Raja Galba, raja Wuha dan panglimanya Lota, memandang permukaan sungai Banawi yang mendidih dengan sejuta perasaan berkecamuk. Amarah. Kemurkaan. Geram. Pedih saat menyaksikan orang-orang terbaik mereka tumbang tanpa sempat menyelamatkan diri.
❄️💫❄️
"Paduka!" Lota berbisik, menyingkirkan kemarahan terlebih dahulu. "Kami perhatikan, setiap kali melontarkan api, sesudah itu tubuh Tala mengkerut sesaat. Seolah melemah. Ia butuh waktu untuk memperkuat diri."
"Ya, itu juga ada dalam pikiranku," Wuha membenarkan.
Hanya beberapa detik. Jeda yang sangat singkat. Ketepatan sasaran, kejelian menimbang dan penggunaan kekuatan yang terarah sangat diperlukan di saat genting. Wuha dan Lota saling berpandangan.
"Sekarang, Tuan?" Lota menegaskan.
"Sekarang, Lota!"
"Kuatkan dirimu, Galbaaa!!" Wuha berteriak.
Wuha, mengeraskan lengannya yang separuh terluka. Beruntung, Lota sempat memberikan pengobatan mujarab meski belum sempurna. Galba melakukan hal yang sama. Walau separuh tubuh Galba terkena luka bakar dan ia belum mendapatkan pengobatan yang seutuhnya, separuh perisai Galba masih dapat dipergunakan. Lota mengayunkan kedua lengan besarnya, melontarkan kedua raja melesat ke arah Tala.
Terkejut, tak menyangka akan mendapatkan serangan balik secepat itu, Tala mengeluarkan teriakan nyaring.
Eeeeiiiikkkkhhhrrr.
Galba melentingkan tubuh ke arah perut Tala. Sementara Wuha menyerang lehernya. Pergumulan di angkasa terjadi. Satu-satunya alat agar mereka dapat tetap melayang dengan tetap dan aman adalah sepasang sayap Tala! Sayap Tala sesaat masih mampu mengepak dengan kipasan lebar dan kuat untuk menopang tubuh besar raja ular, raja harimau dan raja buaya yang semuanya mengandalkan kemampuan terbang sang naga.
"Kalian semua akan mati!" ancam Tala.
Separuh perisai Galba menerima pukulan godam ekor gada.
Tubuh keras Wuha menerima cabikan cakar Tala.
"Kau akan mati, Galbaaa! Wuhaaa!" teriak Tala beringas.
Menahan sakit berkali lipat akibat luka bertubi, Galba dan Wuha tak ingin menyerah begitu saja.
"Kita akan mati bersama, Tala!!!" aum Galba.
"Aku tak akan mati!" gertak Tala. "Aku tak akan matiii!!!"
"Kau tak punya usia hidup lebih panjang dari Akasha!" bentak Wuha. "Apakah kau ingin hidup lama dan menempuh segala cara demi keabadian , kekuasaan dan kekuatan, heehh???"
"Aku tak akan mati!!!" Tala menggelegar.
"Katakan! Dengan siapa kau melakukan persekutuan, Tala??" teriak Galba.
Pertanyaan yang tak akan mungkin dijawab, apalagi dalam situasi bertarung seperti itu.
Perut dan leher Tala, berada dalam cengkraman cakar-cakar kuat raja-raja Vasuki yang terkenal dengan cabikannya. Ketiga sosok di angkasa itu saling memukul. Menggigit. Menikam. Menelikung. Mengunci. Menghantam. Menghentak. Lalu sayap Tala tak kuasa lagi mengibas lebih lama. Tiga raja Vasuki meluncur deras menuju daratan Parbata. Semakin lama, kekuatan ketiganya mengendur dan mengecil. Hanya dentuman besar yang menjadi penunjuk akhir perseteruan sengit selama beberapa hari para raja Vasuki di daratan dan angkasa.
Gemeretak kerak bumi.
Bagai gunung terbelah.
Debu panas, uap mendidih, gelombang bara, angin abu bercampur baur. Tiga raja terpelanting dari sikap mengunci satu sama lain. Sinar mata kebencian memancar penuh dari kedua mata Tala, menatap raja-raja sekutu yang berbalik melawannya.
"Kalian…akan…menerima akibatnya!" desis Tala.
"Dan…bagaimana denganmu, Tala?" balas Galba. "Kau yang memulai semua."
"Kamu yang membunuhi pasukan Aswa dan sekarang pasukanku," Wuha menggeram, menahan murka. Andai tubuhnya tak terluka, ia akan bertarung sampai mati.
Ketiga raja terhempas menghantam permukaan bumi.
Menimbulkan lubang-lubang menganga, masing-masing bagai terkubur di dalamnya. Dengan sisa-sisa tenaga, tubuh mereka berubah menjadi A-Pasyu, tubuh menyerupai manusia yang terluka parah. Terhuyung, mencoba keluar dari lubang untuk berdiri lemah di atas sepasang kaki. Ambruk kemudian.
Lalu hening.
Hanya suara-suara derap kaki pasukan masing-masing mendatangi sang raja.
❄️💫❄️