"Rumah ini hangat," ujar Candina.
Bisa kurasakan itu, pikir Silva. Bapak, ibu, anak, bercakap-cakap dan tertawa bersama. Gak ada hal semacam itu di rumah kami.
"Ada banyak serbuk perak di sini," Candina berkata lagi, sembari memejamkan mata.
Silva memandangnya terheran-heran.
🔅🔆🔅
Rumah pak Koko atau rumah Najma adalah rumah lama di pinggiran kota. Bahkan aroma pedesaan terasa, masih terdapat sawah-sawah dan perkebunan di sekeliling walau tak besar-besar amat. Rumah itu tetangga kecamatan dengan sekolah bakat minat Javadiva yang terletak di kaki gunung. Wajar, Silva dapat menemukan rumah itu tanpa banyak kesulitan.
Rumah Najma bukan bangunan megah.
Batu bata penyusun dinding-dindingnya masih batu bata merah yang berasal dari puluhan tahun lampau. Berbeda dengan batu penyusun rumah sekarang yang ringan bercampur plastik hingga terasa panas. Rumah itu sejuk dan dingin di waktu siang, hangat dan melindungi di waktu malam. Jendelanya berbentuk kotak-kotak, memiliki perpaduan kaca dan kayu. Jendela itu dapat dibuka dan ditahan dengan besi berujung melengkung.
Barang-barang kuno milik kakek nenek Najma masih terpelihara dengan baik. Bu Tina rajin merawat lemari baju kayu jati, lemari kaca kayu jati, meja kursi kayu jati. Di sudut ruang tamu mungil, sebuah lemari kecil lengkap dengan jam kuno berdiri membisu. Jam kunonya sudah mati, namun aroma kemegahan masa lalu masih terpatri. Banyak orang-orang di desa yang menyimpan rapi barang-barang peninggalan leluhur. Bahkan, bu Tina masih menyimpan peti kayu kuno yang dulu digunakan sebagai penyimpanan persenjataan atau barang berharga lainnya. Meski peti itu sekarang dijadikan tempat penyimpanan beras agar tak berkutu dan bersemut.
Apalagi, Najma bekerja di kantor pelestarian cagar budaya. Hasrat keluarga itu untuk memelihara segala barang kuno dan peninggalan leluhur semakin menjadi-jadi. Walau tentu, mereka bukan kolektor barang seni mahal. Hanya sekedar menyimpan dan memelihara benda-benda warisan yang masih bertahan.
Sebuah cermin besar yang retak di tepiannya, terpasang di ruang tengah.
Sekeliling cermin itu ukuran kayu jati dengan bentuk ulir-ulir keong dan pola dedaunan.
🔅🔆🔅
"Bu…anak-anak itu siapa, sih?" Najma ingin tahu.
Malam itu, Najma minta tidur bersama ibu. Pak Koko sedang bekerja lembur.
"Lha, kan kamu sudah kenal. Yang satunya Silva, anaknya majikan ibu dulu, bu Candra. Kalau yang satunya , temannya. Candina namanya. Hm, nama yang bagus. Jarang ada nama kayak gitu."
"Kok, mereka agak aneh gitu, ya?"
"Aneh gimana?"
"Ya, aneh aja. Jarang ngomong. Jarang bicara," Najma berbisik.
"Maklum, Nak," sahut ibu prihatin. "Silva dari dulu begitu. Anaknya tertekan. Sering dimarahi. Diomelin sama seisi rumah. Padahal anaknya cantik dan pintar. Makanya dia sering keliatan murung, jarang ngomong."
"Hm, bukan itu siiiih," Najma menarik selimut, berpikir-pikir.
"Trus apa?" ibu ingin tahu.
"Ya, gimana ya. Kayak ada yang aneh aja sama anak-anak itu. Tapi aku juga nggak tahu."
"Kamu ajak ngomong kalau gitu," ibu menguap, terlihat mengantuk.
Suasana tenang dan sepi.
"Eh, Bu. Mereka berapa lama di sini?" Najma berbisik.
"Nggak tau," ibu bergumam, antara tidur dan terjaga. "Kamu coba ajak anak-anak itu ngobrol. Usiamu gak jauh beda, tho?"
Najma terdiam. Berpikir lagi.
"Iya deh," sahut Najma. Ia menguap dan merasakan kantuk yang berat.
🔅🔆🔅
Silva terbangun malam hari karena ingin ke belakang dan kebetulan, ia belum sembahyang. Di sisinya, Candina tak didapatinya. Kamar mandi berada di dekat dapur, satu-satunya kamar mandi di rumah itu. Bukan kamar mandi mewah dengan air panas dan pancuran. Hanya kamar mandi kuno dengan bak air yang terbuat dari keramik kebiruan.
Ia benar-benar terkejut mendapati Candina berdiri di depan lemari jam.
"Kamu ngapain?" tanya Silva setengah jengkel.
Malam-malam berdiri mematung seperti itu, mengagetkan.
Candina berdiri di sana, mengamati lemari dan jam berlama-lama. Ia memegang jam bandul miliknya.
"Candina, ayo ke kamar!" bisik Silva khawatir. Mereka sedang menumpang di rumah orang, tentu tak enak berkeliaran malam-malam meneliti barang-barang. Mau mengutil? Mencuri? Mengambil tanpa izin?
Candina hanya terdiam dan mengangguk.
"Nanti aku ke kamar," sahut Candina pelan. "Kamu kembali dulu."
Silva angkat bahu dan berniat kembali ke kamar. Karena haus, ia mengambil air minum di dapur. Baru saja menuang air dan belum sempat meneguk demi menghilangkan haus, didengarnya seseorang membuka pintu dan otomatis ia menggerakkan kepala ke arah suara. Sepertinya seseorang melangkah gontai karena mengantuk tapi harus ke luar kamar. Mungkin itu bu Tina. Mungkin mbak Najma, pikir Silva.
Lalu terdengar jeritan tiba-tiba.
Gelas di tangan Silva tergelincir, pecah berkeping dengan suara berisik.
🔅🔆🔅