"Apa tujuanmu mempermalukan saya di muka umum seperti tadi?" tembak Arch tegas tanpa basa-basi.
Sri masih bergeming dalam tundukan kepala. Jemarinya memainkan sabuk pengaman yang telah terpasang sebelumnya. Terpasang karena ulah Arch yang memaksa. Bahkan tangan pria menawan itu sendiri yang mengaitkannya.
"Balas dendam karena sudah saya kerjain?" desak Arch.
Sri menengadah. Tatapannya berpaling pada Arch setelah beberapa saat berfokus pada pemandangan halaman parkir luar kaca depan.
"Om Arch ngerjain saya?" tanya Sri merasa terperdaya.
Arch melempar muka. Dia mengangkat bahunya sekali sebagai jawaban ambigu.
Bibir Sri mengerucut. Dia malas bertanya lebih lanjut.
Tangan Arch menggenggam kemudi. "Kamu selalu merugikan saya. Jadi ... saya hanya ingin kamu bertanggung jawab."
Kepala Sri kembali menunduk dalam. "Saya minta maaf, Om! Sebenarnya yang saya lakukan di cafe hanya untuk menghindar dari penagih hutang orang tua saya. Untuk masalah kali ini saya akan menemui calon istri Om Arch dan menjelaskan kebenaran yang terjadi."
Arch mendesah panjang. "Tidak perlu."
Sri menoleh. Kelopak matanya melebar. "Tapi kenapa, Om?"
Arch mulai menyalakan mesin dan menekan gas perlahan. Dia tak acuh pada keingintahuan Sri. Fokusnya hanya jalanan padat yang diramaikan para karyawan bermotor selesai jam kantor.
Sri tak jera memandang pahatan hidung panjang dari satu sisi hingga Arch berpaling. Sorot dua iris beda warna saling bertemu pandang. Arch buru-buru melempar pandangan acak. Dia gengsi diketahui sedang mencuri pandang. Rahangnya mengeras kesal.
Dahi Sri mengernyit. "Ada apa, Om?"
Arch mempertajam tatapan pada jalanan di hadapan. "Saya tahu meskipun kamu telah membuat saya malu di depan umum tapi saya tidak bisa mengabaikan ungkapan terima kasih saya."
"Terima kasih untuk apa, Om?"
Arch tak berpaling. "Karena kamu telah menggagalkan rencana perjodohan orang tua kami. Terus terang aku tidak berminat pada wanita itu."
Sri melongo. "Om Arch tidak suka sama tante cantik itu? Jadi Om Arch batal menikah?"
Arch mendesah panjang. "Sepertinya menurutmu?"
Sri menyapukan telapak tangan pada parasnya. Entah mengapa dadanya bersorak-sorai gembira. "Alhamdulillah," gumamnya.
Arch refleks berpaling pada Sri. "Kamu senang saya tidak jadi menikah?"
Sri kegirangan. "Tentu saja," jawabnya naif.
Arch menepikan laju kendaraan secara tiba-tiba. Mesin dimatikan saat berada di bahu jalan "APA MAKSUDMU?" desaknya penuh intonasi meninggi
Sri menampar pelan bibirnya. "Maksud saya ... jika Om Arch merasa beruntung karena ketidaksengajaan saya saat tadi di cafe, saya pun hanya ikut bersyukur."
Paras Arch menekuk garang. "Rumah?" Pertanyaan satu kata yang pasti meresahkan pendengarnya. Apalagi jika lawan bicara tak paham jika ada pergeseran topik pembicaraan.
"Om Arch mau bawa saya ke rumah Om?" tanya Sri yang heran.
Arch mengurut pangkal hidungnya. "Saya akan mengantarmu pulang. Tunjukkan jalan menuju rumahmu!"
Sri mencebik. "Om pikun, ya? Om kan tahu sendiri kalau saya tidak punya rumah dan sebut saya gelandangan. Saya tinggal di kos-kosan kecil."
Arch geram. Namun pengendalian tingkah laku lebih utama dari kemarahan. "Kita kesana!"
***
Sedan mewah sewarna arang milik Arch berlalu ketika seorang pemuda kuliahan tiba di depan pintu gerbang sebuah kos putri. Sri yang tengah mendorong setengah panjang pagar, menghentikan gerakannya. Suara selantang kenek angkot menyapa gendang telinganya.
Sri memandang heran pemuda berkaos kerah dan celana jins yang tengah mendekat. "Leopard, ada apa kemari?"
Napas Leopard terengah-engah. "Aku ... aku minta bantuanmu, Sri."
Dahi Sri mengernyit. "Ada masalah serius?"
Leo mengatur napasnya sejenak. "Kamu mau kan kerja sebagai pengajar les privat anak sekolah dasar?"
Istilah pekerjaan bagi Sri bagai angin surga yang berhembus pada perekonomian Sri yang tandus. Kerja bermakna sesuap nasi yang berarti nutrisi. Kelelahan Sri hari ini seolah tersapu bersih hingga tak bersisa. Semangat mulai memenuhi aliran darahnya.
