Sri yang telah merampungkan jadwal padat perkuliahan, menghampiri masjid agung satu jam sebelum adzan azhar berkumandang. Gadis mungil itu begitu rajin menyingkirkan debu-debu yang melapisi lantai ruangan dan serambi jamaah putri. Dia juga giat membelai kaca jendela dengan kain dan cairan pembersih.
Ketika jamaah putri mulai berbondong-bondong memadati ruangan, tugas mulia Sri telah tuntas. Gadis berbalut penyamaran dan selendang pada kepala itu segera membersihkan seluruh tubuhnya pada kamar mandi masjid. Dia kembali berbaur dengan jamaah putri saat adzan berkumandang. Badannya telah terselimuti mukena putih bersih. Sepasang lensa normal ditanggalkannya sejenak.
Seluruh jamaah menata shaf setelah terdengar ikhomah. Sri melengkapi shaf paling akhir dari jamaah putri. Setelah seluruh ibadah diselesaikan dengan baik oleh jamaah masjid agung, mereka khusuk memanjatkan dzikir dan doa.
Sri dan jamaah putri lainnya saling berjabat tangan selepas memanjatkan doa. Para sholehah berbalut mukena undur diri menjauhi ruangan jamaah putri hanya menyisakan Sri dan Bu Jamilah.
Bu Jamilah tengah menanggalkan mukena sebelum menata rapi dalam almari kaca.
Bu Jamila menghampiri Sri. "Sri, setelah ini ada acara?"
Sri menggeleng. "Tidak ada, Bu. Saya akan balik ke kostan."
Bu Jamilah membelai bahu Sri. "Kalau begitu kita makan dulu, yuk!" ajaknya.
Sri mengangguk semangat. "Bu Jamil duluan saja. Saya masih harus menyapu serambi masjid. Tadi kan ada angin kencang membawa debu dan pasir."
Bu Jamilah menyetujui. Beliau segera berlalu meninggalkan ruangan jamaah putri. Sri meluruhkan bawahan mukena yang akan menghuni lemari kaca menemani mukena lainnya.
Sri yang masih berbalut atasan mukena segera meraih pembersih debu dari material ikatan lidi-lidi pohon kelapa. Setelah beberapa saat lidi beradu dengan sajadah karpet, debu mengumpul di tepi karpet.
Alat dalam genggaman Sri telah bertukar dengan sapu ijuk. Gerakan tangan Sri yang cekatan membuat ijuk beradu dengan debu tebal.
Bunyi debam lengkah beberapa orang yang mendekat menarik perhatian Sri.
Sri menengadah. Kelopak matanya melebar saat menyadari tiga wajah yang terpantul pada layar matanya. Gagang sapu dalam genggaman Sri terlepas. Bunyi nyaring menyentak tiga pria yang menghampiri Sri. Langkah mereka semakin laju.
Sri mengambil langkah mundur.
Ketiga pria berbalut jubah panjang menghadang dari segala penjuru. Sepertinya mereka telah mengintai dan berbaur dalam jamaah sholat ashar tadi.
Si Pria administrasi, Don, mendekat selangkah demi selangkah. "Nona Jasmine, kita tidak akan berbuat macam-macam jika anda bekerja sama!"
"Saya sudah membayar untuk bulan ini. Saya sudah bekerja sama!" balas Sri.
Pria rantai, Jon, menyamai langkah Don. "Kami hanya ingin anda menemui Bos Juan untuk mendiskusikan solusi pelunasan."
Sri kembali menambah langkah ke belakang. "Saya sudah mengatakan akan mengangsur tiap bulan, Pak Dhe. Kenapa saya masih dikejar-kejar?"
Jon menaikkan sebelah alisnya. Panggilan si gadis untuknya tak nyaman ditelinga. Sebelah kakinya mengentak kuat menimbulkan gemerincing rantai dari dalam jubahnya.
Si otot kekar, Tom, bertolak pinggang. Cetakan lengan-lengan bergelombang tampak samar dari luar jubah putih.
Sri mendelik ngeri.
Tom menyeringai. "Hanya antisipasi agar kamu tidak kabur!"
