Arch merebahkan tubuhnya pada sofa ruang tengah. Pria berbalut jaket yang melapisi kaos santai lengan pendek dan celana panjang cargo itu bersenandung ringan untuk membunuh waktu. Waktu yang terasa lamban berotasi. Waktu yang menumbuhkan tunas emosi karena seorang remaja putri labil mendadak miskin.
Punggung Arch bangkit dari permukaan lembut sofa ruang tengah. Kini bagian tubuh belakang itu mendekap nyaman sandaran sofa.
Bunyi entakan kaki pada anak tangga menyita perhatian Arch. Pria itu segera bangkit menyambut gadis aneh yang telah berbalut pakaiannya sendiri. Atasan kuno berkolaborasi dengan rok abad pertengahan.
Arch menghangatkan kedua tangannya pada saku jaket.
Sri menghampiri Arch. Parasnya menunduk segan. "Kaos milik Om Arch sudah aku cuci di mesin dan hanya menunggu kering."
Arch mendesah panjang. Lengannya menanggalkan jaket yang mendekap hangat punggungnya. Selanjutnya, tangan kekar melontarkan bahan tebal itu mendarat tepat pada ubun-ubun Sri.
Sri tergagap. Tatapannya kurang paham. Namun denyut jantungnya seolah menggeliat tercemari aroma rempah maskulin.
Kini Arch hanya berbalut kaos oblong lengan pendek yang mempertontonkan otot lengannya yang perkasa.
"Untuk apa, Om?"
Mata Arch berotasi enggan. "Sekarang sudah malam dan di luar hujan baru saja reda."
Sri mengagguk mengerti. Kesepuluh jemari segera bergotong-royong melekatkan jaket ukuran jumbo pada tubuhnya. Bibir Sri hanya mengerucut menyaksikan Arch menahan tawa. Tubuh mungil itu bagai tenggelam ditelan ukuran.
Arch memutar tubuhnya searah jalur menuju pintu depan. "Aku antar kamu jalan kaki. Aku malas mengeluarkan mobil."
Sri mengikuti dari balik punggung Arch yang beranjak jauh. "Sebaiknya saya pulang sendiri. Saya tidak mau merepotkan Om Arch!" tolaknya halus.
Arch menahan langkahnya hingga Sri hampir terjengkang mundur. Tubuh tinggi tegap berputar setengah lingkaran.
Arch mendelik murka. "Apa katamu? Kamu pikir kamu akan aman berjalan seorang diri di tengah malam? Saya tahu kamu dalam penyamaran buruk rupa. Namun apa kamu menyadari kalau kamu memiliki kulit cerah indah, rambut yang eksotis dan paras mungil seperti kupu-kupu?"
Sri payah menelan ludah. Jantung abnormal saat bersama Arch semakin menggila. Bagaimana mungkin menelan saliva terasa seperti meleburkan biji bara. Menganga dalam raga. Kalimat panjang sang tuan muda sulung bagai halusinasi mimpi yang sulit dicerna memori.
Arch menyinggung keningnya yang berdenyut. Otaknya mulai menyadari lontaran mulutnya yang gamblang dan pasti menuai kecurigaan.
"Om, bilang sesuatu?" tanya Sri polos.
Arch mendesah lelah. "Anggap saja tidak!"
Suasana canggung memaksa Sri mengulum bibirnya.
Raga Arch berotasi kembali menghadap pintu utama sebelum menyambung langkah yang tertunda. Sri menyusul tanpa bertanya. Sepasang tumitnya menyelaraskan ayunan di depannya. Mereka melangkah bersama tanpa beriringan meninggalkan pintu pagar besi kediaman Arch.
Arch menyamankan sepasang tangan kekar pada saku celana. Punggung yang menghadap Sri semakin menjauh. Sepasang tungkai Sri berayun cepat agar tak tertinggal.
"Tunggu, om Arch!" seru Sri.
