Galba terhuyung. Wuha melemah.
Tala juga mengalami luka di sebagian besar ekornya.
Tapi kekuatan Tala –yang entah dari mana, seakan tak berkesudahan. Bola api dari kuluman lidah, bagian lain dari kekuatan garang yang dimilikinya. Tak penting saat ini untuk mencari tahu, darimana Tala mendapatkan anala. Atau agni. Atau alad. Ia pasti bersekutu dengan pihak yang tak diketahui wangsa Pasyu yang lain.
❄️💫❄️
Dataran lapang nan terang itu terletak di antara dua bukit. Hanya sedikit pepohonan, dengan perdu-perdu besar tumbuh di antara rerumputan dan bebatuan. Cadas-cadas pipih tersebar, bentukan alam yang memudahkan makhluk mengadakan pertemuan . Atau pertarungan.
Tepat di sebelah dataran Parbata, sungai Banawi yang lebar membentang. Perairan tenang kebiruan di permukaannya, menandakan kedalaman. Sebuah ceruk panjang dan curam menjadi pembatas antara Parbata dan Banawi.
"Kau sanggup melompat dari dataran dan mencebur ke sungai?" bisik Wuha.
Galba mengamati dua titik yang berjauhan.
"Apa itu rencana terbaikmu?" Galba menyangsikan.
"Ya!"
Galba lari menuju satu titik, meletakkan kepercayaan sepenuhnya pada Wuha.
Tala tertawa panjang, merasakan aroma kemenangan.
Pada pusat.
Tepat di tengah.
Dataran Parbata yang terbuka seakan menjadi altar persembahan.
Bagai seekor ikan di tengah pemanggangan.
Galba berdiri tegak. Perisai kuat melapisi tubuh, sementara Wuha susah payah bertahan di punggung.
"Kau akan tergelincir nanti," Galba mencemaskan Wuha, "Saat aku melompat sejauh mungkin!"
"Jangan khawatir," Wuha menenangkan. "Mendekati perairan, kekuatan dan kelenturan tubuhku akan berkali lipat lebih baik."
Tala mempersiapkan serangan puncak. Menarik napas panjang hingga dada naganya membusung, leher panjang menyala dalam warna oranye kemerahan. Bola api sebentar lagi dilontarkan! Gagah bertengger di langit, dengan sayap mengepak dan mata liar menatap mangsa. Taring-taring pedang memenuhi seluruh gusi. Dilihat dari segi apapun, tak ada celah menyelamatkan diri. Api, cakar, gada ataupun taring siap melumat.
Galba menguatkan buku-buku kaki. Perisai tubuh bersiap.
Fffrrrruuuuugh.
Ghrrrroaaaarrrrggggh.
Letupan dan nyala api berbentuk bulat sempurna seukuran bukit meluncur secepat angin. Bersamaan Galba menghentakkan tubuh sembari memanggul Wuha di punggung, melompat melewati ceruk. Menenggelamkan diri di sungai Banawi.
Walau sempat menghindar dari amukan Tala, tak urung sebagian tubuh terkena sentuhan jilatan api. Baik Galba maupun Wuha menggeram menahan sakit. Air sungai Banawi mendinginkan rasa panas terbakar. Di bawah permukaan, pasukan Wuha bersiap, menangkap tubuh kedua raja yang babak belur terluka. Lota, panglima kepercayaan Wuha, menangkap tubuh tuannya yang terluka cukup berat.
"Biarkan hamba yang meneruskan pertempuran, Tuanku," geram Lota.
"Jangan menyalahi perintahku, Lota," Wuha mendesis. "Walau aku terluka, aku tak mengapa. Sudah kau siapkan anak buah sessuai rencana kita?"
"Sesuai titah Paduka!" Lota mengiyakan, memerintahkan semuanya bersiap.
"Lindungi Raja Galba!" perintah Wuha. "Ia tak akan kuat bertahan lama di sini."
Cukup banyak mata pasukan Wuha yang bersembunyi dari bawah air, mengamati pertempuran dan melaporkan tiap kejadian kepada Lota. Cepat Lota mengatur pasukan dan memberikan berita singkat kepada Wuha. Kecedikan Wuha dan panglimanya, Lota, menjadi taruhan. Hanya dalam hitungan detik Wuha memberikan perintah lebih lanjut.
"Tahan napasmu lebih lama, Raja Galba," Lota mengucapkan mantra, menekankan telapak tangannya pada area pernapasan Galba.
"Kalian akan melontarkan aku dan Galba ke arah Tala," Wuha memberikan perintah dengan jelas.
"Tuan! Itu berbahaya!" teriak Lota.
"Jangan membantah! Sebentar lagi lontaran api akan menghampiri Banawi dan seluruh daerah ini akan mendidih! Sebagian kalian akan terluka parah dan harus menyembuhkan diri sendiri, atau meminta bantuan pengobatan wangsa Pasyu yang lain!"
Galba menatap Wuha. Mereka saling menguatkan.
"Kau dengar itu, Lota?" Wuha bertanya ke arah Lota dan seluruh pasukan di hadapannya.
Dari bawah air, terdengar erangan dan auman geledek darei angkasa. Suara angin berpilin, berputar, dan hawa panas yang mulai merambat wilayah permukaan air.
"Itu anala kedua!!" Lota berteriak kepada pasukannya.
Satu barisan pasukan Wuha membentuk ikatan erat, seolah jembatan. Seolah rakitan. Seperti rajutan besar tali lentur yang akan melemparkan beban. Lota, mekuat tenaga mencengkram leher kedua raja dan mendorongnya ke perairan. Tepat ketika bola api berukuran anak bukit menyentuh permukaan sungai Banawi yang langsung mendidih.
Lota, gemetar karena amarah dan menahan beban dua raja di kedua lengannya, berdiri di tepian daratan Parbata.
"Kau akan menerima pembalasan kami, Jahannam Tala!" teriak panglima Lota bergemuruh.
❄️💫❄️