Sri mengangguk cepat. "Tentu aku mau, Leo! Kalau itu bukan aku yang membantu kamu tapi sebaliknya."
"Masalahnya anak itu adalah adik kandungku."
Sri memicing curiga. "Kalau dia adikmu, kamu bisa ajari sendiri, kan?"
Leo menyisir rambutnya yang menutupi dahi. "Masalahnya tidak ada yang sanggup mengajari dia termasuk aku."
"Anak terlalu pintarkah?"
Leo menaikkan bahunya. "Mungkin," sahutnya misterius.
Sri melipat kedua lengannya kesal. Pemaparan Leo sangat ambigu. Dia tiba dengan sejuta harapan kabar menggembirakan. Namun saat Sri menggali informasi hanya kegamangan yang menjadi jawaban.
Leo mengibaskan lengannya. "Sudahlah, tidak penting adikku itu pintar, jenius atau super jenius sekalipun. Kamu ngajar dibayar sepuluh juta. Selesai."
Sri terpaksa mengangkat tumit demi mencengkeram kerah T-shirt Leo. "Apa? Sepuluh juta?"
Leo meringis palsu dalam anggukan. Meski kerah kaosnya terdesak jemari lentik, hanya debaran yang dirasa.
Biji mata Sri melotot. "Kamu akan menyuruh aku mengajar satu anak atau satu kampung anak?"
Leo mengendurkan cengkeraman jemari Sri dengan tabah. "Aku serius Sri. Ayahku yang meminta dicarikan pengajar privat. Guru-guru sebelumnya kurang mampu mengendalikan kejeniusan adikku lalu mengundurkan diri."
Sri menyinggungkan kedua telapak tangannya hingga berbunyi. "Jadi sejak kapan kamu diadopsi konglomerat?"
Bibir Leo menghampiri daun telinga Sri. "Aku ini anak pengusaha Sri. Ayahku memiliki beberapa perusahaan. Jadi selama ini kamu tidak menyadarinya?" bisiknya.
Sri menggeleng kejam. "Kamu telihat seperti pemuda dengan keuangan memprihatinkan walaupun tidak semiskin aku. Kamu juga tinggal di tempat kos kumuh. Mana mungkin aku percaya kalau kamu anak orang kaya?"
Leo menyerah. "Oke, aku tak akan memaksamu percaya. Tapi kamu terima atau tidak tawaran pengajat les privat sepuluh juta?"
Sri bergeming tiba-tiba. Matanya terpejam sejenak. Tak ada perbincangan selama setengah menit. Pertimbangan kilat diperlukan agar tak menemui sesal ketika sepuluh juta per bulan melayang.
"Kalau kamu tidak mau, aku akan lempar rejeki ini ke orang lain." ancam Leo.
Sri menghela napas panjang. "Oke, aku terima. Tapi sepertinya aku perlu berganti penyamaran."
Leo membelai dagunya. Sepasang mata jernih meneliti Sri mulai ujung jempol kaki telanjangnya hingga ujung rambut gimbal imitasinya.
Leo menggeleng-geleng kemudian. "Kamu sudah melenceng dari konsep. Aku menyuruhmu menjadi gadis jelek yang gimbal bukan ibu hamil yang gimbal."
Sri menampar baju bagian perut yang masih tertahan atasan mukena. "Kalau tidak begini preman-preman itu sudah menyeretku menemui bos mereka."
Leo terperanjat. "Mereka menemukanmu lagi?"
Sri mengangguk lelah.
Leo memutar otak. Telunjuknya menyokong dagu. Bola matanya berotasi acak.
"Ada ide?"
Leo mendesah berat. "Sepertinya kamu harus menyamar jadi laki-laki." usulnya.
Sri manaikkan sebelah alisnya. "Tapi dulu kamu pernah bilang jika akan sulit menyamar menjadi laki-laki di kampus."
"Kalau di kampus kamu tetap jadi gadis jelek gimbal. Selain kampus kamu jadi pemuda jelek jorok."
Sri memandang Leo geram. Leo selalu memujinya dengan kalimat tercela. Entah mengapa pemuda itu hampir lupa menghinanya dengan sanjungan. Sri sadar dia hanya mantan orang yang pernah kaya. Dia selamanya akan menjadi gelandangan tanpa tempat tinggal jika istilah kamar kontrakan tak pernah ada dalam kamus besar bahasa indonesia.
Sri membuang muka. Tubunya berjingkat melintasi ambang pagar kos putri.
Leo segera menyusul. "Kamu marah?"
Sri menahan langkah. "Buat apa marah? Aku cuma kebelet berak gara-gara denger omongan kamu." sindirnya.
"Sama aja ngambek," celetuk Leo.
