Bug!
Satu kepalan tangan mendarat tepat di wajah mulus Ale dengan sangat cepat. Bahkan secara tak terduga. Lynn terlambat menyadari, sehingga tak bisa menghentikannya. Gadis itu membelalak di tempat. Antara tak percaya dengan emosi Fannan yang sedang meledak-ledak. Lynn terlalu terkejut.
Ini merupakan kali pertama Lynn menemukan emosi Fannan yang tak tertahankan.
Tak hanya sekali, semua berlangsung begitu cepat, Fannan kembali bergerak maju lebih dekat. Menarik satu kerah Ale yang masih memegangi pipi bekas tinjuan sebelumnya. Rasanya masih cukup berdenyut.
"Beraninya lo memanfaatkan, Lynn! Sebenarnya apa alasan lo?!" pekik Fannan.
Ale masih menanggapinya dengan tenang. Hanya terkekeh kecil. Mengangkat tangannya, "Maksud lo? Gimana gue bisa jawab kalau lo kaya gini."
"Akh!" Fannan berteriak frustrasi semakin mencengkram kerah kaos polo Ale. Kemudian tangan sebelahnya kembali mengepal. Bersiap untuk memberikan satu tinju lagi.
Sebelum akhirnya berhasil dihentikan oleh Lynn yang langsung menjegal. Menyerang kaki Fannan dengan sapuan rebah yang mengarah ke betis belakang pria pemilik badan kekar itu hingga tersungkur ke aspal. Ale ikut tergugu melihat aksi Lynn. Tampak dada perempuan itu sedang naik turun. Napasnya terengaah-engah.
Lantas Lynn langsung berlari menghampiri Ale dan berdiri di depannya. Menjadikan dirinya sendiri sebagai pelindung. Pun Ale hanya berakhir menatap Lynn yang jauh lebih kecil darinya itu. Antara kagum dan terkejut dengan aksi heroiknya.
"Maaf, A.. Tolong jangan konyol! Aa masih jadi atlet!" ungkap Lynn memohon sekaligus meminta maaf.
Emosi yang meledak-ledak membuat pria hangat seperti Fannan seolah terbakar api. Kalah dengan amarah. Semuanya luluh-lantak. Namun, peringatan Lynn membuatnya sempat tersadar. Perlahan dengan sedikit rintihan, ia berusaha bangkit.
"Lo nggak papa, kan?" Lynn mengkhawatirkan Ale. Menyentuh kedua pipinya sambil berjinjit.
Ale tak langsung memberikan reaksi. Ia masih tercenung. Apalagi saat ini kedua mata mereka saling bertemu dengan jarak yang sangat dekat. Sebuah mata mungil Lynn yang begitu indah. Pada akhirnya, Ale mengangguk. Mengisyaratkan bahwa dirinya baik-baik saja.
Lynn merasa lega. Lalu kembali menatap Fannan yang sudah berdiri, "Aa harus latihan, kan? Awas terlambat!"
"Lynn.. aku takut kamu kenapa-napa?" Mata Fannan berlinang, lalu menatap Ale tajam, "Tolong hentikan permainan lo, Ale! Sebenarnya apa yang lo mau sampai mengontrak Lynn untuk pernikahan itu?!"
Sejatinya Ale agak terhenyak. Sebab, ia juga tidak tau jika Fannan mengetahui apa yang selama ini tertutup rapat diantara mereka. Namun, ia berlagak tenang. Meski dalam hatinya sedang tercabik.
"Lo tau apa? Lo nggak tau apa-apa, kenapa bisa menyimpulkan sesuatu yang nggak lo tau!" Ale meninggikan kalimatnya di akhir. Penuh penekanan.
Lynn juga sempat terkejut dengan respon Ale yang tak terduga. Seperti memendam dan kemudian meluapkannya. Ingin sekali bertanya. Tapi ini bukan waktu yang tepat dan hanya berakhir menatap mata Ale yang bergetar.
