Chereads / Silver Dynasty | Dinasti Perak / Chapter 39 - Pelarian (1)

Chapter 39 - Pelarian (1)

Aroma lezat masakan ibu selalu berhasil menarik orang ke luar kamar. Walau berkubang dalam ponsel dan berita-berita terkini yang dihembuskan netizen – ditambah headset menempel di kepala; hidung tak memiliki pelindung. Oseng buncis, telur dadar, sambal dan nasi hangat dari arah dapur memanggil-manggil perut lapar.

"Nduuuuk! Makaaaaan!"

Ibu yang lembut, ketika membuka mulut selalu mengejutkan. Refleks Najma menjawab segera dan berlari terbirit. Untung ia tak sedang memainkan Arknights! Masakan ibu selalu menggagalkan diet. Najma menyendok nasi dan sejenak melupakan kalau ia harus banyak-banyak mengurangi karbo.

"Yah, Ibu," keluh Najma.

"Kenapa, Naj?"

"Kalau masak kenapa enak begini, sih. Kan aku jadi gak bisa diet."

"Ya, udah. Makan aja sedikit. Banyakin sayur sama dadarnya."

"Tapi dadar sama oseng, apalagi ada sambel, cuma bisa dimakan pake nasi," gerutu Najma.

"Dietnya besok aja, Naj," ibu menyendok nasi. "Atau kapan-kapan."

"Hah? Kemarin-kemarin juga gitu!"

"Kamu berdoa aja pas mau makan. Berdoa kalau makanan kamu berubah jadi energi dan kentut, jangan jadi lemak."

"Jijaaii!" Najma memejamkan mata sembari mengangkat bahu. Didengarnya ibu tertawa lepas.

Najma memperhatikan meja makan.

"Bapak belum berangkat, Bu?" tanya Najma.

"Sudah. Bapakmu berangkat pagi. Katanya ada beberapa wartawan mau datang."

"Wartawan, buat apa?" tanya Najma terheran sembari memasukkan nasi ke mulut.

"Ya, ndak tau. Tanya bapakmu sana."

"Trus, itu nasi buat siapa?" Najma masih mengunyah dan terus bertanya.

"Ehhh, dikunyah. Ditelan. Baru bicara," ibu mengingatkan. "Kamu lupa? Kan ada anak yang kemarin lusa datang ke mari."

"Oh, anaknya bos Ibu dulu itu," Najma mengangguk. "Siapa namanya? Silvy?"

"Silva."

"Ahya, Silva!"

"Kasihan anak itu."

Najma menghembuskan napas, "Ada aja orangtua jahat kayak gitu di zaman sekarang. Bisa dilaporin ke polisi, lho. Pelanggaran HAM."

"Hush!"

Najma memandang ibu yang menyiapkan nasi dan lauk pauk di piring, berikut teh hangat. Ia selalu mengagumi ibu yang sederhana, tetapi punya banyak teman. Teman di arisan PKK, teman di pengajian, teman di pasar. Ibu hanya perempuan bersekolah rendah yang bekerja sebagai juru masak di perusahaan. Karena pengabdian dan ketrampilan, ibu juga menjadi koki keluarga kaya. Baru dua tahunan ini ibu tak lagi bekerja. Bapak tak mengizinkan, lebih baik ibu istirahat di rumah dan menerima pesanan sekedarnya via online. Masakan ibu yang ditempa pengalaman dan keahlian, memang tiada duanya.

Sesekali ibu pernah bercerita walau tak detail.

Tentang konflik keluarga bosnya. Dengan kesimpulan yang sangat general.

"Yah, namanya orang kaya ya, Pak. Duitnya banyak. Ada aja masalahnya," terdengar suara ibu berdiskusi dengan ayah di suatu malam, sembari menonton televisi yang menayangkan berita perceraian artis.

Apakah ibu sedang membicarakan kehidupan para artis atau kehidupan keluarga bosnya, Najma tak ambil pusing. Tapi beberapa kali ibu pernah melontarkan kata-kata yang berulang : kasihan anaknya, anak kan nggak tau apa-apa, harusnya anaknya jangan ikut nanggung kesalahan orangtua. Dan seterusnya.

