Pasyu Paksi terkenal dengan sepasang mata cemerlang dan tubuh ramping yang gesit.
Dalam bentuk Pasyu, mereka gagah menjelajahi langit menggunakan sayap kuat coklat kehitaman. Paruh tajam dan mata jeli adalah senjata terbaik saat berkelana sembari mengawasi bumi. Berada di tempat-tempat tinggi, di puncak-puncak pepohonan. Istana Paksi tersusun dari kayu-kayu terbaik, akar-akar pepohonan yang kuat, getah-getah yang merekatkan hingga tak mudah diruntuhkan. Istana raja berada di puncak-puncak pohon jati, sementara istana ratu berada di puncak-puncak kapuk randu. Tangga indah yang terjalin dari serabut-serabut pelepah pohon menjadi penghubung. Lampu-lampu kunang-kunang raksasa dalam wadah kendi tembus pandang menjadi penerang malam istana.
Kegiatan Paksi tak hanya beredar di antara pohon-pohon. Mereka berkelana pula di daratan, padang rumput, gunung-gunung, perbukitan dan ke manapun sepanjang sayap menjelajah. Dalam bentuk A-Pasyu, Raja Ame bertubuh tinggi tegap. Kulit coklat , rambut ikal lebat sebahu, alis tebal menaungi mata. Ratu Dhaya bertubuh ramping dan kuat. Kulit coklat muda yang memukau, wajah bulat telur, mata bundar dan alis bagai semut beriring.
Dhaya menyambut kedatangan Laira dengan hangat di istana ratu, mempersilakannya masuk ke ruang peraduan untuk berbicara empat mata. Walau menyambut dengan tangan terbuka, Dhaya terlihat waspada dan sangat berhati-hati.
❄️💫❄️
"Saya mewakili Ratu Ghiwa dan kerajaan Aswa menghadap Ratu Dhaya," Laira memberi penghormatan penuh. Pertemuan itu diliputi rasa canggung dan tegang. Walau yang disampaikan Ghiwa ada benarnya, Dhaya tidak tampak menolak ikatan persahabatan yang ditawarkan Mina dan Aswa. Bukankah sejauh ini, selama ribuan tahun mereka duduk dan berdiri bersama?
Setelah basa basi singkat dan menyantap sajian perjamuan yang merupakan upacara khusus menyambut tamu agung, Laira menyampaikan maksud hati. Bagaimana ia dan Ghiwa berharap, seluruh wangsa bersatu menghadapi keganasan Tala hal Vasuki.
Dhaya tersenyum bijak.
"Saya sangat menghargai harapan Ratu Laira dan Ratu Ghiwa," Dhaya berujar. "Menjadi keinginan kita bersama agar kedamaian seluruh wangsa di dunia ini terjaga. Ribuan tahun tanpa perang, seluruh wangsa hidup dalam ketentraman. Kita berharap ribuan tahun ke depan akan tetap seperti ini."
Laira mengangguk.
"Bila seluruh raja dan ratu bersatu, Raja Tala hal Vasuki akan menghentikan serangannya," Laira menegaskan. "Cukuplah ia membunuhi prajurit-prajurit Aswa."
"Apakah Aswa tak ingin membalas?" Dhaya bertanya.
"Balas dendam tak ada dalam denyut nadi Aswa," Laira menjelaskan.
"Membalas," Dhaya mengingatkan,"…tidak sama dengan membalas dendam."
"Maksud Ratu?" Laira menarik napas.
"Jika kita merasa benar, seharusnya bertahan. Melawan. Atau memberikan pukulan balik agar pihak penyerang mengetahui alasan di balik semua pertarungan," gumam Dhaya.
"Kami bertahan di Aswa saat panglima Kundh tiba-tiba membunuhi prajurit dan menyerang panglima Gosha, panglima kami," Laira menekankan kata demi kata. Pelan, namun tajam.
"Saya sudah kelepasan bicara," Dhaya meralat. "Keadaan sulit ini tak mungkin diselesaikan singkat dan cepat."
"Sebaliknya," Laira menyela,"harus diselesaikan segera agar kerusakan tak semakin meluas."
"Meluas?" Dhaya mengulang. "Ratu Laira beranggapan Raja Tala hal Vasuki akan kembali membunuh pihak lain?"
"Ya. Sifatnya yang keras dan tak mau mendengarkan pendapat, saya rasa akan membuatnya bersikap semena-mena."
"Sangat tak bijak menuduh Raja Tala demikian," Dhaya menyanggah.
