Chereads / Setahun / Chapter 23 - 23. Chapter 23: Jealous

Chapter 23 - 23. Chapter 23: Jealous

"Ale?!"

Panggilan itu membuat keduanya menoleh bersamaan. Kesunyian itu mendadak teralihkan saat seorang perempuan berhijab dengan gaya super modis dan glamour itu datang bersama satu kotak di tangannya.

"O-oh. Hana?" ucap Ale kaget.

Lynn langsung tersadar saat nama dan wajah yang tak asing baginya saling bersatu dalam ingatan. Mata teduhnya mendadak beriak. Wajah itu membawa ingatannya berlari ke masa lalu. Tepat pada 10 tahun lalu.

Lynn remaja turun dari kelasnya di jam pulang sekolah. Ia begitu bersemangat sembari menggendong tas dan juga dua buah botol susu rasa melon menuruni anak tangga menuju lantai empat—tempat dimana anak-anak IPA berada.

Pun keramaian terjadi di lantai tersebut—bertepatan dengan Lynn yang sudah menapaki kakinya disana. Gadis berambut pendek itu menerka sembari mengais hipotesa dan mencoba untuk mendekat ke sebuah kerumunan.

"Ale!..."

"Ale, selamat ya, lo maju olimpiade!"

"Ale foto, dong!"

"Ale! Ini coklat!"

"Huuu!"

Lynn mendelik. Merasa aneh dengan pemandangan itu. Para gadis-gadis yang megerubungi Ale. Bahkan pria itu tak bisa bergerak. Itu terlalu sempit.

"Ternyata Ale emang populer banget." ucapnya pelan. Kemudian menatap dua botol susu di tangannya.

Pikiran Lynn berjalan. Ia tak kan mungkin mengalahkan banyaknya gadis disana. Alih-alih meneriakinya, Lynn memilih cara lain. Ia beranjak dari sana. Menuju belakang sekolah. Sepertinya menunggu di atas pohon adalah cara yang tepat. Toh, hampir setiap hari mereka selalu nongkrong di atas sana.

Benar saja. Ale datang. Bahkan sempat melambaikan tangan dari kejauhan pada Lynn yang sudah lebih dahulu berterngger di atas sana.

"Ale!"

Sauara perempuan itu begitu menyeruak memanggil namanya. Menghentikan pula langkah Ale yang hendak menghampiri Lynn.

"O-oh? Hana?" kaget Ale sambil memegangi tali ransel di bauhnya.

Dari atas sana, Lynn sedang memata-matai sembari menerka siapa perempuan itu.

"Ih! Lo nggak liat gue di sekitar kerumunan?" gadis berambut panjang dengan berbagai hiasan kepala itu tampak berbinar.

"E-enggak. Sorry. Tadi banyak orang. Gue bingung."

"Emang.. artis mah beda."

Ale merasa tidak enak. Menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal, "Ngomong-ngomong kenapa?"

"Lo lupa? Hari ini ulang tahun nyokap! Lo diundang juga. Ayo!" gadis manis itu langsung menarik satu lengan Ale yang masih linglung dan pada akhirnya meninggalkan Lynn di atas sana.

Rahang Lynn mengeras. Kemudian menusuk bagian atas kedua botol susu rasa melon itu dengan sedotan dan mencecapnya bersamaan. Dadanya bergetar, terasa sesak. Marah. Tidak pada tempatnya.

"Aaaaaakh!" teriaknya bahkan sampai mengejutkan tukang kebun yang sedang lewat di bawahnya.

Dan sejak itu pula, Lynn tak pernah lagi sudi naik ke atas pohon. Ia benar-benar merasa gadis itu merusak hidupnya. Kebahagiaannya.

"Maaf, ya.. Gue emang nggak diundang ke acara lamaran kalian. Tapi, gue mau bawain kue ini dari Mama." terang Hana yang kini sudah dewasa dan berbalutkan hijab serta make up yang tebal. Meski tak menutup kemungkinan aura mewahnya tak pernah hilang sejak remaja.

"O-oh.. makasih banyak. Taruh aja di meja situ." kata Ale menunjukkan letak sebuah meja yang terdapat beberapa kue dan makanan lainnya. "Nyokap gue juga ada disana."

Hana tertawa tipis, "Nyokap lo? Kan gue cuma mau antar ini sebagai hadiah. Kan lo yang lamaran, bukan Tante Maryam."

"Ooops!" Hana menutup mulutnya terkejut dengan gaya norak. Sok manis—begitulah cara Lynn menilai. "Ini calon istri lo?" lanjutnya.

Ya iya, lah! Apa harus dipertanyakan, sih? Nggak penting banget!—gerutu Lynn dalam batinnya jengah. Meski begitu, ia berusaha untuk tetap menyunggingkan senyum terbaiknya dan menjawab dengan yakin, "Iya. Aku calon istri Ale."

