"Oii!"
Suara itu menghentikan langkah Ale remaja yang sedang menggendong ransel sekolah. Masih lengkap pula dengan seragam putih-abu. Sempat mengalami keterlambatan dalam menangkap situasi, namun tak sekalipun melunturkan ketampanannya.
Ale sempat menerawang ke segala arah. Mencari sumber suara. Sebab, halaman belakang sekolah tampak sepi pada jam kelas tambahan.
"Oii! Sini!"
Panggilan yang kedua membuatnya sadar. Agak sedikit kaget saat menemukan seorang gadis berambut pendek di atas pohon yang tinggi. Sepertinya Lynn memang selalu nyentrik.
Bug!
"O-oh!" Ale menangkap sebuah botol susu siap minum yang dilemparkan Lynn dari atas sana.
Lantas pemuda itu mendongak ke atas. Menyipit. Memperhatikan Lynn yang tak meninggalkan sepenggal kata. Mencecap susu rasa melon dengan posisi terbaiknya. Bersama kesiur angin sore yang berhembus. Gadis itu bersandar santai di atas sana selayaknya Tarzan. Mungkinkah dia Tarzan-Wati?
"Ini susu buat gue?" tanya Ale dari bawah sana.
"Uhmm." jawab Lynn tak menatap lawan bicaranya. Ia hanya mengacungkan ibu jarinya.
Respon epik itu membuat Ale terkekeh, "Gue boleh ikut nongkrong di atas?"
Lynn menegapkan posisi duduknya. Kakinya juga tampak menggantung jika dilihat dari bawah, "Emangnya lo bisa naik?"
"Kan ada elo." Ale menunjukkan senyum innocent-nya.
Belum sempat Lynn menjawab, teman-teman Ale dari kejauhan sana berteriak bahwa anak populer itu sudah dijemput oleh supir pribadinya.
"Woiii!" teriak Lynn dari atas pohon menghentikan langkah Ale yang hendak berlalu, "Makasih banyak udah bantuin gue ngejelasi ke kepala sekolah! Besok kita minum susu disini!"
Ale remaja melukiskan senyuman terbaiknya. Proporsi wajah yang menawan darinya semakin bersinar saat disorot matahari sore yang menelusup.
Sejak momen itulah, Ale dan Lynn kerap pulang sekolah paling akhir karena menikmati sore di atas pohon yang meneduhkan bersama sebotol susu siap minum rasa melon. Semilir angin menjadi teman di antara mereka seraya melihat pemandangan dari ketinggian. Semua terasa berbeda. Istimewa.
Bahkan Ale yang tadinya tak bisa naik ke atas pohon, menjadi semakin lihai karena ajaran Lynn yang sangat cakap.
Hanya setahun. Sebelum akhirnya Lynn tak pernah lagi menyusul ke atas pohon. Setiap Ale menghampirinya di akhir kelas, gadis eksentrik itu sudah lebih dahulu pulang. Tanpa alasan. Meninggalkan kekecewaan pada Ale.
Dan itu sejatinya masih menjadi pertanyaan yang tak terjawab. Sampai sekarang.
Ale membasuh wajah tampannya dengan handuk setelah mencucinya. Terdiam sejenak selepas mengingat semua kenangan lawas yang masih membekas dengan jelas dalam ingatan, juga sanubari.
"Kenapa dia ngilang? Dan sekarangpun, dia nggak mau jawab."
"Apa dia udah kenal sama Fannan?"
"Akhh!" Ale mengusap wajahnya kasar. "Kenapa jadi bawa-bawa Fannan, sih?"
"Biasanya kalau mau mendekati hari pernikahan itu, memang ada aja cobaannya."
"Astaghfirullah!" Ale nyaris melompat saat mendengar suara lain. Dan dia adalah Pak Adi yang sedang menyunggingkan senyuman innocent di muka pintu.
Pria rupawan pemilik kulit putih terang itu mengusap dadanya, "Ketuk dulu, napa, Pak?"
"Sudah, Mas. Tapi, Mas nggak buka-bukain."
Ale melempar handuknya ke keranjang baju kotor, "Ada apa emangnya?"
"A-ada---"
"Hai, Ale!"
Belum sempat Pak Adi menamatkan kalimatnya, seorang perempuan berhijab modis itu langsung masuk ke dalam kamar Ale yang seketika membuatnya gelagapan. Tersentak bukan main.
