Ale remaja membuka mata pada tengah sore. Dersik angin melambai diantara celah dahan dan ranting serta dedaunan rimbun yang sedang mengelilinginya. Sudah tiga bulan berlalu sejak dirinya divonis mengidap kanker glioblastoma, suasana suram terasa selalu menghantui, sebelum Ale mengenal pohon.
Kini, Ale percaya bahwa pedih akibat suatu berita buruk akan membaur bersama angin sore dari atas pohon. Bahkan rasa sejuk dan tenang seolah lebih mendominasi. Rasa takut dan cemas, terkesampingkan. Ale bisa tersenyum.
"Makasih, Lynn."
"Uhmm?"
Lynn tampak mengerutkan kening sambil mencecap susu melon di dahan yang berbeda. Bahkan gadis berambut sebahu itu memilih dahan yang lebih tinggi sambil bersandar di batang pohon yang super kokoh.
Ale yang semula bersandar, mendadak duduk lebih tegap. Mendongak, menatap Lynn manis. Bahkan tangannya menggenggam sebotol susu melon yang sama, "Makasih udah bawa aku ke atas pohon ini."
Rambut Lynn tampak beterbangan diterpa angin. Wajah polosnya sangat menawan dan berseri-seri disorot matahari sore yang menelusup diantara rimbun dedaunan. Gadis itu hanya menampilkan wajah innocent dan tak banyak bicara.
Sudah setengah tahun belakangan Ale merasakan dunianya semakin suram. Ada tekanan di kepala dan mual-mula. Ia pikira hanya sebatas masuk angin. Namun, saat teringat sang ayah mengidap glioblastoma, itu membuat Ale penasaran.
Ale 17 tahun datang ke dokter yang menangani ayahnya dan menerima hasil yang tak terduga.
Glioblastoma adalah jenis kanker otak stadium 4 yang terbilang cukup ganas karena bersifat agresif dan bisa mengakibatkan kematian. Glioblastoma atau disebut dengan nama glioblastoma multiforme (GBM) ini tumbuh dan berkembang di sistem saraf pusat otak atau sumsum tulang belakang.
Oleh karena itu, keberadaannya yang terletak di lokasi yang krusial ini yang membuat glioblastoma sangat membahayakan.
GBM adalah jenis tumor otak astrositoma yang terbentuk dari sel glial yang bernama astrosit. Sel ini berfungsi untuk mendukung kesehatan dalam sel saraf yang ada di dalam otak. Jika sel astrosit berkembang secara abnormal, maka tumor astrositoma akan terbentuk.
Kemudian, tumbuh menjadi kanker otak stadium 4 yang cepat menyebar hingga ke jaringan otak terdekat.
Kala itu, Glioblastoma yang dialami Ale belum parah. Tapi ketakutannya sudah menjadi-jadi karena Sang Ayah sudah menderita cukup parah. Meskipun sudah melakukan pengobatan terbaik di Amerika, tapi tak kunjung sembuh.
Itu pun membuat Ale bersikeras untuk melanjutkan studi ke Amerika dengan dalih ingin mengobati dirinya sendiri tanpa ada yang tau.
Belajar dan melakukan pengobatan atas bantuan Dokter Syafiq adalah jalan ninjanya. Ale melakukan rawat jalan di rumah sakit yang dulu juga menangani Ayah, Mayo Clinic. Ia tak mau menyulitkan orang tua. Apalagi Ayahnya sedang menderita. Ale tak mau menjadi beban tambahan bagi Mama Maryam.
Glioblastoma umumnya sangat sulit diobati, karena kanker ganas ini berbentuk seperti jari-jari yang sulit untuk diangkat saat operasi. Selain itu, kanker ini juga terdiri dari berbagai jenis sel ganas dan perawatan yang diberikan biasanya hanya efektif pada beberapa jenis sel saja.
Oleh karena itu, tujuan utama dari pengobatan yang dilakukan Ale juga dengan Ayahnya adalah untuk memperlambat dan mengontrol pertumbuhan sel kanker, bukan menyembuhkan. Selain itu, pengobatan juga dilakukan untuk meringankan gejala sehingga penderitanya dapat menjalani hidup dengan lebih nyaman.
Bersyukur Ale masih bisa bertahan. Namun, tidak dengan sang ayah yang memang sebelumnya sudah lebih lama bertahan. Ayah menghembuskan napas terakhir seminggu setelah Ale lulus dari Harvard Univesity. Bahkan, ia belum sempat kembali ke Indonesia demi pengobatannya.
