Chereads / Setahun / Chapter 18 - 18. Menjelang Pernikahan

Chapter 18 - 18. Menjelang Pernikahan

Ada pepatah yang mengatakan bahwa, kalau kita menyerah pada hal-hal yang kita cintai saat kehidupan sedang sulit, ini akan menjadi dunia yang sangat buruk.

Tetapi masalahnya adalah, disaat kehidupan sedang sulitpun, Lynn sudah menyerah. Lebih tepatnya lagi, tak ada hal yang ia cintai. Bahkan cinta yang dirasakan pada Fannan juga seolah menguap begitu saja, karena ia tidak yakin akan terbalas. Sementara Lynn sudah membuatnya kecewa.

Jadi, satu-satunya yang Lynn cintai saat ini adalah keluarga. Ia tak mau menyerah hanya untuk mereka. Selagi ada kesempatan apapun, ia akan ambil. Asal tidak membuatnya celaka. Dalam artian nyawa.

Tak ada rasa cinta pada Ale. Tapi, menikah dengannya bukanlah masalah besar selama ada kontrak yang mereka tanda tangani. Pun Ale juga orang baik.

Seyakin itu?

Tentu saja.

Meski sudah lama sekali tak bertemu dengannya, Lynn sudah mengenal pria itu. Dan pula banyak kenangan yang tersisa. Secara tidak langsung, Ale ditakdirkan untuk menyelamatkan kehidupan Lynn. Sejak dulu.

Matahari semakin naik. Dunia semakin terang. Jalanan mulai ramai. Angin sejku di pagi hari masih nyiur melambai di antara Lynn dan Ale. Pun gadis berambut pendek itu masih kuat menggendong Ale di punggungnya.

Bahkan ketika sebagian orang yang berlalu-lalang menatapnya, Lynn tak peduli. Sedangkan Ale terlalu nyaman. Sesekali tersenyum jahil dan bahkan menyapa orang-orang di sekitar mereka. Memang tidak tau malu.

"Assalamualaikum, Pak!" sapa Ale ramah dari belakang punggung munngil Lynn, "Sakit ini kakinya!" sambungnya saat mendapat tatapan aneh dari warga.

"Ey! Lynn!" kaget warga lainnya.

"Duluan, Pak!" kata Lynn berseru.

"Lo gendong siapa?"

"Aa-ah---" Lynn sedang menimbang banyak hal.

"Saya calon suami Lynn." tandas Ale santai, meski sempat mendapatkan lirikan sinis dari Lynn.

Gadis itu pun segera mempercepat langkah untuk menjauh dari kumpulan warga dan orang-orang sekitar pemukimannya agar cepat sampai ke tempat mobil Ale diparkirkan. Namun, satu pikiran membuatnya terhenti.

"Kenapa?" tanya Ale.

Lynn menyipitkan satu mata, "Kenapa kaki lo sakit? Kan yang ditonjok muke lo!"

Bug!

Tanpa ada keraguan, Lynn langsung membiarkan Ale terjatuh dari punggungnya saat sudah berada di samping mobil.

"Akhh!" Ale menjerit kesakitan, "Tulang ekor gue!"

Sambil berdiri, Lynn berbalik. Melipat kedua tangan di depan dada. Wajahnya tampak ngeri, "Jadi, lo berani ngerjain gue? Hah?!" gertaknya mendekat satu langkah yang sempat membuat Ale harus mengusap wajahnya yang terkena cipratan saliva gadis itu.

"Jangan mentang-mentang gue ada di pihak lo, lo bisa seenaknya sama gue?!" lanjutnya. Rahang Lynn tampak mengeras.

"E-enggak... nggak gitu."

"Trus apa?!" Ia menggertak lebih sadis.

Ale harus mengakui jika Lynn tampak sangat menyeramkan. Apalagi saat ini gadis itu sedang melakukan kuda-kuda pecak silat, mungkin? Ale gematar. Berusaha keras menahan skait untuk bangkit. Berdiri tegap di hadapan Lynn yang jauh lebih pendek darinya.

"O..o!" Ale mengangkat tangannya sambil mencairkan suasana dengan senyum innocent-nya, "Tenang dulu, Bu Samsons. Kita kan mau fitting baju lamaran dan pernikahan kita."

