Mendapatkan tamu seorang ratu, merupakan kehormatan besar.
Mendapatkan tamu dua orang ratu, kesulitan benar-benar!
❄️💫❄️
Ketika Araga banna Giriya naik takhta, Madhavi tahu hidupnya tidak hanya bergelimang kehormatan dan kekayaan. Sejak mahkota ratu terpasang di kepala, matanya sudah terbiasa menangkap sorot mata dukungan dan kecemburuan. Pemujaan dan ejekan. Ketulusan dan kelicikan. Ia tak pernah menghadiri pertemuan-pertemuan pembesar istana yang lebih banyak dihadiri panglima, hulubalang, prajurit, penasihat dan sastrawan kerajaan. Kehidupannya lebih ke arah perayaan, perjamuan dan kunjungan-kunjungan.
Araga seorang pemburu ulung. Begitu hebat kemampuannya hingga Vanantara banna Wanawa terkesan hingga memberikan hadiah busur serta panah kayu dahat. Sebagai pemburu, Araga adalah sosok yang mencintai kehati-hatian dan ketepatan sasaran. Jarang berbicara kecuali memang bila diharuskan. Bahkan terhadap Madhavi, ia pun tak banyak bercakap-cakap. Urusan besar kerajaan diserahkan pada panglima dan penasihat; urusan tak penting namun menyita perhatian, ia alihkan dengan melampiaskan pada hewan buruan.
Kehidupan Giriya diliputi naungan dan kekuatan.
Benteng-benteng cadas, gerbang-gerbang batu yang menjulang. Pahatan-pahatan sosok leluhur terpatri di lereng-lereng. Ruang-ruang istana menyatu dengan gunung yang memberikan rasa damai sekaligus perlindungan. Istana raja Araga berada di puncak, sementara istana ratu Madhavi lebih menjorok ke lembah yang dilalui anak-anak sungai. Bila istana raja dibangun dengan batu-batu raksana berwarna kelabu tua, istana ratu Madhavi dibangun dari bebatuan pualam.
Tak banyak kejadian istimewa dilalui Giriya, kecuali masa pergantian penjaga wangsa. Beberapa pesta digelar ketika bulan purnama dan bulan gerhana. Upacara kematian jarang dilakukan, perayaan musim lebih sering diadakan. Walau tak banyak kejadian penting, bukan berarti Madhavi tak bahagia. Ia menikmati hadiah-hadiah berharga dari mereka yang memujanya. Araga kerap memberinya batu permata yang ditemukan ketika berburu dan mengunjungi gua-gua. Pun, tetamu kerajaan yang sering membawa bingkisan. Araga dan Madhavi kerap berpesta berdua, bersuka cita atas usia panjang dan kemudaan mereka yang elok. Mereka dapat bergerak menembus angin dan tak terikat waktu. Mengunjungi berbagai tempat indah hanya dengan mantra Araga, dapat dilakukan. Berkelana ke Wanawa, Jaladhi atau Nadisu. Menikmati jamuan pagi yang disuguhkan ratu Jaladhi, menikmati makan malam yang disediakan ratu Gangika. Walau Araga tak banyak bicara, ia seorang raja yang luarbiasa. Setidaknya, itu yang diketahui Madhavi.
Semua sepertinya baik-baik saja.
Cinta Araga tetap merekah dan bersemi sampai akhir dunia.
Mahkota ratu tetap dikenakan Madhavi.
Mereka tak perlu mengkhawatirkan keturunan, sebab kapanpun dapat memilikinya. Usia bukan ancaman, kematian bukan bahaya. Hingga datang tamu-tamu.
❄️💫❄️
"Yang Mulia semakin cantik, Ratu Madhavi," puji Gayi halla Vasuki.
Siapa tak senang dipuji?
"Begitupun Ratu Utama Vasuki," Madhavi tersenyum lebar. Senyum yang makin menambah keceriaan wajah dan keelokan rupa. Kulit Madhavi kuning langsat; berlawanan dengan rambut tebalnya yang lurus, lebat dan hitam kelam.
"Kami membawa hadiah dari Vasuki. Raja yang langsung memerintahkan."
Siapa tak senang hadiah?
Binar di mata Madhavi berkilau melihat permata-permata dalam peti-peti hitam berukir yang dikunci mantra. Gayi berjanji akan membisikkan mantra pembuka, bila kunjungannya telah usai. Kedua ratu terlibat perbincangan hangat, tertawa riang, lalu terlihat bersungguh-sungguh. Keduanya akrab bercakap-cakap hingga waktu berpisah tiba. Raja Araga, tak menemui Gayi. Namun di gerbang batu Giriya, terlihat Araga membungkuk hormat dan menyambut ramah tamu ratu yang berikut.
