Chereads / Silver Dynasty | Dinasti Perak / Chapter 42 - Pelarian (4)

Chapter 42 - Pelarian (4)

Berdiri lama di depan cermin.

Menatap bayang diri sendiri.

Kedua tangan terentang, memegang tepian kayu berukir.

Seperti melakukan ritual sesuatu di tengah keremangan lampu.

Siapa tidak kaget mendapati kejadian seperti itu?

🔅🔆🔅

Pagi-pagi.

"Maafkan," Silva mendekati Najma yang tengah sibuk di dapur.

Scrabble-eggs, roti bakar. Potongan pepaya dan beberapa gelas teh hangat. Ibu berkata bahwa Silva tidak terbiasa sarapan nasi di rumahnya dulu. Tidak seperti keluarga mereka yang sehari-hari makan nasi berlauk sayur tahu tempe.

"Kenapa?" Najma santai bertanya. Ia masih sibuk mengupas pepaya.

"T-Tadi malam, Mbak," Silva berujar pelan. Memainkan jemari. Mentautkannya, membentuk pola segitiga gunung atau lembah. Memainkan cincin di jari manis, memindah-mindahkannya ke jari-jemari yang lain.

Najma angkat bahu samar lalu berujar pelan, "oh, itu."

"I-iya…"

"Santai aja. Sudah Mbak bersihkan kok pecahan kaca."

"I-iya…"

"Kamu mau makan di mana?" tanya Najma.

Silva bingung.

"Maksud Mbak, mau makan di kamar atau di sini? Di ruang makan sini?"

"K-kata Mbak…eh…bagusnya makan di …di mana?"

Tawa Najma meledak.

"Yah, kamunya mau makan di mana, Dek?" tanya Najma lagi.

Demi dilihatnya Silva memainkan jari, kebingungan, Najma membantunya mengambil keputusan.

"Kamu makan di sini aja, ya. Di meja makan. Duduk deh, di situ. Temanmu mana?"

Silva menoleh ke arah kamarnya yang masih tertutup. Candina ada di sana. Entah apa yang dilakukan.

"Nanti roti bakar ini kasihkan dia, ya."

Silva menatap menu di piring. Dua tangkup roti bakar.

"B-buat M-mbak Najma mana?"

Najma menggeleng.

"Aku kadang sarapan, kadang nggak. Tergantung perutku laparnya kapan. Lagian aku lagi pingin makan nasi. Maklum perut orang Jawa, Dek. Nggak makan nasi, nggak kenyang."

Najma mencoba berkelakar, disambut Silva dengan senyuman tipis.

Sembari mengunyah pelan-pelan, Silva lebih banyak terdiam.

"Manners banget," pikir Najma. "Cuma anak horang kayah yang makannya rapi kayak gitu padahal ngunyah roti bakar isi telur orak arik. Mana dikasih saos lagi. Kalau aku udah belepotan tangan ama mulut. Dia mah tetap slaaaayyyy."

Silva meneruskan makan. Sepertinya ia memang lumayan kelaparan.

"Liat, tuh. Punggungnya tegak. Dagunya juga tegak. Rotinya yang masuk ke mulut, bukan mulutnya yang maju nyamber roti, hahaha," Najma bermain dengan pikirannya sendiri. "Aku harus kursus apa biar bia makan rapi kayak gitu, ha?"

Daripada bicara dengan pikiran sendiri, lebih baik memecah kesunyian.

"Kamu sekolah di mana, Dek?" tanya Najma.

Silva terdiam. Mengambil air minum. Meneguknya besar-besar.

"Kalau aku kerja di cagar budaya," Najma menjelaskan tanpa diminta. "Kerjanya asik sih…tapi emang harus ngabdi banget. Padahal aku lulusan sastra Jawa. Dulu pinginnya bisa dapat beasiswa ke Belanda, tapi belum tembus. Udah keburu kerja. Dapat duit. Males deh. Padahal gak boleh gitu, ya?"

Silva menatap roti. Ia ingin menanggapi. Ingin bisa cepat akrab. Tapi susah sekali membuka mulut dan menanggapi percakapan.