Sepeninggal Ayah pula yang membuat Ale semakin kehilangan daya juang. Ale kembali ke Indonesia bersama penyakit tersebut dengan pasrah. Meski sesekali masih meminta pengawasan Dokter Syafiq, Ale sudah terlampau lelah jika pada akhirnya penyakit itu akan menggerogotinya.
Apalagi saat usia hidupnya hanya tersisa setahun jika tak ingin kembali berobat ke Amerika.
"Kembalilah ke Amerika." pinta Dokter Syafiq.
"Gimana bisa saya ke Amerika sedangkan Mama sendirian, Dok?" Ale terkekeh. Lebih tepatnya menertawai hidupnya yang semakin gelap. "Pengobatan itu akan lama."
Dokter Syafiq menghempaskan napas bertenaga, "Kamu harus bilang tentang semua ini. Saya sudah bilang berulang kali sejak kamu remaja, jangan pendam sendirian!"
"Mama udah semakin tua, Dok. Let, say sekarang Mama sehat-sehat. Tapi, kalau dengar semua ini, tiba-tiba jantungan atau kena penyakit lain?" Ale mengungkapkan kekhawatiran terbesarnya penuh penekanan, "Saya anak tunggal. Saya harus ada untuk Mama."
Dokter Syafiq mengangguk paham. Sebab, alasan itu sudah didengarnya berulang kali. Dan Ale yang biasanya selalu luluh, semakin dewasa, semakin ia punya pilihan sendiri.
"Baiklah.." Sang Dokter pasrah. "Lalu, apa yang mau kamu lakukan untuk kesehatanmu?"
"Ya, begini aja. Kita ngalir. Kalau harus berakhir, saya juga nggak mengharapkan apa-apa." patanya dan menyapukan ke arah pepohonan yang tampak dari kaca ruangan, "Jika saya hanya bisa bertahan sampai setahun kedepan, saya sudah pasrah. Saya akan hidup tanpa pengharapan."
Dokter Syafiq menatap Ale lekat-lekat, "Apa calon istrimu tau semua ini?"
Ale hanya terkekeh kecil yang langsung dapat dipahami oleh dokter paruh baya tersebut.
"Jujur, saya emang egois banget." Ale menyadari, "Saya mengambil hati seorang perempuan yang sebenarnya tak ada perasaan apapun ke saya dengan berbagai kesepakatan--" ia menghentikan kalimatnya sejenak. Menekuri lantainya sambil masih betah terkekeh, "—lalu akan saya tinggal pergi setelah setahun."
"Ale!" Dokter Syafiq agak meninggikan intonasinya. Sempat mengejutkan pria itu, "Aku tau kamu pasrah. Tapi, jangan terlalu meyakini juga dengan setahun itu!"
Dokter berambut abu itu sudah cukup kesal mendengar kepayahan Ale. Sebab, bagaimanapun juga, ia ingin membantu pasiennya berikhtiyar. Hidup pasrah tidak masalah, asal masih mau berusaha.
"Saya meyakini itu hanya untuk membuang ekspektasi yang belum tentu terjadi." pungkas Ale menampilkan ekspresi wajah yang serius. Matanya mulai mengkilat, "Saya tidak mau hidup dengan ekspektasi hidup yang lebih lama. Itu akan sangat menakutkan."
"Dok.. tolong biarkan saya melakukan apa yang saya mau." tambah Ale memohon. Bibirnya bergetar.
Dokter yang sudah menanganinya sejak lama itu bahkan tak tega melihat anak muda yang menderita sepertinya. Ia sampai harus mengusap wajahnya berulang kali untuk mengabulkan permohonan Ale.
Butuh waktu yang cukup lama untuk merespon permohonan itu. Dokter Syafiq bangkit. Mendekat ke arah Ale yang sudah dewasa. Memberikan tepukan pelan di bahunya sambil terus melepaskan napas yang bertenaga.
"Itu beneran permohonan kamu?"
"Iya, Dok. Tolong!"
"Kalau gitu, aku juga punya permohonan."
Ale tercenunng. Lalu menatap mata dokter. Menanti kelanjutan kalimatnya.
"Tolong izinkan aku untuk terus doakan kesembuhan kamu." ungkapnya secara tulus.
Detik itu juga air mata yang sejak tadi tertahan mendadak tumpah. Bibir Ale bergetar hebat. Wajahnya memerah sering dengan air mata yang terus mengalir deras. Dadanya juga ikut pengap. Entah mengapa kalimat Dokter Syafiq benar-benar sampai ke dasar hatinya.
Sementara Sang Dokter mengusap-usap kepala Ale dengan lembut. Membiarkannya menangis. Sebab, sejak awal pertemuan mereka sebagai dokter dan pasien, Ale tak pernah menampakkan air matanya. Ia begitu kuat menahan banyak hal sendirian.