Halaman istana luas yang dilapisi bebatuan cadas nan tersusun rapi, nyaris tak mampu menerima kebesaran tetamu yang berdiri di atasnya. Tiga ratu utama dalam satu pertemuan!
Araga yang pendiam dan Madhavi yang periang, bagai pasangan membatu melihat dua ratu berpapasan.
"Ratu Yang Mulia, Gayi halla Vasuki," Laira membungkukkan badan sepenuh hati, memberikan penghormatan.
"Ratu Laira halla Aswa," Gayi hanya mengangguk dalam, memberikan senyum sesaat dan pandangannya beralih ke arah Madhavi serta Araga.
Tegak berhadapan, Laira dan Gayi menjaga jarak. Tetap melempar senyum. Tetap berusaha sopan. Tetap berusaha menegakkan kepala dan berusaha memberikan pengaruh, siapa yang lebih berkuasa. Keduanya bertatapan tajam, saling mengukur kekuatan.
Madhavi, mencoba mencairkan suasana.
"Tidakkah lebih baik kita bertiga duduk dan minum bersama?" ajak Madhavi.
Gayi menoleh ke arahnya, menjentikkan jemarinya gemulai, menolak dengan anggun.
"Kurasa, Ratu Laira memiliki berita penting untuk disampaikan langsung kepada Ratu Madhiva," ujar Gayi, melemparkan pandangan tajam ke Madhiva. Lalu beralih ke arah Araga, "…dan mungkin juga kepada Raja Araga. Lebih baik saya berpamitan."
Sama seperti Gayi, Laira membawa berpeti-peti hadiah kristal, yang entah mengapa disambut Madhavi setengah hati. Berbeda dengan batu-batu permata Vasuki yang menggiurkan, kristal-kristal Aswa tampak seperti batu tak berharga. Walau Madhavi tampak lebih menyukai kehadiran Gayi, Araga tulus hati mempersilakan Laira masuk ke aula pertemuan utama Giriya. Ketika meninggalkan Laira sesaat bersama para pelayan kerajaan, Madhavi mempertanyakan keputusan Araga. Mengapa sang raja menemui Laira, tapi tak menemui Gayi?
"Utusan Vasuki menyampaikan bahwa ratu Gayi ingin menemuimu, Madhavi. Bukan aku," Araga menjelaskan. "Utusan Aswa menyampaikan bahwa ratu Laira ingin menemui kita berdua. Mungkin, Ratu Gayi ingin berbincang akrab denganmu dan tak ingin aku mengganggu kehadirannya. Sementara Ratu Laira ingin membahas hal penting."
Keramahan Araga dan sambutan sopan Madhavi, dapat terbaca Laira. Ia tahu, tak mudah mendekati pembesar-pembesar kerajaan untuk membahas perkara genting dan penting. Kunjungan ini pun belum tentu membuahkan hasil. Apalagi, Gayi lebih dulu berkunjung ke Madhavi dan tentu, berita yang disampaikan Gayi lebih dulu tersampaikan.
"Kami mengucapkan terimakasih tak terhingga bagi kunjungan Ratu Laira dan hantaran hadiah-hadiah yang luarbiasa. Siapapun tahu, kristal Aswa adalah pengobatan terbaik yang ada di dunia," Araga berucap.
Apa guna obat-obatan bagi mereka yang tak pernah sakit dan berumur panjang? Batin Madhavi menggerutu.
Sebagai ratu yang terbiasa menjalin hubungan dengan kerajaan lain dan melakukan kunjungan, Laira membaca gelagat tak baik dari tuan rumah. Walau Araga tampak sangat tulus menerimanya, apalagi mengetahui betapa dekatnya Aswa dan Wanawa yang merupakan sekutu dekat Giriya, Laira cukup tahu diri. Secepatnya ia menyampaikan maksud dan berkata bahwa ia harus melanjutkan perjalanan. Walau Madhavi mengajak Laira untuk tinggal lebih lama, sang ratu Aswa tak ingin terjebak dalam kepura-puraan. Sebelum berpamitan, Laira menyampaikan sesuatu.
"Tuanku Raja Araga banna Giriya, saya ingin menghantarkan surat khusus dari Raja Shunka hal Aswa."
Surat itu tertulis dalam lembaran kertas serbuk cemara, diikat tali dan dikunci dengan potongan gugus kristal biru. Laira mempersembahkan cincin khusus bagi Araga dengan mata kristal berukuran separuh gugus, yang berguna sebagai mantra pembuka surat berharga.
❄️💫❄️