Langkah Sri berayun menjelajahi rumah megah perlahan. Kaki mungilnya menapak segan pada berkilaunya lantai yang menyamai kaca. Bahkan dia mampu menangkap bayangannya sendiri dengan nyata. Tubuhnya bergoyang melintasi pintu belakang yang terhubung dengan taman dan kolam renang.
Suara teriakan mungil samar terdengar dalam gulungan bunyi gelombang kecil. Lengan kurus yang terjulur menyeruak permukaan air bagai adegan horor yang memukul telak jantung Sri.
Sri tergagap. Meskipun lututnya bergetar, telapak kakinya tetap mendekat. Sri yang panik meluncur bebas ke dalam genangan raksasa tanpa pemikiran matang terlebih dahulu.
Dia tersadar akan kerasnya bertahan dalam terkaman kenyataan saat tubuhnya disekap jutaan kubik air. Otaknya kosong akan kemampuan bertahan dalam benda cair. Sehingga nihil mengirimkan sinyal adaptasi. Niat menyelamatkan sosok kecil tak tergapai. Justru raganyalah yang terperangkap jeruji air yang kuat.
Teriak tak berguna. Bibirnya tak kuasa. Hatinya yang hanya bisa menanam asa akan kehadiran seseorang pun percuma. Asisten rumah tangga tengah asyik bercengkrama dengan bahan olahannya. Bunyi spatula beradu penggorengan menyamarkan kegaduhan lain.
Sri memaksakan indra penglihatannya yang memburam. Tampak anak laki-laki fokusnya mengayun anggota tubuh menuju tepi kolam. Dia meniti tangga kolam tanpa enggan layaknya profesional yang bersahabat dengan genangan.
Anak laki-laki berbalut lengkap dengan kaos abu dan celana selutut gelap itu menganga kejut. Mimik wajahnya kalut. Teriakan minta bantuan dari bibir mungilnya menyentak kesyahduan sang ART yang tengah mengolah bahan makanan.
Setelah memutar kendali kompor, wanita setengah baya itu segera melesat menghampiri suara melengking ketakutan sang majikan. Bi Ayu tak mampu membendung mulutnya yang histeris menyaksikan perjuangan seseorang dalam mempertahankan nyawa.
Bi ayu menatap curiga sang anak majikan. "Apa yang terjadi, Mas Hal? Kenapa Mbak Jamin bisa tenggelam? Mas Hal ngerjain guru les lagi?"
Hal terdiam dalam napasnya yang tersengal. Paras tampannya menekuk bersalah. Lengan kanan yang bergetar terjulur pelan.
Bi Ayu yang hanya memiliki jejak rekaman gaya batu dalam memori kepalanya, berkeringat dingin. Dia mondar-mandir tanpa solusi mutahir. Hingga langkah lebar seorang pria dewasa mengentak kuat setelah gendang telinganya menangkap getar pita suara Hal yang ketakutan.
Si pria dewasa menghampiri sang anak laki-laki. "Ada apa, Hal?"
Hal menjulurkan lengannya yang bergetar.
Si pria setengah abad mengikuti arah lengan Hal. Seketika kelopak matanya melebar. Tanpa pikir panjang sang pria melompat dalam genangan raksasa penuh air setelah melempar kemeja kerja yang melekat pada tubuhnya.
Setelah beberapa kali mengayunkan lengan dan kaki, tangan sang pria dewasa mampu menggapai tubuh sang gadis. Sekuat tenaga sang pria dewasa menggiring tubuh tak berdaya itu menuju tepi kolam. Si asisten rumah tangga yang tak hentinya bimbang segera meraih tubuh yang tergeletak pada bibir kolam renang. Majikan dan pelayannya bergotong-royong mengeluarkan korban dari jerat air.
Ayah Hal bergegas meninggalkan genangan raksasa dan menghampiri tubuh gadis yang tergeletak pada lantai keramik dingin. Bi ayu sekuat tenaga menyadarkan sang guru les baru tapi nihil yang didapatnya.
Tuan besar menghela napas lega setelah beberapa saat memeriksa kondisi sang gadis dan memberi sedikit pertolongan pertama. Beruntung keadaan fisik pengajar les baru itu tidak mengkhawatirkan.
