"Lo harus hati-hati. Biasanya cobaan sebelum menikah, mantan-mantan bakal datang."
"Mantan? Lo tau kan gue selalu kena cinta sepihak? Mana ada mantan?"
"Ashraf Fannan!"
Lynn memejamkan matanya sejenak untuk menetralisir pikirannya yang abu tak menentu. Buntu. Mencari jalan keluar. Sama sekali tak ada titik temu. Ucapan-ucapan Fira tempo hari membuat Lynn semakin gelisah selepas apa yang terjadi di malam itu.
Pelukan hangat Ashraf sangat hangat. Ada getaran yang belum pernah Lynn rasakan sebagai pengagum bayangannya selama puluhan tahun. Lucunya, semua baru saja dirasakan di saat adanya kontrak pernikahan antara dirinya dengan Ale.
Sebuah kontrak pernikahan yang rasanya justru nyata. Apa iya, pernikahan kontrak juga akan memicu cobaan dan ujian yang serupa dengan pernikahan sungguhan?
Akh, Lynn merasa dilema akut.
Lynn takut jika pernikahan itu menjadi sungguhan. Lynn cemas jikalau Fannan sungguh membalas perasaannya yang terpendam sejak lama. Tapi, kenapa justru sekarang?
"Neng!"
Suara lantang Ibu memanggildari luar kamar.
"Naufal udah datang! Buruan!"
Lynn langsung bergegas. Menghampiri ibu yang sedang membungkus makanan dan memasukkannya ke dalam paper bag.
"Nih, sono kasih ke Dokter Hedi." kata Ibu mmberikan barang-barang tersebut pada Lynn.
"Lynn kan bisa naik motor sendiri. Ngapain sampai diantar Naufal, sih?"
"Ih!" Ibu menggertak, "Kamu mau ketemu Dokter Hedi di meja operasi lagi?!"
"Ya, enggak, Bu.. Tapi, kan---"
Ssst.. Ibu mengarahkan hari telunjuk ke bibirnya, "Bawel! Nurut napa sama Ibu! Udah, pokoknya itu ayam untuk Dokter Hedi antarin ke rumah sakit sebagai tanda terima kasih dan rasa sayang kita sekeluarga sama beliau yang udah ngurusin kamu!"
"Harusnya sih dari kemarin-kemarin. Tapi, teh ibu baru sempat." sambungnya.
"Iya, Ibu." kata Lynn tak mau memperdebat.
Lantas Naufal mengantarkan kakaknya ke rumah sakit untuk memberikan buah tangan pada dokter yang menangani sang kakak, Lynn. Sebenarnya tidak terlalu jauh. Hanya saja, Ibu memegang teguh pada prinsip, bahwa calon pengantin harus benar-benar dijaga.
Dan menjadi pengantin dari Ale adalah hal yang sama sekali tak bisa dibayangkan oleh Lynn.
Gadis yang senang sekali mengenakan kaos longgar itu segera menemui sang dokter. Sementara Naufal memilih untuk menunggu di lobi. Hanya beberapa menit saja. Tak lama. Sebab, Dokter Hedi ada jadwal visit.
Lynn turun dari elevator. Sempat menyapa beberapa perawat disana sebagai salah satu budaya warga Indonesia. Lalu, satu pandangan sempat tercekat saat sudah berada di dekat lobi utama.
Mata Lynn sempat menyipit. Mengais hipotesanya sejenak saat menerawang seorang lelaki yang tak jauh dari hadapannya. Lynn mendekat. Dan yakin.
"Woii! Ale!" Lynn menepuk punggungnya.
"Akh!" kaget Ale nanap kepanikan saat menemukan Lynn. Matanya bergetar.
Lynn memiringkan kepalanya. Ale tak segera merespon, "Ngapain lo dimari?"
"A-akh!" Ale menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal, "G-gue..." Satu tangannya yang menggenggam sesuatu sedang bersembunyi di balik saku celana. Lantas menyelentik dahi Lynn dengan jemarinya.
"Akh!" jerit Lynn kaget. Segera mengusap dahinya. Melotot, "Ngapain, sih, lo?! Sakit, tau!"
"Jangan ikut campur!" tambahnya segera melenggang dari hadapan Lynn.
Tapi, gadis itu sangatlah keras kepala. Ia justru semakin mengejar Ale dengan cepat, "Ada yang sakit?"
Dalam pejaman matanya, Ale menghentikan langkah. Berbalik dan memekik, "Lo yang sakit!"
"Dih!" Lynn mengernyit.
"Ah!" Ale mengerem langkah lagi, "Jangan lupa, nanti sore. Pak Adi bakal jemput kalian sekeluarga."
Lynn termangu sesaat. Baru sadar jika sore ini akan ada pertemuan dua keluarga untuk membahas perihal pernikahan keduanya.
"Satu lagi!" Ale berseru. Keduanya bermandikan cukup jarak. "Gue tau ini kawin kontrak, tapi, jangan dekat-dekat sama cowok manapun! Setidaknya selama kontrak berjalan" Ia berdeham untuk memecah suasana canggung, Khmm.. "M-maksud gue.. untuk menjaga satu sama lain. Kan keluarga kita nggak tau apa-apa."
Seketika Lynn hanya bisa tercenung. Membeku di tempat untuk beberapa waktu. Mencerna betul seluruh kalimat yang tersemat dari bibir Ale. Apalagi ia sempat terjatuh dalam pelukan Fannan tempo hari lalu, tepat di hadapannya. Ale melihatnya sendiri.
Lynn menghempaskan napasnya kasar. Embun yang dihasilkan menggambarkan betapa abstrak pikirannya saat ini.
