Walau seorang musuh demikian menyebalkan, melihatnya kesakitan sungguh tak tega. Mungkin itu ciri khas paling humanis dari sesosok makhluk bernama manusiakah?
🔅🔆🔅
Rendra terhuyung bangun.
Sofa sederhana Najma tak dapat menampung dengan layak tubuhnya. Pelipis lelaki muda itu tergores, berdarah. Es batu cukup mendinginkan dan mengurangi memar di sekeliling luka. Plester lebar lumayan menanggulangi sobekan.
Akhir pekan yang seharusnya dilalui dengan kesenangan dan waktu luang, tak didapatkan sebagian orang.
"Silva…mana…dia?" tanya Rendra.
Bu Tina memandang Najma. Supir Rendra juga kebingungan menjawab, berada di sampingnya. Demi melihat Rendra mulai siuman, bu Tina ke belakang dan membuatkan minuman.
Duduk, melipat tubuh dan menopang kepala yang pusing; Rendra mencoba mengumpulkan ingatan. Permintaan mama. Perintah papa. Aturan dewan direksi. Tuntutan investor. Ancaman musuh. Nasihat teman.
"Silva?" tanya Rendra. "Mana dia?"
Najma menahan napas.
"Mungkin dia ketakutan. Dia dan temannya, Candina… lari dari rumah ini," Najma menjelaskan sepenuh sesal.
Rendra memijit pelipis.
Terhuyung, menuju pintu. Memerintahkan supir untuk membawanya pergi dari rumah itu. Sebelum beranjak, ia mewanti-wanti Najma dan bu Tina untuk melaporkan bila Silva kembali ke rumah itu.
"Silva gak akan ke rumah ini," Najma meyakinkan, "…kalau saja dia punya tempat untuk kembali."
Rendra terdiam sesaat.
"Kenapa kamu peduli sama Silva?" tanya Rendra.
"Kenapa Bapak jahat sekali sama dia?" Najma bertanya balik.
"Aku tuh nanya, kenapa kamu peduli dan baik sama dia?" Rendra terdengar gusar.
"Dia masih kecil. Masih muda. Baru delapan belas tahun. Dia sering dianiaya orang dan teman-temannya," Najma membela Silva.
"Kamu dengar dari mana cerita itu?" tanya Rendra, tertawa sinis.
"Dia bahkan ketakutan dan nggak bisa bicara waktu pertama kali muncul di sini!" desis Najma.
Rendra memijit kepalanya yang masih pusing.
"Pokoknya begini…Mbak..siapa namamu?"
"Najma."
"Najma…kamu tuh jangan naif banget jadi orang," nasihat Rendra. "Jangan cepat percaya orang dari penampakan luarnya. Orang yang kelihatan menderita, belum tentu orang yang tak bersalah."
"Pantas ibu dulu ke luar dari keluarga brengsek itu," pikir Najma. "Walau bapak bilang, sudah waktunya ibu istirahat dan ngurus rumah aja, sebetulnya bukan itu satu-satunya alasan. Keluarga yang gak beres. Perselingkuhan. Penipuan. Penggelapan. Penyuapan. Aku gak bisa bayangkan kalau ibu terus-terusan di sana. Apa sama sekali gak ada anaknya yang beres? Apa semua keturunan Cahyadiningrat gak ada yang bisa diharapkan?"
Seolah membaca pikiran gadis di depannya, Rendra melanjutkan perkataan.
"Jangan kamu pikir, ucapan orang yang kamu anggap brengsek, gak ada benarnya," ujar Rendra.
Najma tersenyum kecil, senyum yang seolah mengejek.
"Jangan tertipu wajah Silva yang innocent. Dia gak sebaik yang kamu pikir. Anak itu mengerikan!" Rendra berkata pelan dan tegas.
Najma menundukkan kepala, menyembunyikan kegelian.
Gadis yang bahkan menyisir rambutnya sendiri masih awut-awutan seperti itu : mengerikan?
Rendra menatap tajam dan dalam ke arah Najma.
"Kalau kamu gak percaya aku, coba tanya ibumu. Tanya, kenapa beliau keluar dari keluarga Cahyadiningrat?"
Wajah Najma menegang.
Rendra menuju mobil, tanpa sadar Najma mengikutinya.
Berpegangan pada pintu mobil jeep merah yang kokoh, Rendra terhenti sejenak.
"Tanyakan bu Tina," Rendra berujar pelan dan misterius, "kejadian di pesanggrahan Danirmala. Ada ibumu dan Silva di sana."
🔅🔆🔅