Tangan kekar tuan besar menggapai tengkuk dan lutut si gadis. "Bi Ayu, tolong ambilkan handuk dan baju ganti apa saja yang bisa dipakai. Baju Tuan Muda Sulung juga tidak masalah. Saya akan membawanya ke kamar tuan muda setelah itu kamu bisa mengganti pakaiannya."
Bi Ayu mengangguk cepat dan segera melesat menunaikan amanat dari yang terhormat. Sementara sang tuan muda bungsu hanya bergeming di sisi kolam.
Ayah Hal menahan langkahnya yang baru bergerak hanya beberapa meter saja. Paras tampannya berpaling pada sang putra kecil. "Hal, kali ini perbuatanmu sudah lebih buruk dari sekedar keterlaluan. Masuk kamar dan tunggu sangsi dari ayah."
Hal yang terhimpit rasa bersalah mengangguk patuh. Langkahnya berangsur meninggalkan kolam renang. Telapak kakinya yang dingin menyusuri jalur menuju kamar bawah pada ruang tengah.
Sepasang tungkai kekar tuan besar mengayunkan langkah gesit menghampiri sebuah ruangan pribadi pada lantai dua. Ruangan dengan balkon dalam yang luas dan balkon luar nan megah.
Bi Ayu memacu kakinya menyusul sang majikan.
Tuan besar meletakkan tubuh basah kuyup sang gadis perlahan pada permukaan pembaringan yang nyaman. Dia segera berlalu digantikan Bi Ayu dengan setumpuk handuk dan pakaian. Setelah terdengar suara pintu kamar menyatu rapat dengan gawang, Bi Ayu memutar kunci dari dalam. Dia segera mengeringkan tubuh pembimbing privat itu dan menukar pakaiannya.
***
Bi Ayu tergesa menyusul langkah lebar sang tuan muda sulung setelah merapatkan pintu pagar yang berat. Sedan gelap mewah telah duduk manis sejajar dengan spesies lainnya dalam garasi.
Bi Ayu merapatkan sepasang daun pintu utama yang telah dilalui sang majikan.
"Mas Arch!" panggil Bi Ayu sedikit keras.
Pria tinggi besar bersetelan jas dan kemeja melenggang acuh.
Bi Ayu tak menyerah. "Mas Arch!" teriaknya sekali lagi pada pria yang telah menapaki anak tangga.
Arch menahan langkahnya pada pertengahan tangga. Parasnya berpaling sebagian dengan alis yang menukik tajam.
"Mas Hal...." awal kalimat Bi Ayu yang mengenaskan karena harus terjeda suara sang majikan.
"Ini sudah malam dan aku capek, Bi! Urusan Hal bisa dibicarakan besok." potongnya.
Bi Ayu bersikeras. "Ini penting, Mas Arch!"
Arch mendesah panjang. "Lalu dimana anak itu sekarang?"
"Dia sudah pulang bersama tuan besar Juan."
Arch melipat lengannya. "Jadi apalagi yang dipermasalahkan? Kalau Hal tidak menginap di sini Bi Ayu bisa pulang."
Bi Ayu menggeleng cepat. "Saya belum bisa pulang. Saya masih harus di sini, Mas Arch!"
Arch mendesah panjang. Langkahnya kembali menaiki setengah jumlah anak tangga tanpa memberi balasan atas pernyataan mengherankan si asisten rumah tangga.
Bi Ayu bersikukuh mengikuti sang majikan muda. "Jangan masuk kamar, Mas Arch!"
Arch masa bodoh dengan getaran yang merambati udara dan berlabuh di gendang telinganya. Dia melenggang gagah hingga menggapai daun pintu kamar pribadinya. Satu kali tarikan pada gagang pintu, terbukalah tempat pribadi yang menjadi kenyamanan malamnya.
Seketika kamar benderang setelah satu tekanan jari pada benda yang menempal pada tembok.
Arch melintasi ambang pintu lalu merapatkan kembali daun pintu jati itu. Bi Ayu yang berniat menyelinap hanya tertahan di depan pintu dengan jantung yang bertalu. Beruntung hidung eksotis Bi Ayu tak tergigit celah pintu.
Arch tak lupa segera memutar kunci pintu.