Ale menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal, "H-hana?"
Tanpa ragu, Hana langsung memeluk Ale yang tak sempat melakukan penolakan atau reaksi apapun. Ia seolah dibuat tak berkutik dengan segala tingkah lakunya. Semua terjadi di luar ekspektasi.
"Kangen!"
"E-ehmm." Ale berusaha mengurai pelukan itu. Hingga ia mengerahkan cukup tenaganya dengan menjauhkan tangan Hana dari pinggangnya.
Hana terhenyak. Merasa kecewa. Bibirnya mengerucut.
Meski rekat, Ale masih berusaha untuk tersenyum, "K-kenapa kesini?"
"Kok pakai nanya, sih?" Hana heran, "Aku udah lama di luar negeri, loh! Aku udah lulus S2 dari Turki! Seharusnya kamu nanya kabar aku."
Ale mengangguk mengerti sambil mendorong pelan lengan Hana menuju pintu, "Iya nanti aku tanyain di ruang tamu, ya."
"Ale!" bentak Hana yang juga mengagetkan Pak Adi disana. "Biasanya kan aku juga keluar masuk kamar kamu."
Ale menaikkan satu alis tebalnya. Rasanya kalimat yang terlontar dari perempuan itu terkesan aneh. Tapi, ia berusaha untuk berpikir positif karena keluarga mereka slaing mengenal dengan baik.
"Tapi, itu dulu. Waktu kita masih remaja." Ale menegaskan, "Kamu tunggu di bawah, ya."
Hana terdiam sejenak. Menatap bola mata hitam Ale, "Kok kamu sekarang gini, sih?"
Ale tertawa, "Kaya gini gimana? Bukankah adabnya gitu? Kalau bertamu, tunggu di ruang tamunya. Bukannya masuk-masuk. Kamu belajar di Timur-Tengah buat apa?!"
"Apa urusan lo?! Terserah gue mau belajar dimana!" pekik Hana, "Lo ngeremehin gue?"
Ale semakin tak waras saja, "Gue cuma ngerasa aneh. Lo udah berhijab, setidaknya menjaga sikap lo. Sedikit aja!"
Hana membasahi bibir bawahnya sembari terkekeh tanpa suara. Melipat kedua tangan di depan dada. Ia mulai jengah, "Manusia begitu cepat berubah, ya, Le. Lo bahkan katanya mau jemput gue di bandara. Tapi mana? Gue nunggu sejam!"
"Apa?! Gue udah bilang, kalau nggak jadi jemput!"
"Udah, lah! LDR emang bikin makan ati!"
Ale tertawa, "Kita punya hubungan apa?"
"Lihat! Lo aja nggak mengakui kedekatan kita! Kita dulu akrab banget. Dari kecil, nggak ingat?"
Ale mengangguk pelan. Tak mau memperpanjang, "Turun dulu! Nanti gue ke bawah."
Hana mendesis kesal. Ia melenggang pergi, meninggalkan stau tatapan tajam yang sama sekali tidak menyenangkan.
"Dia kenapa, Mas?" tanya Pak Adi memandangi punggung Hana yang semakin lama, semakin menghilang karena turun dari tangga. "Nggak sopan banget langsung nyelonong. Mana dia sekarang udah pakai hijab."
Ale menggeleng, "Aku juga nggak tau, Pak. Mungkin jiwanya belum tumbuh, masih merasa kita itu bocah-bocah."
***
Mata Mama membelalak saat menemukan seorang perempuan berhijab. Tinggi badan semampai dengan penampilan modis dan mewah menuruni anak tangga rumahnya dengan wajah kusut. Bahkan kedatangannya juga sangat tak terduga.
"Hana?"
Hana mempercepat langkah dan tersenyum tipis pada Ibu dari Ale, "Assalamualaikum."
"Waalaikumussalaam, Sholihah." balas Mama yang cukup mengapresiasi anak temannya yang kini sudah berhijab, "Kapan kamu datang kesini?"
"Udah agak tadi, Tante."
"Trus itu kenapa muka kamu?" Mama menaruh curiga.
Masih dengan bibir yang mengerucut, Hana menjawab manja, "Ale nggak asyik banget sekarang, Tante."
Mama tertawa, "Kenapa?"
"Ya, pokoknya nggak seru lagi." keluhnya.
