Chereads / AKU KABUR KAU KEPUNG / Chapter 12 - Misteri Para Pangeran Yang Hilang

Chapter 12 - Misteri Para Pangeran Yang Hilang

Sri berduka dalam geleming harta. Hatinya gundah gulana ketika berlian menaburi raganya. Putri sultan istana kuliner yang sempat menggembel kurang lebih satu bulan kembali menemukan jati diri.

Sri meminta para anak buah Juan Monarch menjaga rentang yang aman ketika di kampus. Gadis mungil tuan putri kembali menduduki strata ekonomi atas bahkan paling puncak.

Sri menjulurkan sebelah kaki dari daun pintu sedan mewah yang terbuka. Tubuhnya melintasi ambang pintu sedan dengan anggun. Sri berdiri tegap menantang gedung megah tempatnya menimba ilmu. Dirinya menginjak bumi kampus dengan aura kemewahan yang kembali pada raganya.

Sri masih bersahaja seperti sebelumnya. Dia berbalut kemeja polos dan celana bahan panjang potongan kulot. Kakinya terlindungi sepatu datar warna netral. Rambutnya tergerai indah menggapai bahu. Penampilannya terlalu sederhana hingga segala yang membalut tubuhnya tak akan ditemukan di dalam negeri.

Calon suami Sri begitu cerdas hingga mengamati apa yang selalu nyaman untuk gadis muda itu. Pakaian bersahaja yang mendukung kegemarannya. Bersahaja dalam pandangan awam belum tentu biasa dalam kenyataannya. Warna- warna lembut dengan dana yang membuat terkejut.

Sri melenggang mantap sepanjang koridor lantai dua menuju sebuah ruangan perkuliahan. Hampir sebagian ruang kelas terisi makhluk hidup. Langkah santai Sri melintasi ambang pintu. Raganya menghampiri bangku terdepan yang masih sepi penghuni.

Dia mendaratkan tubuhnya. Pandangannya beredar estafet dari satu sudut menuju sudut yang lain. Namun tak mendapati seorang sahabat yang dirindukan keberdaannya.

Sri mendesah panajang.

Seorang gadis centil bersepatu tinggi menghampiri Sri. "Wah, sudah balik asal kayaknya."

Sri menaikkan sebelah alisnya.

Gadis yang tegak di sisi gadis centil menambahi, "Ye, berlagak tak paham dia."

"Kalian ngomong apa, sih? Suka ngomong ga jelas kalian ini. Apanya yang balik? Bukannya sebelumnya aku jadi gembel?" cerocos Sri sewot.

Si genit Suci meraih bangku terdekat. Dia menyeret benda portable itu mendekati Sri.

"Sebelum gembel kamu kan tuan putri istana kuliner orang tuamu. Sekarang kelihatannya lebih kaya raya lagi dari kaya yang sebelumnya." bisik si genit disertai kibasan rambut panjangnya.

Sri menoyor kening Suci. "Sok tahu!" ledeknya.

Suci menghalau jemari Sri. "Buktinya, pakaian yang melekat di tubuhmu kisaran puluhan juta. Mana mampu gelandangan beli?" tebaknya tepat sasaran.

Sri menghela panajang. "Dasar tukang jahit!" celetuk Sri pada putri kedua pengusahan garment itu.

Rekan Suci melipat lutut di hadapan Sri. Murni menumpukan dagu pada permukaan meja Sri.

Murni menaikkan sebelah alisnya. "Ngaku aja dapat om-om, kan?" bisiknya.

Sri menyeringai. "Mending om-om, ini Pak Dhe- Pak Dhe."

Suci menjerit tertahan. "Bener-bener gila kamu!"

Sri menguap. "Kalian yang gila. Aku cuma kerja ikhlas menjadi pembantu di tempat Pak Dhe itu karena ga ada yang bisa membayar hutang orang tuaku."

Murni menyentil ujung rambut Sri. "Sudahlah, kamu tidak usah mengelak lagi. Mustahil pembatu diperlakukan seperti ratu. Simpanan, kan?" desaknya.

Sri mengulur daun telingan Murni. "Simpanan bagaimana? Pak Dhe itu duda! DUDA! Calon istri laki-laki bangkotan sama saja jadi pembantu."