"Nikah kontrak, tapi rasa-rasanya kaya beneran." keluh Lynn tak bisa memungkiri hatinya yang berkemelut.
"Kak!" teriak Naufal berlari menghampiri, "Gue ketemu laki lo, tau!"
Kening Lynn berkerut, "Laki gue?"
"Tadi gue nyapa Kak Ale, abis gitu dikasih gopek, nih. Hehe." Naufal menunjukkan lima lembaran uang berwarna merah dengan senyum innocent.
Lynn sempat tercengang, "Kayanya nyari duit gampang banget, ye, dia."
"Makanya gue ikhlas banget kalau Kakak gue nikah sama---" mendadak Naufal menghentikan kalimatnya saat menemukan tatapan sinis sang Kakak.
"Buruan! Ntar sore kita ada pertemuan ama nyokapnya Ale!"
Naufal mengejar sang Kakak, "Emangnya dia sakit apa? Kok kemari?"
"Emangnya sekarang lo sakit?" Lynn menghentikan langkahnya.
"Uhmm?"
"Lihat! Yang datang ke Rumah Sakit, belum tentu sakit!"
Naufal menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal, "Ya, kali!"
***
Bahkan Ale meminta Pak Adi menjemput keluarga Lynn dengan mobil mewah. Sebuah mobil MPV premium berwarna silver metalic. Kesan mewah semakin nyata bersamaan dengan kehebohan Ayah, Ibu, Naufal dan Afkar yang turut serta berada dalam rombongan tersebut.
Dan perjalanan berakhir di salah satu restoran mewah yang berada di salah satu hotel elit juga yang ternyata berada di bawah kerajaan bisnis Ibu Mariam—Mama dari Ale.
"Maasyaa Allah.. akhirnya kita bisa bertemu." tutur Mama tampak berseri-seri saat berhadapan dengan keluarga Lynn.
Begitu juga dengan respon antusias dari Ibu dan Ayah, juga kedua adik Lynn. Bahkan mereka mengobrol satu sama lain dengan santai. Seolah sudah saling mengenal sebelumnya. Menyisakan Lynn dan Ale yang terdiam. Saling bertatapan sinis.
"Kalau udah begini, apa tidak langsung ditentukan tanggalnya aja." Ayah menengahi obrolan mereka.
"Ayah!" teriak Lynn spontan mengejutkan semuanya.
Kini, suasana menjadi sekonyong hening. Mereka sedang menjadikan Lynn pemeran utama bersama mulut yang masih terbuka. Pun Ale langsung menyenggol kaki Lynn agar segera tersadar dan memberikan penjelasan.
"U-uhmm... S-saya nervous aja." kata Lynn gugup memberikan alasannya.
Hahaha.. Para orang tua seketika memecah tawa.
"Emang.. kalau mau nikah mah biasanya deg-degan." goda Mama.
Entah untuk yang kesekian kalinya, Lynn hanya bisa tertawa canggung. Sebab, entah untuk yang kesekian kalinya pula, Mama selalu bertentangan dengan apa yang ia pikirkan. Dia adalah wanita karir dan Ibu tunggal yang punya pemikiran bijaksana.
"Kalau untuk tempat, kita tinggal milih aja. Bisa di hotel ini. Atau di Jakarta, atau di Bandung." kemudian Mama agak berbisik, "Lumayan kan hemat biaya."
"Betul juga, Bu Maryam." timpa Ayah menggebu-gebu.
"Uhmm. Tante.." Afkar mengambil kesempatan untuk bicara yang langsung disambut dengan baik oleh Mama Ale, "Kalau boleh tau, adakah suatu alasan yang membuat Tante setuju punya menantu kaya Kak Lynn. Bukan apa-apa.. Kak Lynn kan nggak cantik-cantik amat. Nol prestasi pula."
Lynn melebarkan matanya bersama rahang yang mengeras. Matanya menatap adik bungsu dengan tatapan mengintimidasi. Sedangkan Ale sedang sibuk menahan tawanya yang nyaris pecah.
"Ah~" Mama mengangguk mengerti. Lalu menatap Lynn lekat-lekat, "Karena kakakmu itu bersikap apa adanya. Tanpa kepura-puraan. Tanpa malu dan bahkan bangga. Dia juga mencintai keluarganya. Jadi, itu saja sudah cukup menjadi sebuah alasan utama."
"Lagi pula.. nggak ada manusia yang sempurna di dunia ini." Mama menyambung lagi menatap mereka satu persatu. "Dan ternyata mereka juga saling mengenal."
Ibu tertawa kecil, "Betapa sempit dunia ini."
"Betul!"
"Kalau gitu kita ambil bulan November, gimana? 2 Bulan lagi." Mama menyuarakan idenya.
"Hah?!" seru Lynn dan Ale kompak.
"K-kenapa?" Ibu bingung, "Ah!" Lalu mengetuk meja Mama sambil mengedipkan sebelah mata, "Sebulan lagi aja, Jeng."
"Hah?!" Kedua calon pengantin itu masih menjerit kompak.
"Oops!" Mama menutup mulutnya sambil menahan tawa, "Maaf, Mama nggak peka."
Ale semoat melirik Lynn sebelum bersuara, "Iya, dong, Ma.. kan semuanya butuh persiapan walaupun gedung dan katering kita handle sendiri."
"Iya.. Mama nggak peka. Maaf, ya, Nak. Kalau gitu tiga minggu dari sekarang. Berarti tanggal---"
"Mama!"
Baru saja hendak memeriksa hari di kalender ponsel, Lynn dan Ale berseru lagi. Sebenarnya mereka memperotes, tapi entah mengapa para orang tua seolah menganggap bahwa keduanya justru tidak sabar dengan pernikahan tersebut.