Bukan pertanda baik, ketika sambutan diwakilkan.
Walau sang ratu hadir dan panglimanya mendampingi, sang raja tak tampak batang hidungnya. Apalagi, alasan yang diajukan terlihat mengada-ada : raja sedang berkelana menyusuri aliran sungai.
❄️💫❄️
"Kami selalu menyukai kunjungan Yang Mulia Ratu Laira," sambut Ratu Mihika anggun. Berdiri di sampingnya, panglima Kavra banna Gangika.
Laira membungkukkan badan hormat, sembari memberikan salam dari raja Shunka dan mempersembahkan hadiah kristal-kristal dalam peti-peti berukir. Demi melihat Laira hadir seorang diri, Mihika mempersilakan Kavra meninggalkan mereka berdua. Para pelayan menyiapkan jamuan, dayang-dayang duduk rapi berkeliling menanti perintah. Baik Mihika maupun Laira duduk di atas singgasana batu berukir yang indah, berada di tengah-tengah aliran sungai jernih yang memancarkan nuansa damai.
"Bagaimana kabar Baginda Raja Nadisu banna Gangika?" Laira menyesap minuman yang dihidangkan sembari melemparkan pertanyaan .
"Raja Nadisu dalam keadaan sehat sentosa," Mihika pun menyesap minuman.
"Hamba sangat ingin menemui beliau, Ratu Mihika," Laira menyampaikan maksud. "Utusan Aswa mengantarkan surat permohonan, apakan sampai ke beliau? Hamba bersedia menunggu bila perlu."
Alis indah Mihika naik. Tampak terheran-heran walau binar mata palsu tersirat.
"Oh? Utusan Aswa? Saya pikir surat itu sampai ke pengawal raja. Pastinya!"
"Lalu?" Laira bertanya menunggu.
"Saya pikir, Raja Nadisu akan hadir di sini ketika Raja Shunka bersama Ratu Laira. Mungkin, beliau berpikir, ini hanya kunjungan antar ratu," Mihika berkelit.
Padahal jelas-jelas Laira bertanya tentang utusan Aswa berikut surat permohonan, dan permintaan itu sampai ke Raja Nadisu.
"Apakah bila hamba menunggu kepulangan Raja Nadisu, Ratu Mihika mengizinkan?" Laira bertanya ingin tahu.
"Kami pun tak tahu kapan raja pulang," Mihika tampak menyembunyikan sesuatu. "Ketika berburu dan berkelana, raja dalam menghabiskan waktu panjang tanpa pengawalan."
"Bahkan Ratu Mihika pun tak diberi tahu?" Laira memancing.
Mihika tersenyum.
Laira merasa sedikit kurang ajar dengan keinginannya mengorek kehidupan pribadi raja dan ratu Nadisu. Sejurus kemudian, sang ratu Aswa mengatupkan tangan di depan dada, meminta maaf atas kelancangan.
"Tidak selalu persoalan raja perlu diketahui seorang ratu, Ratu Laira," Mihika menyindir halus. "Dan tidak selalu, seorang ratu harus terlibat semua urusan negara. Bukankah demikian?"
Laira terdiam, tak mengiyakan. Hanya tersenyum lebar, tanda menghargai pendapat ratu di depannya.
"Tapi bagaimana bila sang raja meminta nasihat dan bantuan ratu?" Laira bertanya halus.
Mihika menarik napas pendek.
"Apakah sang raja tak mampu mengatasi masalahnya sendiri sehingga harus meminta bantuan orang lain?" Mihika menjawab tajam.
"Seorang raja pastilah orang terhebat dari kaumnya. Yang paling mumpuni. Yang paling widagda*. Namun bukan berarti raja harus memutuskan sendiri, sebab di sekelilingnya banyak cerdik pandai. Raja Nadisu pun memiliki penasihat terhebat di sisinya : Ratu Mihika," Laira berkata lembut dan tegas.
Mihika menyesap minumannya.
Mempersilakan Laira menghabiskan minuman dan sajian, lalu mengajak sang ratu berkeliling istana perempuan.
"Saya ingin mengajak Ratu Laira berkeliling kerajaan Gangika. Bersedia?"
Laira menarik napas pendek. Kehangatan dan keramahan ini, berbeda dengan sambutan yang diterimanya di Jaladhi dan Wanawa. Ia menghadapi kecurigaan di Giriya, dan kali ini pun hal-hal yang tak mengenakkan hati ada di Gangika. Walau Mihika terlihat santun dan menghargai, sejak awal percakapan mereka lebih banyak diisi perbedaan pandangan.
"Dengan senang hati, Ratu Mihika," Laira memberikan hormat, mengiyakan.
Jemari tangan Mihika bergerak bagai tarian, merapal mantra, terhampar di depan mereka jalan panjang tembus pandang nan kokoh yang dapat dilalui.