"Kaya gini lo masih bahas pernikahan?" kata Lynn dengan suara serak.

"Iya, dong! Biar Bu Samsons makin cantik di hari pernikahan nanti." Ale segera membuka pintu mobil bagian penumpang depan, "Silakan, Ratu."

Lynn memutar bola matanya jengah. Terkekeh sinis. Tampak satu sudut bibirnya terangkat. Sedetik kemudian, ia mendorong kening Ale dengan mengarahkan jari telunjuk dan tengahnya membentuk V.

"Sekali lagi lo ngerjain gue.. tau sendiri akibatnya!" ancam Lynn sebelum akhirnya masuk ke dalam mobil.

Ale mengangguk pasrah bersama bola matanya yang memutar tak keruan. Tekanan dari kedua jari Lynn sangatlah besar. Membuat pening. Pun Ale juga diperintah Lynn untuk mengembalikan baskom dulu ke rumah, sebelum berangkat ke gerai desainer.

***

"—karena kulit wajah wanita Indonesia juga banyak yang normal to oily, ini akan menjadi inovasi tabir surya."

"Meski begitu, banyak sekali produk yang mengklaim punya hasil matte yang katanya cocok untuk kulit normal to oily, tapi nyatanya mereka meninggalkan banyak white cast. Wajah semakin berminyak dan abu-abu."

"Benar. Tabir surya ini bertekstur ringan dan oil free. Dilengkapi juga dengan kandungan airlicium yang mampu membuat kulit tidak tampak berminyak dan pori-pori tersamarkan."

Tampak Mama Maryam berada di posisi utama dalam rapat besar yang dihadiri banyak petinggi Marion Cosmetics and Skin Care. Mereka sedang menyimak salah satu narasumber yang merupakan tim pengembang dengan inovasi terbarunya.

"Untuk pengaplikasiannya seperti spray? Disemprotkan begitu saja?" Mama Maryam memastikan.

"Iya, Bu. Karena dewasa ini, kita butuh sesuatu yang praktis juga. Lagi pula, tekstur cair yang disemprotkan memiliki intensitas yang ringan."

Mama Maryam mengangguk-angguk paham sambil mencoret-coret tabletnya. Memberikan tanda pada sebuah catatan penting.

"Untuk uji klinis, kapan akan dilaksanakan?" tanya staf lainnya.

Drrt.. drrt.. Ponsel Mama di samping tablet bergetar. Ia segegra meraihnya. Membuka sebuah pesan yang baru saja masuk. Perempuan yang masih tampak menawan di usia yang tak lagi muda itu mendadak rapat-rapat menahan senyum saat mendapati sebuah foto yang baru saja dikirim dari desainer kenamaan, Irfan Gunawan.

Tampak Ale dan Lynn berdampingan dengan baju lamaran, serta baju akad mereka. Meski tanpa riasan, mereka tampak sangat elegan. Seperti pasangan dari Negeri Dongeng.

Baju lamarannya sederhana, hanya dress lengan panjang dan sepanjang bawah lutut berwarna putih. Lalu, diberi pashmina warna cream. Alih-alih mengenakan sepatu, Lynn justru mengenakan sneaker super white. Sederhana, namun tetap elegan.

Begitu juga dengan Ale. Pria itu mengenakan kemeja putih lengan panjang dengan celana cream. Sama dengan Lynn, Ale juga memilih mengenakan sneaker super white.

Semua dikonsep langsung oleh orang tua Ale dan Lynn atas kesepakatan bersama. Ingin menikah sederhana.

Pun sejatinya, Mama bisa saja merancangkan baju untuk Ale dan calon istrinya. Hanya saja prosesi pernikahan yang sangat cepat, membuat Mama tidak bisa menangani. Sehingga calon ibu mertua dari Lynn itu meminta bantuan salah satu perancang busana ternama di Indonesia.

"Kenapa, Mbak Maryam? Kayanya senang banget." bisik wanita berhijab yang memiliki selera fashion yang serba mahal dan mewah.

"Ah~ nggak. Ini Irfan ngirimin aku hasil fitting anak-anak." Dengan bangganya, Mama menunjukkan pada koleganya, yang tak lain adalah ibu dari Hana. Dewanti namanya.

Wanita itu tampak tersenyum tipis. Sesuatu tertahan, "Pasti senang banget, ya, Mbak."