"Lalu apa alasannya?!" Fannan masih saja mencari tau, "Aku tau kehidupan Lynn sejak kecil! Dia sudah banyak mengalami kesulitan. Trus lo mau mempermainkan dia?! Setelah satu tahun lo ceraikan?! Apa itu masuk ak---"
"Masuk akal!" tegas Lynn menghentikan kalimat Fannan. Lalu perempuan itu menggenggam tangan Ale dengan sangat erat. Tanpa ragu. Membuat Fannan dan juga Ale bergeming. "Semuanya masuk akal karena hanya kita yang tau. Dan apa yang akan terjadi setelah setahun adalah pilihan kita. Jadi, Aa nggak perlu ikut campur apalagi sampai nanti melibatkan keluargaku." sambungnya begitu yakin. Meninggalkan kekecewaan bagi Fannan.
Genggaman tangan dan semua yang Lynn sematkan mengalirkan energi hangat yang lembut ke seluruh tubuh Ale. Ada tenang yang membuat hidupanya seolah memiliki secercah harapan. Ia juga tak menyangka dengan semua yang dilakukan Lynn.
***
"Nih!" Lynn memberikan sebotol kecil susu siap minum rasa melon yang sudah diberi sedotan pada Ale.
Setelah insiden tadi, Lynn membawa Ale ke taman. Jika di rumah, itu akan menimbulkan banyak pertanyaan dari orang tuanya.
Ale memandangi botol susu itu, lalu terkekeh, "Dulu ada Tarzan-Wati yang ngasih susu ini ke gue."
Pyuk.. Pyuk
Ale mengerjap saat Lynn memberikan cipratan air dari dalam baskom yang dibawanya. Seolah sedang memberikan mantra spiritual.
"Mana ada Tarzan-Wati!" Lynn duduk disamping Ale.
Pria itu mengusap wajah tampannya yang basah, "Tapi sekarang dia jadi Samson yang melindungi pangeran."
"Eleuh.. eleuh! Halu lo!" semprot Lynn. Lantas ia memeras handuk kecil yang sudah dicelupkan ke dalam air hangat untuk membasuh pipi Ale yang memar.
"Tapi lo keren banget sih, tadi." Ale mengacungkan ibu jarinya bersamaan dengan Lynn yang mengarahkan handuk hangat itu ke pipinya. "Nggak salah gue cari bini."
"Kalau gitu, kenapa lo nggak pengen nikah kalau udah nemuin calon bini keren kaya gue?" tanya Lynn masih telaten mengurus Ale.
"Kan gue udah bilang, gue nggak mau menikah!" kata pria itu, "Takut gue nggak bisa membahagiakan bini gue untuk waktu yang lama." lanjutnya dengan suara serak.
Lynn masih memberikan usapan dengan halus di pipi Ale. Sesekali pria itu meringis keaskitan, "Oke.. itu pilihan lo. Dan ini juga pilihan gue. Yang penting penderitaan materi keluarga gue bisa berakhir, meski itu juga nggak menjamin seutuhnya. Setidaknya gue dapat kesempatan untuk merubah nasib. Dan gue yakin, lo orang baik. Jadi, gue bisa aman untuk setahun kedepan. Kalaupun akhirnya nanti gue nggak bisa menikah setelah pisah sama lo, gue udah ikhlas."
"Lo tau? Anak pertama itu menanggung banyak tanggung jawab. Bahkan rela berkorban." tambahnya sambil terkekeh kecil. Masih mengompres bekas tinju di pipinya.
Dalam hening, diam-diam Ale menatap Lynn lekat-lekat. Sangat dalam. Namun, tak bisa ditafsirkan begitu saja. Ia bisa membidik senyuman tulus dan ikhlas dari gurat rona wajahnya yang bersinar. Tercenung cukup lama bersama pikiran yang sedang mengitari otaknya bersama angin sepoi di pagi itu menghembus mesra di antara celah dedaunan.
"Udah!" seru Lynn seusai mengomperes.