Tatapan Sri estafet satu per satu pada mereka. Lengannya segera meraih kembali gagang sapu saat suasana landai. Sri melontarkan sapu sekuat tenaga bagai atlit lempar galah sebelum melarikan diri.
Mukena atasan Sri masih menempel pada tubuhnya. Kain putih itu berkibar saat melintasi ambang pintu menuju serambi samping masjid.
Sri berlari tunggang langgang tanpa berpaling dari hadapan. Langkahnya melintasi halaman masjid agung yang luas sebelum menggapai pintu gerbang besar. Setelah telapak kakinya menyentuh aspal, sedikit nyeri merambati kakinya yang telanjang. Namun kecepatannya tak turun.
Tiga preman penagih hutang berjubah panjang sekuat tenaga menyusul sang target. Mereka sedikit mendapatkan hambatan dengan pakaian penyamaran. Laju tungkai mereka tak segesit biasanya.
Sri secepat kilat menapak bahu aspal sebelum kembali menikung pada gang sempit pemukiman warga. Tubuhnya terus berayun melintasi jalanan kampung kecil deretan rumah tanpa celah hingga menemukan ujung yang berbatasan dengan jalan utama.
Sri harus meminta ampun dalam larinya pada setiap pejalan kaki yang bersinggungan dengan lengannya. Mereka tampak mustahil memberi maaf. Mereka hanya membalas dengan tatapan tajam.
Ketiga preman pantang kendor. Sepertinya menyerah sudah hilang dari daftar istilah. Tatapan mereka anti berpaling, kelopak mata enggan berkedip dan kecepatan kaki mustahil berhenti. Namun mereka pun tak luput dari kekesalan warga yang berlalu-lalang dan merasa terusik.
Retina Sri menangkap bayangan sebuah cafe yang sebagian bangunannya mengusung konsep kebun bunga. Haluan Sri menikung. Sosok Sri menurunkan kecepatan ketika harus menghindari barisan meja kursi pengunjung. Langkahnya berhenti ketika pintu toilet paling ujung menutup dari dalam.
Setelah menanggalkan atasan mukena, kain putih bersih itu sekarang menghuni balik kemeja polosnya yang longgar. Sri tak ingin kehilangan satu-satunya benda berharga dalam sujudnya itu.
Jemarinya menyeret kantong plastik mungil dari saku celana kulotnya. Bubuk kopi di dalamnya segera berpindah pada permukaan telapak tangan sebelum diratakan pada seluruh permukaan kulit wajah.
Alat penyamaran terakhir diraihnya dari saku kemeja. Tak butuh waktu lama, sepasang lensa normal menyempurnakan penampilan.
Sri mengendap-endap selepas menjauhi kamar kecil. Tatapannya mengembara pada setiap sudut cafe yang dikelilingi tanaman hias segar. Sri bergegas memutar badan ketika menangkap tiga sosok preman berjubah putih duduk gelisah di salah satu meja bagian tengah.
Tiga pasang mata penagih kredit itu bagai predator angkasa yang menyorot tajam setiap obyek yang dilaluinya. Leher mereka terjulur dan berotasi ke segala arah.
Sri tanpa sengaja menyinggung bahu seorang pelayan yang tengah merapikan salah satu meja setelah ditinggalkan pelanggan.
"Maafkan saya, Kak!" sesal Sri.
Si pelayan pria menggeleng ramah. "Tidak apa-apa, Ibu! Silahkan, ibu mau pilih meja sebelah mana? Saya akan melayani pesanan ibu!"
Sri tertegun beberapa saat. Panggilan ibu untuk dirinya terasa baru dan sedikit mustahil.
"Maaf, ibu!" panggil sang pelayan, "Apa ibu baik-baik saja? Kalau ibu lelah silahkan duduk ibu. Mungkin calon baby ibu juga butuh santai."
Kelopak mata Sri melebar. Kepalanya menunduk. Satu hal yang tampak pada retinanya. Baju bagian perut yang membuncit.
Bibir Sri melengkung canggung. "Ah, sebenarnya saya sedang mencari...."