Najma menduga, 'anak' yang disebutkan ibu berkaitan dengan keluarga bos, tempat ibu menjadi juru masak. Mustahil ibu membahas kehidupan artis bersama bapak sedemikian intens. Pernah, sekali saja Najma melihat seperti apa keluarga bos ibu. Naik mobil yang harganya ditaksir di atas 2M. Mengantarkan bingkisan ke rumah ini dan memohon agar ibu tak ke luar kerja. Wajahnya tak terlihat jelas, terlindung di balik kaca mata hitam. Melihat penampilannya, Najma dapat menebak. Gaun dan sepatu yang dikenakan berasal dari butik ternama. Bukan berasal dari lemari penyimpanan cagar budaya yang tuarenta dan berdebu.

Cantik? Tentu.

Usianya lebih dari separuh abad. Jangan tanya kulitnya. Lebih terang dan kencang dibanding Najma. Dua hari yang lalu, kejadian tiba-tiba mengejutkan mereka. Seorang gadis mengetuk pintu rumah dan berdiri kacau di sana. Ibu mengenalinya dan menariknya masuk. Gadis itu menangis di pelukan ibu.

"Bu!"

"Hm?"

Najma menghentikan kunyahannya.

"Biar aku yang ngantar makanan ke kamarnya," Najma menawarkan diri.

"Jangan, Nak. Silva sepertinya agak takut ketemu orang."

🔅🔆🔅

Rumah ini kecil.

Hanya ada ruang tamu, ruang keluarga mungil, ruang makan yang menyambung dapur. Ada tiga kamar yang juga ukurannya tak seberapa besar. Satu kamar bapak ibu, satu kamar Najma. Satu kamar di belakang memang merupakan kamar tidur yang diperuntukkan bagi beberapa barang seperti cucian kering yang bersih dan menyimpan perkakas masak yang tak digunakan.

Sebelum berangkat kerja, Najma mengetuk pintu kamar belakang. Syukurlah, dibukakan.

"Hai, Dek," sapa Najma, mencoba tersenyum.

Sebagai anak bungsu ia terbiasa manja. Dulu, ketika ditanya apakah ingin punya adik, jawabannya : nggak! Lebih enak jadi anak bungsu. Sekarang, ia sering iri melihat teman-temannya punya adik. Walau adik merepotkan, mereka juga sangat menghibur. Ragil punya adik. Bambang punya adik. Ragil sering mengajak adiknya main ke tempat kerja dan adiknya banyak melontarkan pertanyaan absurd.

Beberapa kali ia memergoki Ragil makan di café bersama adiknya. Ingin rasanya menikmati kehidupan berbagi dengan saudara. Najma punya kakak, tapi jauh jaraknya. Sebagai adik, ia yang selalu harus patuh dan ditindas. Kalau punya adik, enak juga bisa memarahi orang lain dan menindas sesekali, ya?

"Aku punya baju-baju, semoga cukup buat kamu," Najma menawarkan.

Silva terdiam. Tak tahu harus berkata apa ketika menerima baju.

"Kamu punya HP?" tanya Najma.

Silva menaikkan alisnya yang tebal melengkung. Menggeleng.

"Kakak punya beberapa. Ini ada satu, masih bagus. Tapi harus segera dicas kalau udah tinggal tigapuluh persen, ya. Ada nama Kakak di situ. N-a-j-m-a. Kalau kamu butuh apa-apa, bilang aja."

Ibu segera menghampiri Najma dengan wajah khawatir.

Najma segera berbalik ke arah ibu, mencium tangan ibu dan memeluknya.

"Najma berangkat dulu ya, Mommmyyyy!"

Setengah berlari Najma menuju ke pintu depan.

Tempatnya bekerja lumayan disiplin, walau ada flexi-time. Untungnya, tak mengharuskan menggunakan seragam kantoran yang dibenci generasi Najma. Ketika membuka pintu, Najma nyaris membentur sesuatu. Atau seseorang. Ia terlonjak dan berteriak.

Satu sosok berdiri di depannya.

Mematung.

Pakaiannya sama seperti Silva. Dengan rambut panjang tebal dikelabang dua. Wajah unik dengan kulit pucat dan sorot mata aneh. Tanpa mengucap salam atau basa basi apapun, ia langsung bertanya.

"Silva ada?"

🔅🔆🔅