Laira menaikkan alis.
"Walau beliau keras kepala dan terkadang sulit mendengarkan pendapat pihak lain, beliau murah hati saat memberikan bantuan kepada seluruh wangsa Pasyu," Dhaya mengingatkan.
Laira menarik napas panjang. Wajah Ghiwa yang pucat pasi, terbaring dalam kubah perlindungan, menguatkan dirinya untuk terus meyakinkan Dhaya.
"Hamba tak melupakan betapa baiknya Raja Tala pada wangsa Pasyu dan Akasha. Namun, saat langkah beliau telah terlalu jauh, tidakkah kita sepakat untuk mengingatkan?" Laira bertanya.
"Ya. Saya setuju, Ratu Laira," Dhaya mengangguk.
"Membunuh prajurit Aswa di perbatasan dan saat pergantian wangsa, apakah itu dapat dibenarkan?" Laira kembali bertanya.
"Tidak. Tentu tidak," Dhaya membenarkan.
"Saya tak ingin Raja Tala menghancurkan lebih banyak lagi. Baik Pasyu dan Akasha," tegas Laira.
"Ratu Laira," Dhaya menenangkan. "Mengapa Ratu begitu khawatir Raja Tala akan berlaku buruk?"
"Ia telah membunuhi prajurit Aswa, Ratu Dhaya. Tidakkah itu buruk?" Laira menahan kesedihan dan amarah. Mengapa sulit sekali meyakinkan betapa berbahayanya Tala hal Vasuki?
"Ya. Itu sangat buruk. Sangat buruk. Tapi Raja Tala tak membunuh pihak lain selain Aswa," Dhaya mengingatkan.
Laira membelalakkan mata.
"Hanya Aswa yang mendapatkan serangan," Dhaya mengulang. Menatap tajam ke arah Laira yang terlihat bingung dan lelah. "Apakah Ratu Laira tidak bertanya-tanya, mengapa Vasuki hanya menyerang Aswa?"
"Boleh jadi selanjutnya Vasuki akan menyerang Paksi dan Mina. Atau bahkan wangsa Akasha," Laira berucap tajam dan berani.
"Apakah Ratu Laira tidak ingin tahu, mengapa dan demi apa Raja Tala hal Vasuki menyerang Aswa? Sebab Ratu Gayi dan Nagen pun memiliki pendapat mereka sendiri ketika berkunjung ke mari. Mengapa kita, para ratu, tidak berkumpul dalam satu majelis dan membahas semua dengan kepala dingin?"
Laira duduk tegang.
Begitu tegangnya hingga dagunya tegak dan kaku, napas sedikit tersengal.
"Apa yang dikatakan Ratu Gayi dan Ratu Nagen?" desis Laira.
Dhaya menatap Laira tepat di manik mata. Penuh selidik. Ratu cantik di depannya terlihat bersungguh-sungguh, menyimak, walau jelas kemarahan tampak berkilat di raut muka.
"Tentang membalas," sahut Dhaya. "Vasuki ingin membalas terhadap apa yang telah dilakukan Aswa."
Bibir Laira terbuka.
Membalas Aswa?
Apa yang telah dilakukan Aswa sehingga pantas menerima penyerangan panglima Kundh?
❄️💫❄️
Laira telah siap menghadapi penolakan.
Permusuhan hanya pernah dibaca dalam kitab-kitab peperangan. Kitab lama yang terkubur dalam ceruk sejarah periode sebelum wangsa Akasha dan Pasyu pernah ada. Dengan kekayaan, usia abadi dan kemewahan hidup; mustahil dunia diwarnai iri dengki dan perselisihan. Peperangan lama membeku dalam lukisan, puisi dan pahatan. Ketika ia mendatangi satu demi satu ratu untuk meminta pendapat setelah peristiwa pertarungan panglima, telah disiapkan diri menghadapi pendapat yang berbeda. Bahkan berseberangan.
Namun apa yang disampaikan Dhaya benar-benar membuatnya tertohok.
Gayi dan Nagen telah meracuni pikiran Dhaya. Mungkin. Mungkin pula, ratu-ratu Vasuki telah meracuni Madhavi dan Mihika. Sebagaimana ia pun berusaha meyakinkan ratu Jaladhini, raja Vanantara dan putri-putri mereka. Di ujung perbincangan dengan Dhaya, kalimat terakhir benar-benar menggodamnya.
Apakah sebenarnya Vasuki membalas Aswa, atas sesuatu yang pernah terjadi?
❄️💫❄️