"Trus kamu mau pulang?" tanya Mama yang disambut anggukan lesu perempuan itu, "Mungkin dia lagi agak sensitif. Biasa, lah.. orang kalau mau nikah suka ada aja perasaannya."
Mendengar penuturan itu, mata layu Hana mendadak melebar. Ia berharap, bahwa apa yang didengarnya hanyalah halusinasi.
"Nikah? S-siapa, Tante?"
Mama terkekeh sambil memukul kecil lengan Hana, "Siapa lagi anak Tante?"
"A-ale?"
Mama memberikan sebuah undangan dengan desain klasik-mewah berwarna abu padanya, "Tadinya Tante mau ngasih undangan pas ketemu sama Mama kamu di tempat meeting, tapi kamu sudah kesini duluan. Titip, ya."
"Yang satu buat kamu dan satu lagi buat orang tua kamu." tambah Mama.
Hana hanya bisa bergeming. Menerima undangan tersebut dengan tangan yang tak bertenaga. Pikiran melanglang buana. Entah kemana. Semua terasa abu. Benarkah cintanya selama puluhan tahun pada Ale benar-benar berakhir sebelah tangan? Tak pernah terbalas sekalipun?
***
Sesuai perintah Nyai Olin, Lynn membereskan warung rumahnya di pagi hari. Ibu sendiri sedang sibuk meracik ayam gorengnya di belakang. Sesekali ke depan untuk membawa beberapa sayur yang sudah matang untuk diletakkan di etalase.
"Uhmm?!" Mata Ibu membelalak saat membidik seseorang bersama motornya.
"Assalamualaikum!"
"Fannan?" kaget Ibu. Begitu juga dengan Lynn yang sempat mengerutkan kening. Pagi-pagi sekali ia datang.
"Lynn!" seru Fannan spontan dengan napas yang tersengal. Lalu segera meminta izin pada Ibu, "Ibu, saya mau bicara sebentar sama Lynn."
"S-sok atuh!"
Lynn sempat tegagap. Sebelum akhirnya pasrah. Mengekor di belakang Fannan sambil menyelempangkan lap meja di bahunya. Beranjak ke luar rumah.
"Batalkan pernikahanmu dengan Ale!"
Mata Lynn yang tenang bagai telaga mendadak beriak. Sebuah kerikil terlempar di atas permukaan. Bahkan satu suara tak bisa terlontra begitu saja. Rasanya itu terlalu mendadak dengan segala proses panjang.
Fannan mengacak rambutnya frustrasi. Ia menyemoatkan waktu untuk datang di tengah kesibukannya berlatih. Sebuah peringatan yang ingin disampaikannya sejak lama, namun baru sempat terucap.
Lynn terkekeh bingung, "K-kok gitu?"
"Kamu gila?! Untuk apa menikah kontrak?!" sentak Fannan masih berusaha menahan intonasinya agar tak terdengar siapapun. Membuat Lynn tak habis pikir. Dari mana informasi yang didapatkannya.
"Kamu pikir aku nggak tau?" sambung Fannan lagi. "Lynn.. jangan gadaikan hidupmu hanya demi uang!"
Lyn memejam sejenak. Sebelum akhirnya berucap, "Ini bukan kontrak! Aku emang mau nikah sama Ale. Bukan karena uang!" tegasnya mempertahankan harga diri.
"Jangan munafik, Lynn! Kamu pikir kamu bisa bahagia hidup dengan kontrak yang sudah kamu tanda tangani itu?!"
"Jangan khawatir! Aku yang menjalani hidup. Nggak usah ikut campur."
"Tau gitu, aku robek aja kertas kontrak itu." ungkap Fannan menyesal.
Lynn mendadak emosi, "Maka dari itu, jangan banyak ikut campur kalau emang nggak mau stres!"
Rahang Fannan mengeras, "Menikahlah secara sah denganku. Aku akan bahagiakan kamu, jika kamu memang butuh uang!"
"Apa?!"
"Lynn!"
Sebuah panggilan dari arah berlawanan menghentikan perdebatan keduanya dan menoleh bersamaan. Namun, Fannan bergerak cepat menghampiri sosok Ale yang selalu berpenampilan rapi dan menawan.
Bug!
Satu tinju mendarat tepat di pipi mulus Ale dengan sangat cepat. Bahkan Lynn tak sempat menahannya.