Chereads / Silver Dynasty | Dinasti Perak / Chapter 43 - Pelarian (5)

Chapter 43 - Pelarian (5)

Seperti keluarga yang utuh sempurna.

Perbincangan, kehadiran, candaan. Sedikit nasihat.

Makanan sederhana mengalir, walau hanya krupuk goreng.

Lalu, sebuah gebrakan mengejutkan.

Awalnya ketukan sopan.

Lalu gedoran dan teriakan.

Jedar! Jedorrr!

Dhorrr!

🔅🔆🔅

"Ini rumah bu Tina??!"

"Ya. Ada apa?" Najma pasang badan.

"Apa ada anak yang namanya Silva lari ke rumah ini?"

"Kenapa memangnya?" Najma mengerutkan kening.

Ia mengenal sosok yang menggedor pintu rumahnya tak sopan. Memakai setelah kelabu tua, dengan hem putih mahal. Rambut pendek, tubuh tinggi tegap, wajah merah padam. Harusnya ia terlihat tampan kalau bersikap sedikit sopan.

"Apa Silva lari ke sini, heh?? Anak kurang ajar!"

Ibu yang di belakang, tergesa ke depan.

"Ada apa, ya…? Mas…? Atau …Pak?" bu Tina tergagap.

Mereka bertatapan sejenak.

"Bi Tina?" suara itu sedikit melunak, terkejut mengenali perempuan paruh baya di depannya.

"Mas Rendra?" bu Tina membungkukkan badan hormat.

"Silva lari ke sini?" Rendra bertanya ketus, lalu meralat segera. "Saya nggak nyalahkan bu Tina. Anak itu memang kurang ajar. Bolak balik lari dari rumah. Ke luar sekolah. Minggat. Memang hidup ini gak ada aturannya??"

"Anu …Mas…"

"Ibu," Najma menyeruak ke depan, berdiri antara ibu dan Rendra. "Ibu ke belakang aja. Biar kuhadapin kepala proyek yang masih perlu belajar tata krama ini."

"Najma!" ibu membentak. "Jangan nggak sopan, Nduk."

Najma mengelus punggung ibu, mendorongnya dengan paksa ke belakang. Meski tubuhnya tak setinggi Rendra, tegap ia berdiri menantang.

"Silva ada? Mana anaknya?" Rendra bersuara keras.

"Bapak main bentak-bentak di rumah orang. Gak pakai salam! Gak sopan sama sekali!" Najma balas bersuara keras.

"Eh? Kok malah kamu yang ngegas?"

"Lho…Bapak yang ngegas duluan!"

"Gak sopan banget kamu!"

"Bapak yang kelamaan tinggal di Amrik. Di Eropa. Sampe lupa gimana jadi orang Indonesia! Di sini kalau sama orangtua gak bentak-bentak, Pak. Apalagi itu ibu saya!" Najma memperingatkan.

Terlalu lama berkumpul dengan artefak, bebatuan, dan prasasti kadang membuat Najma sekeras cadas.

"Saya kan cuma nanya : Silva ada gak si sini?" Rendra mencoba menurunkan suara.

Najma menurunkan frekuensi suaranya juga.

"Bapak ketuk pintu dulu, salam, trus setelah dipersilakan masuk, baru nanya-nanya. Mau saya ajarin?" Najma menyindir.

Muka Rendra merah padam.

"Oke.Oke!" Lelaki muda itu mengangkat tangan, tanda setengah menyerah. Ia mengeluarkan ponsel, menghubungi seseorang. Terdengar ia bersitegang dengan pihak di seberang yang disebut-sebutnya sebagai 'mama'. Bagaimana semua heboh karena Javadiva menelepon rumahd an melaporkan kehilangan Silva. Bagaimana media suka mengendus tentang gossip di tengah keluarga konglomerat seperti keluarga Cahyadiningrat. Kemarin baru saja netizen dan media menjadikan bulan-bulanan anak kedua Cahyadiningrat, Fuji, setelah ketahuan menjalin cinta terlarang dengan aktor dan pengusaha yang telah berkeluarga. Bagaimana jika mereka kembali mengendus, anak terakhir keluarga itu bertingkah lagi?

Rendra sibuk dengan ponselnya. Mengetik, menelepon. Sesekali menatap Najma dengan sebal. Najma berdiri di depan pintu sembari melipat tangan.

"Kamu bisa mengantarkan Silva balik?" Rendra bertanya, sembari tak mengalihkan pandangan dari layar.

Najma menajamkan telinga. Tak percaya.

"Maksudnya? Balik ke mana?" Najma bertanya.

Rendra merogoh kantung celana, mengeluarkan lipatan uang tebal. Sembari sibuk menerima telepon dan memperbincangkan sesuatu dalam bahasa Inggris. Tanpa menggubris pertanyaan Najma, Rendra menyelipkan paksa uang tersebut ke tangan gadis di depannya.

Sembari menghela napas panjang, menahan amarah dan mengontrol emosi diri; Najma menunggu perbincangan Rendra selesai. Setelah selesai, sebelum lelaki muda itu sempat mengontak orang lain, ia membombardir dengan kata-kata.

"Pak, uang ini buat Bapak aja," Najma menegaskan, sembari mengembalikan uang, tepat memasukkannya ke saku jas Rendra. " Gak usah sok bahasa Inggris di depan saya. Gak usah sok penting."

"What the f…?" Rendra membelalakkan mata. Menaham mulutnya untuk tak terlepas mengumpat.

Najma setengah geli.

"Sampai mengumpat, kudu banget harus pake bahasa Inggris ya?" ejek Najma. "Banyakan bahasa Indonesia buat memaki orang!"

Rendra menahan kejengkelan, mengatur napas.

"Bapak itu kalau nggak bisa ngatur satu , dua orang, gimana bisa ngatur perusahaan? Ngatur Bambang dan teman-temannya gak bisa, gimana mau ngerjain proyek?" tuduh Najma.

Mata Rendra nanar, menatap gadis di depannya yang lebih galak dari mandor.

"Pak Gatot itu nurut sama bapak saya. Bambang dan teman-temannya, mau dengerin saya. Masak sama Pak Rendra gak mau taat?" Najma sok mengajar.

Mulut Rendra mengeras.

"Itu artinya, Bapak harus belajar sama banyak orang. Sekarang liat, apa Bapak bisa ngendalikan adik Bapak sendiri : Silva?" Najma mencerocos.

Demi mendengar nama Silva, suara Rendra pecah.

"Mana anak itu, biar kuhajar dia!" bentak Rendra.

Najma menahan tubuh tinggi Rendra yang akan merangsak masuk.

"Eeeh, ssssh!" sekuat tenaga Najma menahan, nyaris terjengkang.

Silva, yang duduk meringkuk di ruang makan sedari tadi, melangkah ketakutan kebingungan ke arah ruang tamu. Melihat Silva, Rendra berang dan meraih lengannya. Mencengkram kuat. Berusaha menarik paksa ke luar rumah walau Silva menjerit lirih kesakitan.

Ibu berteriak perlahan.

Najma menggeram.

Candina memegang pergelangan Rendra.

Tubuh lelaki muda itu menegang perlahan sebelum sebuah kekuatan menerjangnya ke arah lemari jam.

Suara berdebum.

Gubraaak!

🔅🔆🔅