Sri melipat kedua lengannya. "Leo, aku capek! Jangan memberi saran yang membuat hidupku semakin repot. Beli perlengkapan penyamaran sama saja mengeluarkan uang."
Leo meraih bahu Sri. "Oke, kamu tenang biar aku yang mengurus perlengkapan penyamaran. Besok kamu datang saja ke rumah kakakku. Adikku tinggal di sana. Untuk lokasi aku kirim via chat."
"Terserah," sahut Sri yang tak lagi menaruh minat pada pekerjaan sepuluh juta.
***
Sri kesal dan gemas pada tingkah laku ambigu Leo. Pemuda yang terlihat bersahaja dan semaunya saja itu mengakui tingkat sosial dirinya yang sebenarnya. Dia merupakan putra kedua seorang pengusaha besar dalam negeri.
Sri mencoba menghalau rasa dongkol pada sang sahabat. Bagaimana dia bisa yakin pada pemuda yang selalu menjadi pelanggan warung sederhana. Isi piringnya selalu hanya protein kedelai dan sayuran hijau. Jangankan kendaraan mewah, motor tuanya yang mengidap asma kambuhan tak terlihat gunanya. Sri masih bersusah payah menaruh percaya pada setiap pengakuannya hingga kini dia tegak di depan daun pintu sebuah rumah megah di kawasan kompleks elit. Rumah yang diklaim milik kakak kandung Leo.
Sri menatap lelah sepasang daun pintu jati yang lebar. Daun pintu yang terlalu lebar untuk ukuran manusia. Setelah berperang melintasi luasnya halaman depan, kini harus menguras tenaga mengayunkan kepalan tangan. Ketukan tangan kanannya terasa melelahkan pada daun pintu kayu jati tua.
Beberapa saat pintu bergeser dari dalam menampilkan seorang wanita paruh baya menggenggam spatula. Rambutnya yang diikat berserakan memenuhi wajahnya. Setelan biru gelap yang membungkus tubuhnya bertabur terigu.
Sri melonjak kaget. "Astaghfirullah," sebutnya.
Bibir Si ibu melengkung lebar memamerkan deretan gigi kekuningan berhias hijau.
Sri menyeringai ngeri.
Si ibu meneliti penampilan gadis di depannya. "Kamu pasti Mbak Jamin teman kampusnya Mas Leo yang akan mengajar Mas Haliastur?"
Sri mengangguk pelan dalam keraguan. "Saya Jaminten."
Ingatan Sri melayang pada kesepakatan bentuk penyamaran terbaru. Bukan menyerupai kaum adam tapi tetap apa adanya. Mulai dari pemberian nama yang mudah diingat, kostum gaya klasik hingga perlengkapan rahasia yang menyihir paras menjadi orang asing. Semua kesepakatan direbus hingga matang dengan Leo.
Si ibu menjentikkan jarinya. "Panggil saya Bi Ayu! Lengkapnya Yayuk Rahayu. Saya yakin tidak akan salah orang. Mas Leo sudah memberikan ciri-ciri istimewa Mbak Jamin pada saya."
Sri tak mampu membendung senyumannya. "Ciri-ciri istimewa seperti apa, Bi Ayu?"
"Mas Leo bilang yang namanya Mbak Jamin memiliki gigi yang semakin terdepan." jawab Bi Ayu polos.
Sri menampar dahinya sendiri. Salahkan hati kecilnya yang terus mengharap Leo mendandani mulutnya ke jalan yang lurus. Padahal Sri paham Leo tak punya harapan akan kesopanan.
Sri berperan sebagai Jaminten. Tokoh fiksi karangan otak Leo itu berpenampilan sangat sederhana sekali. Rambut lurus tergerai sepanjang punggung. Tubuhnya dibalut atasan motif bunga berwarna terang berpadu rok plisket polos. Parasnya berbedak tebal dan bergincu meriah. Satu lagi ciri istimewa yakni gigi palsu yang melampaui batas bibir.
Si ibu menjulurkan spatulanya. "Ayo, Silakan masuk, Mbak Jamin!"
Sri mengangguk pelan. Kakinya melangkah menyusul Bi Ayu yang membimbing di depan.
Bi Ayu terus menjelajahi ruangan demi ruangan yang lega penuh perabotan ukuran besar. Langkah Bi Ayu menikung di sebuah ruangan paling ujung beraroma vanila.
Bi Ayu menahan langkahnya sebelum melanjutkan mengolah bahan mentah. "Mbak Jamin cari Mas Hal sendiri, ya! Bibi mau menyiapkan makan malam untuk Mas Hal dan Tuan Muda."
"Saya harus cari kemana, Bi?"
Bi Ayu memporak-porandakan rambutnya yang kusut menggunakan telunjuk. "Saya juga belum tahu Mas Hal kemana. Yang jelas tidak mungkin keluar pagar."
Sri menaikkan sebelah alisnya. Tragedi gaji sepuluh juta akan dimulai.
***