Kalimat Sri terjeda sebelum mengutarakan obyek. Parasnya berpaling pada seluruh sudut cafe mencari obyek yang layak dijadikan alasan. Akhirnya, bayangan sesosok pria dewasa yang pernah terekam dalan otak Sri, terpantul pada retinanya. Pria itu tengah duduk terdiam berhadapan dengan seorang wanita dewasa.
"Suami saya. Saya mencari suami saya di tempat ini!"
Sang pelayan bersetelan senada menjulurkan ibu jarinya. "Silahkan, ibu!"
Sri mengangguk canggung sebelum menyusun langkah menghampiri pria tampan tinggi besar yang terduduk tegap di salah satu bangku.
Sri melirik dari sudut matanya. Ketiga preman menyelidiki sosoknya yang menyamar. Kecurigaan tak mampu terhapus dari sorot retina mereka
Sri menepuk bahu si pria tampan. "Papah...." suara Sri bergetar karena tengah menjalani kebohongan. Bukan getaran tangis karena putus asa pada pasangan.
Si pria bersetelan kantor rapi lengkap dengan jas itu, berpaling pada wanita aneh yang tiba-tiba menyapa. Wanita cantik yang duduk elegan di hadapannya pun terperangah. Wanita berbalut blus kekinian dan celana bahan itu tak mampu menyembunyikan putus asanya.
Si pria tampan mengernyit. "Apa maksud Anda?"
Sri mulai bermain peran sebagai korban. "Papa, ayo pulang sama mamah! Mama sedang mengandung anak papah. Mama mohon pulang!"
Si wanita behelai panjang terurai menggigit bibirnya kecewa. "Kenapa kamu tidak bilang kalau sudah menikah, Arch? Kita harus membatalkan rencana pernikahan ini."
Arch mengurut pangkal hidungnya. Entah mengapa hanya gelengan yang mampu membalas tanya sang wanita cantik.
Si wanita cantik beranjak dari bangkunya. "Aku harus mengatakan ini pada papa, Arch! Aku pergi!" pamitnya berlalu.
Arch mendorong mundur bangkunya sebelum beranjak cepat. Lirikan iris jernihnya membidik si wanita aneh. "Kamu ini siapa?" tanyanya ketus
Sri meraih genggaman Arch. "Papa, tolong lupakan dia. Kita pulang, Pa!"
Seluruh perhatian pengunjung dan karyawan cafe tercurah pada adegan sinetron derita istri. Tak terkecuali tiga preman penagih hutang. Anehnya, mereka bergegas angkat kaki tanpa menanti pesanan yang siap dinikmati.
Arch menghalau tangan Sri. "Jangan macam-macam denganku!"
Sri mendesah panjang ketika keberadaan preman telah enyah.
Sri sekali lagi meraih jemari si tampan. "Om Arch, maafkan aku! Aku hanya sedang bermain drama denganmu."
Arch menaikkan sebelah alisnya. "Om? Om Arch?" beo si tampan mengulangi gerak bibir Sri.
Sri menarik tangannya. Dia hanya menelan ludah kelu menyadari mulutnya yang ceroboh. Rasa nyaman berdekatan dengan Arch membuatnya lupa akan penyamaran.
Sri mengambil langkah mundur untuk mengawali pelariannya. "Saya pergi!" pamitnya dari kejauhan.
Arch yang geram segera menyusul Sri dan mencekal pergelangan tangan mungil itu tanpa susah payah. Arch menyeret dan memboyongnya menuju parkiran. Dia menempatkan Sri pada bangku penumpang mobil paling depan.
Arch mendaratkan tulang duduknya pada bangku kemudi sebelum mengunci semua jalur.
Arch menekan gundukan pada bagian perut Sri. Kenyataan yang didapat sesuai perkiraannya. "Kau menipuku. Suaramu benar-benar tidak asing." celetuknya.
Sri menunduk ngeri.
Arch meraih rambut keriting yang menantang gravitasi. Rambut itu menggelincir tepat di sebelah alas kaki Sri. Nasib kaca mata normal itupun tak jauh beda. Benda itu tercampak di atas dashboard setelah ditarik paksa dari wajah Sri.
Arch menatap tajam. "Sudah saya duga. Di dunia ini tak ada gadis kurang ajar yang berani pada saya selain gelandangan yang tinggal di gudang masjid agung."
***