"Aku belajar bahasa-bahasa kuno," Najma melanjutkan. Rasanya, kalau ada perbincangan, suasana jadi tak kaku. Walau lebih banyak monolog. "Tapi aku juga mahir bahasa Jepang ama Korea, lho. Dikit-dikit tapi!"

Silva menatap gadis di depannya sembari berseru dalam hati : keren!

"Aku pingin bisa banyak bahasa. Dan ternyata, belajar bahasa-bahasa kuno ngebuat aku ngerasa kayak masuk ke dunia peri. Elf. Bukan ELF - nya Suju ya!"

Silva tersenyum lebar.

Najma senang melihat senyuman itu. Ia ingin lebih banyak bercakap tapi banyak pekerjaan menanti. Gadis itu bangkit berdiri.

"M-mbak…," panggil Silva pelan. Memainkan cincin dengan gelisah.

"Hmh?"

"Mau k-ke mana?"

Najma menjelaskan bahwa kalau akhir pekan, ia banyak membantu bu Tina. Membereskan rumah, mencuci baju dan piring, belanja. Juga menyapu halaman sekeliling rumah yang dipenuhi daun kering.

Walau mereka baru kenal, rasanya hangat dan akrab.

"Kalau kamu udah sarapan dan mandi pagi, mungkin kamu keramas juga, akum au sisirin rambut kamu yang panjang. Boleh?" Najma menawarkan.

Rambut Silva awut-awutan. Seperti tak pernah disisir. Seperti tak pernah dirapikan. Padahal rambut itu panjang , hitam dan tebal. Silva meraba kepala dan rambutnya.

"A-aku…kemarin keramas," kata Silva.

Apa aku terlihat kekanakan? Batin Silva.

Sampai-sampai Najma menawarinya menyisiri rambut! Ia sudah delapan belas tahun ! Sudah dewasa secara hukum. Najma pun tetiba menyadari bahwa ia menawarkan sesuatu yang terlalu privacy bagi gadis yang baru dikenal. Walau Silva terlihat bingung, kekanakan dan serba tak menentu; ia sepertinya bukan anak-anak lagi.

"Sorry," Najma menyesali kata-katanya yang spontan.

Ia akan beranjak ke luar rumah, lalu teringat sesuatu.

Silva tengah duduk manis di meja makan, memegang roti bakar berisi telur. Urung menyapu halaman, Najma menarik kursi di depan Silva lalu duduk setengah bertopang dagu.

"Temanmu itu…semalam ngapain sih?" tanya Najma.

Sepotong suapan di mulut, terhenti tiba-tiba. Terbatuk-batuk. Hingga harus diredakan dengan beberapa teguk teh hangat.

"C-Candina, Mbak?"

"Ya, Candina."

"M…eh, d-dia emang agak aneh…"

"Tapi dia baik banget sama kamu. Perhatian. Sahabatmu, ya? Atau masih ada hubungan kerabat?"

Sahabat.

Teman.

Kerabat?

Kosa kata aneh yang tak pernah ada di hidup Silva. Apa ia pernah punya keluarga? Apa ia pernah punya teman sejak TK, SD, SMP dan sekarang SMA? Apa ia pernah punya kerabat? Mungkinkah manusia lahir dari batu atau akar pohon? Ia bahkan tak punya orang tua! Kalau orangtua biologis, mungkin ya. Mama. Dan seorang lelaki-entah-di-mana. Ada papa, suami mama yang cukup baik dan mau bertanggung jawab. Lelaki yang bersedia menanggung biaya hidup Silva. Namun, lelaki itu tak pernah ada untuk berbagai kasih sayang dan perhatian.

Apakah Candina sahabatnya? Temannya?

"Ya udah," Najma menangkap kegalauan, kesedihan dan seribu satu rasa berkecamuk pada gadis di depannya. Tanpa sadar, tangan Najma menepuk lembut lengan Silva. "Kamu di sini aja dulu, anggap kami keluargamu. Anggap aku kakakmu, oke?"

Sebutir air meluncur tiba-tiba dari ujung mata Silva.

🔅🔆🔅