Napasnya kasar dan kesal. "Apa-apan Bi Ayu? Benar-benar tak tahu situasi."
Dia menanggalkan jas luar sebelum mencampakkan sembarangan. Kegiatan berikutnya melucuti kancing kemeja dan diikuti terlepasnya kemeja katun dari dada berpahatkan delapan kotak istimewa itu. Kemeja polos tak berdosa juga mendapat nasib serupa dengan jas sebelumnya. Terbang dan mendarat pada tempat acak hingga menimbulkan suara jeritan.
Jantung Arch bagai ditabuh martil raksasa. Suara lengkingan seorang perempuan memantul nyata pada dinding kamarnya.
Langka pria bertelanjang dada itu perlahan menghampiri ranjang ukuran luas. Suara berat kaget pria itu menggetarkan dinding kamar ketika sosok aneh menyeruak dari tumpukan pakaian dan selimut.
Sosok perempuan bersurai gimbal panjang melonjak dari ranjang. Kaos kedodoran membungkus tubuhnya hingga lutut. Kedua lengannya saling bertumpu seolah melindungi tubuhnya.
"Jangan macam-macam!" pintanya dengan suara bergetar
Arch melebarkan kelopak matanya. "Apa? Kamu tidak cukupkah mengganggu saya di masjid dan di pinggir jalan? Dan sekarang bayanganmu masuk dalam kamarku? Aku benar-benar sudah gila!"
Suara berat Arch menampar kesadaran sang gadis. Matanya meneliti sosok yang hanya menyisakan celana bahan pada tubuhnya.
Arch menaikkan sebelah alisnya garang.
Pengajar privat itu menelan ludah kelu. "Kenapa Om Arch ada di sini dan tahu kalau ini aku?"
Arch memijit kepalanya yang lelah dan diselimuti amarah. "Jasmine ... Sri ... Atau siapa namamu dan sebagai apa kamu sekarang. Selama kamu tidak melakukan operasi plastik dan saya tidak amnesia, saya masih bisa mengenalimu."
Sri meraba bibirnya. Tonjolan gigi yang terdepan telah lenyap. Parasnya berpaling pada permukaan ranjang. Peralatan menyamar paling vital tampak tergeletak pada tepi ranjang. Setelah meraih benda tersebut, si gadis segera melahapnya.
"Buat apa memakai gigi tonggos palsu lagi? Toh sudah ketahuan!" sindir Arch.
Bibir Sri mengerucut. "Aku menyamar bukan untuk Om Arch."
Arch menahan napas panasnya. "Untuk siapapun aku tidak peduli. Sekarang katakan apa yang kamu lakukan di kamarku?"
Sri membisu. Bola matanya berotasi pada setiap sudut kamar mewah yang dipijaknya.
Arch menjulurkan telunjuknya. "Kenapa diam? Apa kamu benar hanya halusinasiku? Kalau iya, segeralah menghilang."
Sri menelah ludah entah keberapa kalinya. "Aku tidak tahu mengapa bisa di sini. Om Arch tidak sedang mengigau. Aku benar manusia!"
Suara ketukan pintu menjadi jeda dialog keduanya.
Suara Bi Ayu merambat menembus dinding kamar. "Mas Arch, gadis yang di kamar itu Mbak Jamin. Dia pengajar les privat Mas Hal. Tadi dia tenggelam karena diusili Mas Hal."
Arch membelalak. "Jamin? Kali ini kamu berperan sebagai Jamin dan hampir celaka karena Hal?"
Sri hanya mengangguk dalam keraguan benaknya. Otaknya masih memproses ingatan beberapa jam lalu.
Arch mendesah panjang. Dada bidang itu tampak naik turun. Pemandangan surgawi dalam binar lampu benderang mampu menahan detak jantung Sri.
Sri menggigit bibirnya cemas. "Saya minta maaf telah mengganggu waktu istirahat Om Arch. Saya pamit pulang."
Sri melangkah waspada menuju pintu kamar. Langkahnya gemetar ketika melintasi pria tegap yang tak melepas tatapan mencekam padanya. Sri hampir bernapas lega saat daun pintu tercetak besar dalam retinanya. Namun cengkeraman jemari Arch pada lengannya, membekukan pergerakan Sri.
***