Dua pasang bola mata Suci dan Murni membelalak. "Kamu akan menikahi duda kaya raya?"

Sri mengangkat bahunya bimbang. "Aku tidak menginginkannya tapi aku terpaksa. Jika aku mau hutang orang tuaku lunas."

Suci menyinggung bahu Sri dengan sikunya. "Kamu kan bisa mengajukan negosiasi. Kamu bisa kerja rodi tanpa dibayar. Lalu jerih payahmu untuk mengurangi hutang orang tuamu. Kamu tidak harus menikahi duda peyot reyot itu."

Bibir Sri mengerucut diiringi bola matanya yang berotasi. Sesaat kemudian tubuhnya bangkit dari bangku. Namun dua teman seangkatan itu menahan lengannya.

"Mau kemana? Sebentar lagi kelas dimulai. Kalau ingin mengubah kesepakatan sebaiknya nanti." celetuk Suci.

Sri mendesah panjang. "Mencari Leopard."

Murni menekan tubuh Sri kembali pada sandaran bangku. "Sejak kamu membolos tiga hari lalu dia juga menghilang sampai sekarang. Tidak ada yang tau dia dimana. Aku pikir duo gelandangan digelandang dinas sosial."

Kalimat panas teman satu jurusan itu tak sedikit menusuk hatinya. Sri telah terbiasa terhina dan hidup sengsara.

Sri menepuk ubun-ubunnya. Leo, sahabat kentalnya itu memang telah lenyap dari kenyataan. Berulang kali nomor pribadi dihubungi, hanya kekosongan yang didapatkan Sri. Kamar tempat kos Leo pun tak berpenghuni. Terkunci rapi. Sosoknya juga tak menginjakkan kaki di tempatnya menempa diri.

Murni menghampiri lubang telinga Sri. "Daripada memikirkan Leo, katakan pada kami siapa duda peyot yang tergila-gila padamu itu?"

Sri mendorong bangkunya mundur. "Juan Monarch."

Suci dan Murni ternganga takjub ketika Sri berlalu. Mereka mengikuti langkah Sri menuju muka kelas.

Suci mengibaskan jemari kanannya. "Jangan! Jangan tolak dan mencoba menggagalkan pernikahanmu! Pria itu salah satu duda kaya raya incaran para wanita. Dia pria setia yang tak tersentuh rayuan siapa saja bahkan sejak istrinya tiada. Sekarang tiba-tiba dia memilihmu."

Murni mengompori, "Itu berarti kamu istimewa untuknya."

Sri menggerutu, "Aku selalu terbayang Arch tapi mengapa aku harus menjadi calon istri ayahnya?"

Suci dan Murni mengurung tubuh Sri dari dua sisi. "Kamu mengatakan sesuatu?" bisik keduanya kompak.

Sri menggeleng kikuk.

***

Sri meletakkan selendang pada kepalanya sebelum melangkah melintasi pintu mobil. Raganya yang mungil berbalut pakaian sopan hingga ujung mahkota kepala.

Langkah perlahan menapaki pelataran luas Masjid Agung Kota. Tungkainya tertahan di depan serambi masjid yang mengelilingi bangunan utama.

Beberapa kali lehernya berotasi dan matanya beredar sejauh yang dapat ditangkap retina. Namun sosok yang selalu mengganjal kalbu tak jua terpantul pada layar matanya.

"Arch...." lirih Sri gundah.

Beberapa kali nama yang sama mengalun lembut dari bibirnya yang bergetar bagai mantra pemikat asmara. Namun semua nihil adanya. Danaus Monarch hanyalah angan hampa si gadis sederhana.

Setengah jam sebelum panggilan sholat berkumandang, para jemaah berdatangan memenuhi ruangan masjid.

Sri menapaki paving halaman depan masjid agung dengan ragu. Kedua lengannya memeluk mukena putih bersih. Langkahnya menelusuri jalan setapak menuju tempat berwudhu khusus kaum hawa.

Usai menuntaskan wudhu, tubuh Sri mendarat pada serambi masjid bagian jemaah putri. Kedua tangannya membentangkan mukena, hendak mengenakannya. Namun niatnya tertunda tepukan halus yang mendarat pada bahunya.