Ale mengerjapkan mata. Membuang wajahnya dari Lynn. Melepas canggung setelah menatapnya lekat. Mencecap susu rasa melon yang dibawakannya.
"Lo masih suka minum susu melon ini?" tanya Ale membuka topik lain.
"Uhmm" Lynn mengangguk pasti, "Di kulkas gue banyak banget susu melon. Kalau nggak diambil Naufal ama Afkar, sih."
"Kapan kita minum susu melon di atas pohon?" Ale menunjuk sebuah pohon besar di Taman Kota.
Lynn tertawa, "Lo gila?! Gue 27 tahun! Jompo!"
"Tapi lo tetap lebih kuat dari gue."
Gadis itu terdiam sejenak. Mengingat bagaimana dirinya menjadi sangat keren saat melindungi Ale. Menggunakan teknik silatnya.
Lalu ia menghempaskan napasnya kasar, "Gue nggak nyangka kalau A Fannan tau semua itu. Gue jadi nggak berharap bisa berjodoh sama dia setelah setahun ini."
"Dari mana dia tau?"
Lynn mengedikkan kedua bahunya, "Gue juga nggak tau. Perasaan gue taruh di kamar."
"Dia masuk kamar lo?"
Lynn mengerjap, "Mana ada?!"
Ale mencecap susu melonnya sejenak sebelum melanjutkan kalimatnya, "Biasanya, mentang-mentang udah kenal sejak lama, seseorang nggak akan melihat batasan."
"A Fannan nggak pernah kaya gitu! Dia baik banget dan sopan!"
"Lo muji-muji dia dihadapan gue?!" Ale merajuk.
Lynn mengerutkan kening, "Y-ya A Fannan yang aku tau kaya gitu. Nggak tau aja kenapa emosi begitu. Sebesar itukah ternyata perasaannya ke gue?"
Tak!
"Akh!" jerit Lynn memegangi keningnya selepas disentil oleh jari Ale.
"Udah nggak peka, kepedean pula!" Ale mengernyit kesal dengan sikap menyebalkan Lynn. "Pokoknya kontrak kita harus disimpan di tempat yang aman! Bahaya sampai orang tua lo tau!"
Lynn tak memberikan respon berarti. Ia hanya sibuk mengusap-usap keningnya yang semakin berdenyut sambil mengernyit kesal.
"Ah!" Ale menjentikkan jemarinya, "Gue tau bagusnya disimpan dimana."
"Dimana?"
"Nanti! Kita fitting baju pernikahan dulu." ujarnya menengok arloji yang melingkar di tangan kanan.
"Ya udah, ayo, buruan!" Lynn bangkit lebih dahulu. Membereskan perkakas kompresnya.
"Tunggu!"
"Apaan?"
"Sakit, nih!" Ale mengerang seraya mengusap-usap kakinya.
Lynn memutar bola matanya malas. Pasrah, lalu memposisikan dirinya setengah duduk memunggungi Ale yang masih duduk di atas kursi taman. Kedua sudut pria itu tampak berkedut menahan tawa.
"Naik!" titah Lynn menunjukkan punggung mungilnya.
Detik itu juga, ia sempat ragu. Sebab, punggung Lynn benar-benar mungil. Ia juga hanya memiliki tinggi 155 senti. Sempat tak tega, namun ia ingat bahwa Lynn bukanlah perempuan biasa. Dia adalah Samson yang sempat berkelana dari pohon ke pohon sebagai Tarzan-Wati.
"Buruan!" pekik Lynn emosi.
Pun Ale akhirnya menunggangi punggung Lynn sambil menyunggingkan senyum jahil bercampur keraguan. Namun, semakin membelalak saat perempuan itu benar-benar bisa mengangkatnya. Dia benar-benar kuat.
Sambil berjalan, Ale semakin merasakan kehangatan. Ia lantas besandar di bahu Lynn yang sempit itu. Senyumnya tak pernah luntur.