"Silakan, Ratu!" ajak Mihika.
Laira dan Mihika berjalan bersisian.
Memandang kanan kiri, sesekali jauh ke depan dan jauh ke belakang, terhampar air mengalir. Bebatuan. Lulut-lumut dan ganggang air. Pepohonan di tepi sungai. Bunga-bunga teratai yang kuncup dan mekar. Ikan-ikan sungai bergerak lincah. Jalanan yang dihamparkan Mihika bukan hanya menyusuri permukaan , namun juga masuk ke dalam kerajaan Gangika yang berada di tengah derasnya arus.
"Indah sekali, Ratu Mihika," Laira berdecak kagum.
"Terimakasih," Mihika memberikan hormat dengan kedua telapak tangannya di depan dada.
"Andaikan aku punya banyak waktu untuk menikmati ini semua," Laira tampak menyesal.
"Lain waktu pun boleh, Ratu Laira. Akan kutemani sepanjang Ratu berkenan."
Laira mengangguk.
"Tapi Ratuku Laira," Mihika menyela, "mohon maaf. Bila tidak setiap undangan yang sampai ke kami, selalu dapat dipenuhi. Tidakkan Ratu melihat?"
Laira menoleh ke kanan dan ke kiri. Dari balik dinding-dinding kaca air, mereka berdua mengamati kegiatan rakyat Gangika yang ramai. Bekerja, berdagang, melakukan pertemuan-pertemuan. Pembenihan ikan-ikan, bertanam ganggang dan tumbuhan sungai. Di berbagai titik, hulubalang** giat mengatur rakyat Gangika yang terkadang berperilaku di luar kendali. Bermalas-malasan, atau terlibat perkelahian.
Mihika menggamit lengan Laira, mengajaknya lebih cepat menembus waktu. Melihat penjuru Gangika yang dipenuhi air dan kekayaan hayati.
"Gangika negeri yang makmur," Laira memuji tulus.
Dengan menepukkan jemari dan sedikit memeluk Laira, kedua ratu telah tiba kembali di aula perjamuan. Mihika mempersilakan Laira duduk kembali, menikmati sajian lain yang tersedia.
"Rakyat kami tidak suka berpangku tangan, Ratu Laira," Mihika menjelaskan. "Walau kami diberikan anugerah kesaktian dan kemampuan menjadikan sesuatu semudah menjentikkan jari, itu tak kami lakukan. Rakyat bekerja keras."
"Tapi, tidakkan membiarkan mereka bekerja keras dan menyimpan kesaktian wangsa Gangika, berarti menyiksa rakyat?" Laira bertanya ingin tahu.
Raut muka Mihika berubah sedikit. Tampak marah, namun dikendalikan.
"Membiarkan keadaan senantiasa tenang dan selalu terpenuhi, hanya membuat rakyat lengah," Mihika berkesimpulan. "Apakah mengembangkan tanaman obat-obatan adalah hal buruk? Walau kesaktian Gangika dapat cepat menyembuhkan luka. Tidakkah, bergantung hanya pada satu hal itu terlalu berlebihan, Ratu Laira?"
Laira terdiam. Menahan napas.
"Tidakkah, hanya bergantung pada kekuatan dan kesaktian kristal merupakan hal berlebihan? Rakyat Aswa sangat tergantung pada Ratu Laira dan mereka enggan bekerja keras, apalagi berkorban."
Pelipis Laira menegang. Tak menyangka akan disudutkan seperti ini.
"Raja dan ratu pihak yang paling bertanggung jawab bagi kesejahteraan rakyat. Pejabat istana, terutama kerabat kerajaan, yang harus paling banyak berkorban!" tegas Laira.
"Berkorban, atau mengharap pemujaan?" Mihika tersenyum simpul.
Jemari Laira bergetar ketika menganggat cawan minuman. Hampir saja beberapa tetes melompat keluar dari ujung bibir karena kemarahan.
"Kami pun memiliki hadiah bagi Ratu Laira dan Raja Shunka," Mihika ingin mengakhiri pertemuan dengan indah. "Maafkan jika saya tak sempat mempersiapkan banyak hadiah. Rasanya undangan itu terlalu tergesa datangnya. Kelak, silakan jika Ratu dan saya punya kelapangan, kita bertemu lagi."
Laira berdiri, menundukkan badan, mengatupkan kedua jemari di depan dada.
"Saya berharap Ratu Laira punya waktu lebih banyak," Mihika bersungguh berkata. "Saat Ratu benar-benar hanya mengunjungi Gangika. Dan bukan menjadikan kerajaan ini sebagai sekutu terakhir setelah Jaladhi, Wanawa dan Giriya."
***
____________
*Widagda : cerdik, berpengetahuan luas (bahasa Jawa)
**Hulubalang : kepala laskar atau kepala distrik (bahasa Jawa)