Sri menoleh kaget. Tampak paras teduh Bu Jamila terpantul pada retina Sri. Senyum hangat beliau berhasil menurunkan irama debar jantung yang tinggi.

Bu Jamila mendekap Sri sebagai sapaan. "Sudah beberapa hari kamu tidak berkunjung kemari."

Sri mengangguk lemah. "Ada banyak peristiwa yang harus dituntaskan, Bu."

Bu Jamila membelai punggung mungil dalam dekapannya sebelum mengurai lengannya dari raga Sri.

"Bu, apa Om Arch masih rutin jamaah di masjid ini?"

Bu Jamila menunduk sejenak sebelum menjawab. "Nak Arch yang sudah mulai rutin menunaikan sholat wajib berjamaah tiba-tiba tak terlihat sosoknya beberapa hari terakhir ini."

Mata Sri melebar. "Benarkah?"

Bu Jamilah mengangguk pelan. "Bahkan Pak Kyai khawatir dengan keadaan Nak Arch yang tanpa kabar."

Sri menghirup napas panjang dan menghempaskan perlahan.

***

Sri tercenung gundah. Lengannya menopang dagu pada permukaan meja jati ruang makan yang luas. Beragam sarapan tersaji membentang sepanjang meja. Begitu menggiurkan jika kondisi hati secerah mentari pagi. Namun kondisi muram mengaburkan penampilan sajian pada retina mata.

Sri hanya menggesek pelan mulut gelas dengan ujung telunjuknya. Benaknya lenyap dalam lamunan. Bukan hanya karena seorang diri dalam lebarnya ruang makan, tetapi juga beban yang menimpa hidup. Para pelayan segera berlalu dari ruang makan setelah menyelesaikan tugas pagi.

Bunyi debam alas kaki menarik perhatian Sri. Senyum lebar Haliastur sejenak menghalau awan pekat pada benak Sri.

"Selamat pagi, Mama Jasmine!" sapanya ceria.

Sebutan mama memicu ledakan kecil dalam dadanya. "Pa ... pagi, Mas Haliastur!" sapa Sri canggung.

Langkah cepat Ayah Haliastur menuruni tangga melingkar dari lantai dua menuju ruang makan. Raga tegap pria matang itu menghampiri sang anak. Tubuhnya mendarat pada singgasana istimewa setelah membelai rambut sang putra bungsu.

Sri hanya mampu melirik dari sudut matanya. Juan mengulum senyum menangkap tatapan diam-diam si calon istri. Pria itu berkedip sebelah matanya menggoda.

Sri bergegas melempar pandangan.

Juan menyesap kopi hitam dalam sebuah cangkir keramik klasik. "Tumben sekali kamu di rumah, Hal? Biasanya kamu paling sulit jika tidak tidur bersama Arch."

Hal meletakkan potongan roti tawar pada permukaan piring. "Kak Arch menghilang, Yah! Dia sudah beberapa hari tidak pulang. Saat malam rumah Kak Arch akan sepi karena bibi sudah kembali ke kediamannya."

Denyut pelipis Sri tiba-tiba menyerang.

Juan menggeleng frustasi. "Anak itu benar-benar melakukan protes diam-diam."

Hal menatap sang ayah bingung. "Memang apa yang membuat Kak Arch marah?"

Juan termenung sejenak sebelum menjawab. "Dia tidak menyetujui rencana pernikahan ayah."

Haliastur mendesah panjang. "Hal akan bantu meyakinkan Kak Arch. Hal akan menceritakan kebaikan-kebaikan Mama Jasmine padanya."

Sri mengernyitkan dahi. "Maaf, sebenarnya apakah Arch mengetahui kalau saya ini calon istri Pak Dhe Juan?"

Tatapan Juan menembus retina Sri. "Jasmine, panggil saja saya Juan. Sebentar lagi kita menjadi suami istri."

Sri menelan ludah kelu.

Juan membelai kepalan tangan kanannya. "Kalau mereka tahu siapa calon istriku, mereka akan membunuhmu. Maka dari itu aku masih merahasiakanmu dari dua putra dewasaku."

Sri mendadak beranjak dari tempat duduknya. Jantungnya mendapat kejutan tak biasa.

***

.