali lebih ganteng dari kami."

***

Sri diseret menuju istana megah tempat tinggal bos renteneir. Sri dipaksa melintasi pintu ruang utama. Kedua lengannya masih dicengkeram erat dua preman. Sri menapak takut ruang utama yang sebanding aula gedung bersamaan dengan kedatangan Haliastur. Bocah laki-laki itu tampak kesal karena seorang preman kekar selalu berada di sisinya.

Bola mata Hal membelalak kaget. "Kak Jamin tertangkap mereka," celetuknya.

Sri terus meronta. Kedua lengannya memberontak minta dilepaskan. Kedua preman masih bertahan dengan tugas mereka meskipun aroma tong sampah tertinggal di sekujur tubuh Sri.

Sesosok pria dewasa setengah abad menapak turun tangga melingkar yang menghubungkan lantai dua dengan lantai dasar. Tubuhnya berbalut kemeja pastel dan jas gelap. Celana panjang senada melapisi kaki jenjangnya.

Langkah tegapnya menghampiri dua anak buah kepercayaannya. Sepasang bola mata tajam mengintai penampakan gadis buruk rupa. Tubuh gagah itu tertahan tepat di hadapan seorang makhluk mungil berantakan.

Sri menatap takut-takut paras sang bos. Bola mata Sri sedikit melebar saat menyadari sesuatu menggelitik benaknya. Paras dewasa tampan itu pernah tercetak dalam sel memorinya.

Sang bos menaikkan sebelah alisnya. Preman rantai dan preman admin segera meluruhkan cengkeraman setelah mendengar jentikan jemari sang bos.

Sang bos bertolak pinggang. "Jon Rante! Don Admin! Kenapa kalian memperlakukan pengajar Haliastur seperti ini?"

Preman rantai menunduk sesal. "Maaf, Bos Juan! Gadis ini sebenarnya anak Jamin dan Jinten yang kami ceritakan dan rencananya akan dinikahi anda." balas Jon Rante bergetar.

Juan merapatkan parasnya pada wajah dekil gadis di hadapannya. "Kamu menghinaku, Jon?" sindirnya.

Sri mengambil gerakan ke belakang. Wajahnya berpaling ke sembarang arah.

Juan melipat lengannya di hadapan Jon Rante dan Don Admin bergantian.

Don Admin membuka suara. "Beri saya waktu, Bos!"

Don segera meraih lengan Sri kembali dan menyeretmya menuju ruangan lapang khusus mengolah masakan. Bibirnya memanggil nama seseorang beberapa kali.

Seorang wanita tua berbalut terusan batik ringan berjingkat-jingkat menghampiri ambang pintu dapur. Asisten rumah tangga senior itu mengangguk paham setelah menerima penjabaran singkat dari preman kepercayaan majikannya.

Raga Sri berpindah tangan pada jemari ringkih nan keriput. Sang wanita tua membimbing langkah Sri bersamanya dengan nada permohonan yang sopan. Sri sementara memutuskan pasrah mengikuti aliran drama yang akan bermain dalam hidupnya.

Juan, putra dan ketiga centengnya menanti sosok gadis yang akan dikuliti penyamarannya. Sekitar seperempat jam, akhirnya ketukan alas kaki Sri terdengar hingga ruang utama. Gadis itu menapaki lantai ruang utama dengan gamang. Wanita tua asisten rumah tangga segera berlalu setelah menggiring Sri menemui Bos Juan.

Kini berdiri seorang gadis mungil hampir dua puluhan dengan kulit cerah bersih dan wajah bayi menggemaskan. Bibirnya tipis, bulat dan kecil. Tak tampak lagi gigi yang selalu terdepan. Helaian lebat yang menumbuhi kepalanya bergelombang sepanjang bahu. Raganya padat, berisi dan penuh nutrisi.

Haliastur menyambut Sri takjub. "Jadi ini Kak Jamin yang sebenarnya?"

Sri mengangguk pelan.

Preman kekar menyusul sang putra bungsu majikan. "Mas Hal, nama dia sebenarnya Jasmine Sri Puspasari bukan Jamin. Dia gadis yang selama ini dicari Bos Juan."

Hal berpaling pada si preman. "Apa maksudmu, Tom?"

Tom membisu. Lidahnya mendadak kelu untuk memaparkan kenyataan dewasa pada anak-anak.

Juan Monarch menyeringai puas. Mata setajam bidikan anak panah menghujam sosok sempurna di hadapannya. Derap alas sepatu pantofel si pria terlampau dewasa yang mengetuk lantai seperti irama hukuman pada telinga Sri. Juan mengikis jarak antara mereka.

Juan mengamati pahatan paras bidadari pada gadis di depan matanya. Senyum misterius tersungging di sudut bibir sang pria.

Aroma segar hutan pinus menembus indra penciuman Sri. Gadis itu menahan genderang dalam dadanya yang begitu nyaring. Darahnya berdesir begitu cepat. Pria dewasa mempesona itu hanya terpisah udara kosong dengan raga Sri.

Aura Juan begitu kuat bagai magnet bumi. Dia tampan, menawan, angkuh dan arogan. Sosok yang hampir menyerupai pria yang sering diganggu Sri tanpa sengaja. Pria yang usianya jauh lebih muda, pewaris utama sang bos kekuasaan.

Juan melipat lengannya. "Jasmine Sri Puspasari, minggu depan kita menikah dan hutang keluargamu aku nyatakan lunas."

Sri meraih ujung jas hitam Juan sebelum sang pria berlalu. "Tapi saya masih terlalu muda dan belum siap menikah, Pak Dhe!"

Juan menghela napas berat. "Jon, Don dan Tom, bawa calon Nyonya Juan pada bangunan satunya di belakang kediamanku ini. Kami belum resmi jadi dilarang tinggal dalam satu atap."

Jon Rante, Don Admin dan Tom gogot bergegas mendampingi Sri dari beberapa sisi.

Sri sekali lagi menahan lengan jas Juan. "Pak Dhe, jangan kurung saya di sini! Saya punya banyak aktifitas. Saya kuliah, kerja sambilan dan membantu menjaga kebersihan masjid agung."

Tatapan dingin Juan menyipit geli. "Saya ijinkan kamu melanjutkan kuliah tapi kamu tidak perlu bekerja. Kamu akan menjadi ratu saya. Jika ingin berbuat kebaikan di tempat ibadah biar orang suruhan saya menemanimu."

Sekali lagi tatapan Juan menyebabkan jantung Sri berdentum seperti meriam. Tatapannya tak beda dari putra pertamanya yang kini membekas dalam benak Sri. Entah mengapa tiba-tiba Sri merindukan pertemuan takdir bersama Arch.

Juan menepuk bahu Sri. "Kepala pelayan saya Bi Mijay dan staf-stafnya akan setia melayanimu. Semoga betah."

Bola mata Sri beredar gusar.

Juan berbisik, "Satu pesan saya. Jika kamu mencoba kabur, perkawinan akan lebih cepat dari pernikahan."

Sri menelan ludah panas. Raganya seolah terjebak dalam lubang arang yang siap melahap segala cerita hidupnya.

Sri masih bergeming sepeninggal Juan. Gadis itu tak sempat mendapati seringai jahil sang duda kaya raya. Pria itu melenggang meninggalkan kediamannya dengan bersenandung kecil. Sepertinya virus merah jambu yang lama kelabu kembali berwarna.

Haliastur memeluk pinggang Sri dengan girang. "Kak Jasmine Sri Puspasari sebentar lagi akan menjadi mamaku!"

Apakah tepat waktunya untuk tak sadarkan diri saat ini? Batin Sri.

***