Ale menoleh. Hatinya merasa cukup berdesir saat Lynn berucap begitu yakin bahwa dirinya adalah calon istri Ale. Tak ada keraguan sedikitpun.

"Aku Hana. Uhmm.. Aku nggak tau hubungan apa yang menggambarkan kedekatanku sama Ale. Yang jelas kita emang sedekat itu." Ia menyodorkan satu tangan yang langsung disambut Lynn. Membalas salaman itu dengan cukup erat, bahkan Hana sempat terkejut. Namun, pada akhirnya Lynn hanya tersenyum innocent dan melepaskan genggaman itu.

"Ahh~ lo kuat juga, ya." tambah Hana mengusap tangannya.

"Oh. Masa?" Lynn pura-pura kaget.

"Dia mantan atlet." tambah Ale bangga dan segera meluruskan apa yang terasa ambigu dan janggal, "Oh, ya.. Hana ini anaknya teman bisnis Mama, Lynn."

"Oh~ anaknya teman bisnis Mama... kalau begitu, kenapa kamu bingung untuk menjelaskan hubungan apa diantara kalian?" ujar Lynn menyentil dengan halus sambil tertawa.

Hana sejenak membuang wajahnya. Rupanya ia juga mulai jengah, "Tapi dulu kita memang sedakat itu." sekilas melirik Ale, "Karena kita emang selalu bareng. Apalagi pas Ale mau berangkat ke Amer---"

"Lo nggak berat?" tandas Ale segera.

"Uhmm?"

"Kan aku bilang kuenya ditaruh sana aja."

"O-oh.. okey."

"Terima kasih sudah datang dan bawa hadiah pula untuk acara lamaran kami." Ucap Lynn tak memudarkan walau sedikit dari senyumannya yang manis—meski tak selaras dengan isi hatinya.

Hana tertawa canggung, "Ah, iya. S-selamat ya, kalian."

Mendadak senyum yang nyaris menenggelamkan mata Lynn itu mendadak layu. Wajahnya berubah menjadi masam. Tersulut amarah. Ia mendecak-decakkan kakinya ke tanah sambi meracau tak jelas.

Tanpa Lynn tau, Ale menyipitkan satu matanya. Memperhatikan segala pergerakan perempuan itu.

"Apa orang kaya selalu kaya gitu?" protes Lynn menatap Ale sekilas, lalu memandangi lagi punggung Hana yang semakin menghilang, "Gatel banget jadi orang. Mana alisnya item bener kaya pakai spidol. Bulu matanya kaya tornado. Bibirnya jontor. Abis jatuh dari selokan kali!" Wajahnya tampak memerah padam, "Nggak malu sama hijabnya."

"Ih kesel!" jeritnya.

Ale melipat kedua tangan ke depan dada, "Lo kenapa?"

"Ah?"

Ale menyelidik. Menatap lebih dekat, membuat Lynn gugup. Menegup salivanya kasar, "Lo cemburu?"

Lynn terjerembab. Ia memutar wajahnya. Mengalihkan matanya dari Ale, "Nggak!"

"Trus kenapa emosi?"

"Coba? Lo nggak kesel gitu ngeliat cewek gatel kaya gitu?"

"Trus kalau kita emang dekat di masa lalu, gimana?" Ale justru menggoda Lynn.

"Deket mah wajar! Nyokap kalian aja bisnis bareng."

Ale menunduk lebih dekat, "Gimana kalau lebih dari itu?"

"Maksud lo?" Lynn sinis, "Yang jelas gue yakin kalau kalian nggak sampai punya hubungan lebih. Dia aja yang gatel!."

"Kenapa calon istri gue yakin banget?"

"Ya iya, lah! Selera lo nggak mungkin cewek genit kaya dia!" pekik Lynn. Emosinya meluap. "Buktinya lo sekarang nikahin gue!"

Ale mengerutkan kening, "Jadi, lo yakin kalau gue benar-benar jatuh cinta sama lo?"

Lynn masih memandangi wajah Ale yang semakin lama, semakin terasa menyebalkan, "Aissh!" pada akhirnya menggurutu, "Lo nggak tau, sih! Tu cewek---" mendadak Lynn kehilangan kata-katanya. "Udah, lah!"

Lynn segera berlari menjauh dari situasi yang seolah menyudutkannya sambil terus mengomel, "Kalau nggak banyak orang udah gue hajar tu cewek!"

Ale mendengus pelan. Memandangi Lynn yang sedang menggila. Entah perasaan apa yang sedang dirasakan perempuan itu. Tapi Ale merasa sangat senang melihat Lynn marah dan mengomel. Ale tergelak merangkum semua tingkah aneh Lynn dalam benaknya.

Rasa senang yang membukit itu mampu membuatnya melupakan sakit yang sedang tertahan sejak pagi tadi. Nyatanya sebuah rasa mampu menghempaskan rasa sakit.

"Lucu banget, sih, calon gue." Kekehnya.