Arch mengurangi kecepatannya. Namun sengaja tak menghendaki melangkah bersisian.
Sri mendesah lega.
"Bagaimana kamu bisa mendapatkan pekerjaan itu?" tanya Arch tanpa berpaling.
Sri menatap punggung tegap menjulang di depannya. "Pekerjaan apa?"
Pertanyaan Sri mendapat balasan serupa dari Arch.
Nada bicara Arch melambung emosi. "Pekerjaan apa lagi?"
Sei mendelik takut. Bagaimana mungkin hati Sri menyusut bahkan ketika tidak menatap iris Arch.
"Lama sekali kamu mengolah jawaban." celetuk Arch semakin murka.
Sri membuka mulutnya. "Kalau pekerjaan sebagai pengajar les privat Mas Haliastur itu ditawari oleh kakaknya Mas Hal."
Arch menahan tumit beralas karet. Tubuhnya menghadap Sri.
Sri menelan salivanya takut. Dia tak merasa mengucapkan sebuah dusta.
"Aku kakak dari Haliastur. Kakak yang mana yang menawarimu pekerjaan?"
Sepuluh jemari Sri saling meremas cemas. "Awalnya saya juga tidak yakin tapi dia bilang adiknya butuh pengajar privat. Dia teman satu jurusan di kampus. Dari penampilannya memang tidak seperti keluarga konglomerat."
Arch menjentikkan jarinya. "Pasti Leopard yang kamu maksud ini."
Kelopak mata Sri membola. "Iya, Leo teman kuliah saya. Berarti memang Leo bukan kakak Mas Hal? Apa Leo anak Bi Ayuk?"
Arch menyeringai. "Leo benar. Dia memang kakak kedua Hal dan adik pertama saya."
Mulut Sri membola. Matanya berkedip beberapa kali. Seolah meyakinkan kebenaran dari kenyataan yang dialaminya. Arch, Leo dan Hal memiliki ikatan darah yang tak terbantahkan.
Kejutan pertama belum mereda tiba-tiba muncul kejutan susulan. Sepasang mata bulat Sri menangkap bayangan tiga preman dari balik lengan Arch. Trio preman terhormat penagih hutang tampak semakin mengikis jarak dengan mereka.
"Saya mohon Om Arch tenang. Jangan menoleh ke belakang! Ada penagih hutang bapak saya di belakang kamu. Kita segera kabur berlawanan arah dari tujuan awal dalam hitungan ketiga. Om yang menghitung!" bisik Sri panjang lebar.
Dahi Arch berkerut tapi tak cukup waktu menyelidiki kenyataan di belakang punggungnya.
Paras Sri yang tertekan seolah mengemis pengertian.
Jemari Arch menggenggam erat pergelangan tangan Sri sebelum memaksa si gadis mungil melesat bagai pelari marathon bersamanya. Sri terengah-engah menyesuaikan laju langkah lebar si jangkung Arch.
Trio preman tak menyia-nyiakan kesempatan berlari mengejar dua buronan. Langkah gesit mereka begitu kilat memangkas jarak dengan target.
Arch geram. Jangkauan sepasang tungkai panjangnya kurang maksimal karena langkah si mungil dalam genggamannya. Dewi fortuna menghembuskan paparan jalan keluar dalam retina Arch. Dia menangkap kerumunan sebuah gedung yang tak pernah tidur dan selalu dipadati pengunjung saat surya menyapa serta bulan bersinar. Sebuah UGD milik rumah sakit menengah di sekitar rumah Arch.
Gedung berdinding putih kokoh dengan pelita benderang. Dua satpam gagah tampak tegap pada dua belah sisi daun pintu. Ranjang dorong dan kursi roda berjajar rapi pada serambi. Orang-orang datang silih berganti membawa sanak saudara yang butuh perawatan segera.