"Iya, dong.. penantian panjang. Akhirnya punya menantu."

"Wah! Pasti menantunya baik banget. Anak siapa? Anak grup mana?"

Mama terkekeh, "Menantuku anak juragan. Juragan ternak. Ibunya juga mau buat restoran."

Dewanti sempat tercengang dalam diamnya. Keningnya berkerut, lalu terkekeh, "K-kok bisa sih, Mbak? M-maksud aku, orang kampung."

Tampaknya ia cukup kaget. Sebab, meski Mama menyebutkan bahwa Lynn anak juragan, itu terasa tak masuk akal di mata Dewanti. Baginya, status juragan tetap tidak sepadan dengan mereka yang sudah merajai bisnis modern tingkat internasional. Meskipun status juragan sendiri sudah cukup melambangkan tingkat status sosial yang tinggi, rasanya masih kurang 'mewah' dan hanya mencangkup kegiatan bisnis lokal.

Mama langsung mengernyit, "Maksud lo?!" Ia jutsru tak peduli dengan celotehan Dewanti.

"Kan ada Hana, anakku. Kita juga dekat. Bibit, bebet, bobot sudah jelas, to."

"Tapi pilihan anakku dia." Mama menunjuk wajah natural tanpa balutan riasan, namun tetap menawan dari foto Lynn. "Aku udah ketemu sama anaknya, sama keluarganya. "They such a warm family. Dan seru banget. Anaknya juga baik dan berprestasi semua. Lalu, apa yang mesti dipermasalahkan?"

Dewanti dibuat tak bisa berkata-kata dengan semua celotehan Mama Ale yang sangat sedang senang menyambut anggota baru dalam keluarganya.

***

"Assalamualaikum."

"Waalaikumussalaam, anak Mama." sambut Mama di ruang tengah langsung menghentikan aktifitas mengetiknya.

Di akhir hari yang melelahkan, Ale pulang. Ia menenteng satu jas di tangan kiri. Menyisakan kaos putih polos. Bahkan setelah fitting baju, Ale langsng kembali rapat dan mengurus banyak pekerjaan sampai malam.

Namun rasa lelah itu terbayarkan saat menemukan sambutan hangat sang ibu yang sudah lebih dahulu pulang. Buru-buru mengampiri dan memberikan pelukan dari samping.

"Aduuuh! Anak Mama cuci tangan dulu."

"Nanti aja." Ale menenggerkan kepalanya di bahu Sang Ibu. Manja.

Mama mengulas senyum lembut. Ia paham betul bahwa sang anak sangat kelelahan dan juga efek dari pernikahannya yang hanya dalam waktu dekat. Pasti sudah tidak mau membagi jarak dengan Sang Ibu.

"Kamu pasti capek banget." ucap Mama.

Ale mengangguk. Wajahnya tampak begitu tenang. Bahu Ibu yang sempit itu seolah menjadi pelampiasan terakhirnya.

"Mama sudah lihat hasil fitting kalian, loh."

"Serius?"

"Uhmm.. kalian cocok banget. Mirip juga kalau diliat-liat."

Ale mengulas sebuah senyuman tipis, penuh makna. Masih betah bersandar sambil memeluk Ibunya.

"Semoga kalain benar-benar menjadi jodoh selamanya." Mama nanar penuh harap.

Sementara Ale hanya beregeming. Ia tak memberikan tanggapan berarti. Bibirnya hanya terangkat sedikit, berbalut keraguan mendalam. Semua terasa rekat. Sekalipun ia berharap.

"Ma." panggil Ale.

"Uhmm?"

"Ale boleh meluk Mama lebih lama lagi?"

Mama tertawa, "Anak Mama mau nikah malah makin manja, ya... Boleh, dong."

Seketika Ale langsung mengeratkan pelukannya. Sempat membuat Mama kaget dan berakhir memaklumi. Mereka berdua memang tak pernah terpisahkan untuk waktu yang lama. Wajar bilamana itu terjadi.

Ale semakin menenggelamkan kepalanya di bahu mungil Mama. Menekuri pikirannya yang bercabang. Menikmati detik-detik hening yang terasa begitu hangat. Hingga satu kedipan matanya, menghasilkan cairan bening yang meluncur begitu cepat. Ale menangis. Hatinya teriris.