Arch meraih lengan Sri sebelum membimbingnya melintasi pintu yang terbuka sepanjang hari. Seorang petugas berpenutup wajah dan berbalut serba putih menghampiri mereka.
"Siapa yang sedang sakit, Bapak atau ibu?" sapa perawat pria ramah.
Arch menggeleng. "Kami hanya sedang mencari sanak keluarga yang kabarnya masuk UGD. Namun kami belum mendapat info rumah sakit mana."
Perawat pria itu mengangguk paham. "Siapa nama lengkap saudara anda?"
"Dia nenek saya. Namanya Bunga Senorita. Usianya 75 tahun." jawab Arch tenang.
Sri hanya mampu memutar bola matanya pada Arch. Ada rasa kurang yakin dalam tatapannya. Pria dewasa memang lihai bermain drama. Mereka ahlinya bersandiwara dalam topeng wibawa. Sesuatu yang harus menjadi waspada.
Perawat itu mengangguk mengerti sebelum berlalu menuju meja kerja dilengkapi komputer. Hanya butuh beberapa menit, sang tenaga kesehatan kembali menemui Arch. Dia meminta maaf dengan santun karena tidak menemukan pasien bernama demikian yang dirawat baik dalam UGD maupun kamar inap.
Sri melirik pintu kaca utama UGD. Siluet tiga preman tampak berlalu menjauhi UGD setelah beberapa kali menjulurkan leher pada serambi UGD. Sepertinya mereka menyerah karena menghindari keributan di tempat umum.
"Mereka sudah pergi." bisik Sri.
"Kau yakin?"
Sri mengagguk tegas.
Arch menatap sang petugas kesehatan sebelum berlalu. "Terima kasih atas bantuannya, Pak. Saya akan mencari di rumah sakit lain."
***
Arch melintasi pintu kaca otomatis lobi kantornya. Peluh menganak sungai pada parasnya yang terlihat cemas meskipun setengah hari raganya belum beranjak dari sebuah ruangan dalam bangunan pencakar langit yang nyaman dan modern.
Seorang pria serba hitam menyusulnya dari belakang. Arch menghentikan langkah setelah namanya diteriakkan.
Arch berpaling pada salah satu staff keamanan kantor yang tak asing dalam ingatannya.
Arch memicingkan sebelah matanya.
Sang karyawan mengangguk sopan. "Tuan besar meminta saya untuk mengantar anda pada beliau saat ini juga, Pak Arch."
Arch mendesah panjang. "Maaf, saya belum bisa memenuhi ayah untuk saat ini. Saya ada perlu."
"Tapi beliau mengatakan ini sangat penting, Pak Arch." desak sang karyawan.
Arch meraba jam berlapis kilau pada pergelangan kirinya. Sepasang jarum jam berlian membentuk sudut siku-siku. "Satu hari penuh saya belum rehat dari berbagai macam meeting. Beri saya waktu untuk makan siang di waktu yang beranjak sore ini. Setelah itu saya akan menemui ayah."
Staff keamanan menunduk sekali lagi. "Saya minta maaf, Tuan Muda Sulung! Perintah tuan besar adalah keharusan untuk kali ini!"
Arch melipat lengan berbalut jas. "Kamu diancam PHK oleh Tuan Besar Juan?" tebaknya.
Staff keamanan itu hanya menunduk hormat. "Tuan Besar menunggu anda di sebuah restauran langganan beliau. Anda bisa sekalian menyantap makan siang. Mari, saya antar!"
"Aku ingin makan tanpa berdiskusi." putus Arch
Staff keamanan yang tak lebih tinggi dari Arch mendadak gusar. "Saya mohon kesediaan anda mengikuti saya menemui tuan besar. Beliau mengatakan jika anda menolak, beliau akan mencari wanita hamil yang dua kali terlihat bersama anda." bisiknya hati-hati.
Arch membatu. Kalimat panjang sang karyawan bagai kilat petir yang membelah langit benderang.
***