Chereads / Setahun / Chapter 15 - 15. Tak Berdaya

Chapter 15 - 15. Tak Berdaya

Siapa sangka jika persiapan pernikahan Lynn dan Ale justru digenggam langsung oleh kedua orang tua mereka. Bahkan antusiasme para orang tua sangatlah luar biasa. Sehingga Lynn dan Ale kehilangan suara mereka. Hanya bisa berpasrah pada langit yang tiba-tiba saja mendung.

Kini mereka sedang melihat-lihat aula di hotel milik Mama Ale. Sebuah aula yang sangat besar dengan desain Modern-Eropa. Warna emas dan coklat mendominasi seluruh ruangan. Kesan mewahnya sangat terpancar. Memicu decak kagum Ibu, Ayah dan Naufal—sedangkan Afkar pulang lebih dahulu untuk mengikuti pelatihan tambahan. Ia akan segera mengikuti kompetisi pencak silat Nasional.

Sementara Mama Maryam didampingi manager hotel sibuk menjelaskan pada mereka.

Dan kedua calon mempelai sedang berjalan lambat di belakang rombongan. Saling berbisik. Sama-sama tak menyangka jika pernikahan kontrak itu menjadi sebuah hal yang terkesan serius. Ini seperti sungguhan.

Tak hanya tanggapan orang tua saja, melainkan bagaimana semesta bergerak ke arah Lynn dan Ale. Semua persoalan seolah menjadi mudah. Perbedaan kasta sama sekali tak menjadi penghalang. Jauh dari ekspektasi Lynn.

Kata mereka yang sudah menikah, tanda-tanda dia jodoh kita adalah saat semua jalan justru dipermudah, meski sesekali ada kerikil. Mungkinkah?

"Akh!" Pekik Lynn mengagetkan Ale.

"Ngapain, lo?!"

Lynn melirik sinis. Lalu menepis bayangan gelap dalam pikirannya, "Auh.. nggak mungkin!"

"Nggak mungkin apanya?"

Gadis berambut sebahu itu menghentikan langkah seraya bersedekap, "Lo sadar nggak, sih? Kita bentar lagi nikah dan itu rasanya terlalu cepat dan mudah banget."

Ale tergelak puas, "Trus? Lo bakal mikir kalau kita jodoh yang ditakdirkan oleh semesta?"

Khmm.. Lynn berdeham canggung, "K-kalo iya. Gimana?"

Ale masih asyik tertawa, "Jangan khawatir! Gue kan bakal ngelepas lo! Pergi sono ke Fannan!"

Mata teduh Lynn seketika beriak saat mendengar Ale menyebutkan satu nama, "K-kok.. lo tau?"

Tangan Ale bertengger di saku celana, "Gue kira dia cuma seseorang yang lo kagumi dalam diam. Taunya juga punya rasa sama lo."

"Emang kebaca, ya?"

"Lo aja yang bego atau apa, sih?!" Ale justru menggertak penuh penekanan, "Sekali liat aja udah langsung keliatan, kali!"

Lynn mendelik, "Kok lo ngegas?"

Ale seolah tertampar. Ia berusaha untuk tenang, "Karena lo lempeng banget! Dasar nggak peka!"

Diam-diam napas Lynn melena menghembus sambil kembali melanjutkan langkahnya, "Nah itu dia.. kenapa baru sadar sekarang? Tau gitu udah gue gebet sejak dulu dan nggak kejebak kontrak beginian."

Ale menatap gadis yang jauh lebih pendek darinya itu begitu lekat dan datar "Lynn!"

"Uhmm?" Lynn menoleh.

"Nggak usah berandai-andai! Jalani aja yang sekarang. Bisa, kan?" tambah Ale masih menatapnya serius.

Lynn sempat tercenung untuk beberapa waktu. Mendongak menatap bola mata hitam Ale. Kemudian mengangguk pelan. Tanpa mampu membuka mulutnya untuk bersuara.

"Gue janji meskipun ini hanya sementara. Gue bakal buat lo dan keluarga lo bahagia." Ale berucap dengan nada rendahnya. "Tapi, please.. anggap gue sebagai suami lo selama setahun ini."

Deg!

Ada binar penuh harap yang terpancar dari tatapan tulus Ale. Lynn tak bisa berkata-kata. Ia hanya bisa membeku. Dunianya seolah sedang berada dalam mode pause. Suasana menjadi sekonyong hening. Hanya ada degupan jantung yang tak beraturan.

"Anak-anak!"

Panggilan para tetua membuat Lynn segera mengendalikan dunianya, "I-iya!" berusaha menyahut, lalu kembali menatap Ale yang masih terpaku di tempat.

"Ayo! Mereka manggil kita." Lynn menyadarkan Ale, lalu segera melenggang.

Namun, langkahnya mendadak terhenti saat menyadari sesuatu dalam pikiran. Ucapan Ale seolah menjadi sebuah alarm. 'Please.. anggap gue sebagai suami lo selama setahun ini.'

Gadis itu memejam sejenak untuk menetralkan pikirannya. Lalu berbalik. Sempat membuat Ale bertanya-tanya. Sampai pada akhirnya, Lynn meraih ujung lengan kemeja Ale.

"Lo bilang kita bakal jadi suami-istri selama setahun. Mana mungkin gue ninggalin lo. Cepetan!" Lynn memberi penekanan, sebelum benar-benar menarik dan membawa pria itu ke hadapan orang tua mereka.

Diam-diam, Ale tak bisa menyembunyikan senyumnya. Di dalam hati seolah sedang berada dalam fase puncak musim semi. Dimana-mana bunga bertumbuh dan menghujani pejalan kaki dengan warna merah jambu mereka.

Mata teduh Ale memancarkan pijarnya. Menatap lembut gadis nyentrik yang menggemaskan, sekaligus menyebalkan itu.

***

Tok.. tok..

Menjelang malam, sebuah ketukan pintu bergema selama berkali-kali, hingga akhirnya terbuka.

"O-oh?! A Fannan?!" kaget Afkar menemukan kedatangan seniornya.

Fannan memberikan senyuman terbaik, "Mau berangkat sekarang?"

Kebetulan Fannan dan Afkar akan berlatih bersama di salah satu gelanggang olahraga. Keduanya hendak mengikuti kompetisi yang berbeda, namun karena pelatihannya berada dalam satu lokasi, tak ada salahnya untuk berangkat bersama.

Fannan sendiri akan menghadapi kompetisi Internasional, yakin Asean Games. Sedangkan Afkar mengikuti kompetisi tingkat Nasional.

"Masuk dulu, A!" tawar Afkar yang disambut baik oleh Fannan.

Fannan duduk di sofa. Menatap isi rumah yang terlihat sangat sepi, "Pada kemana, Kar?"

"Pada makan di luar!" seru Afkar agak mengeraskan suaranya. Ia menjawab dari dalam kamar sang kakak.

Fannan menyipit penasaran. Bangkit dan mendekat ke arah kamar berwarna cream yang terbuka, "Kamu ngapain?"

"Ah!" sadar Afkar, lalu menunjuk ke arah penghargaan milik sang kakak yang tertata rapi, "Jangan bilang-bilang kakak, ya. Afkar suka ngeliatin pencapaian-pencapaian kakak sebelum berangkat."

Mata Fannan juga ikut tertuju pada beberapa penghargaan dari berbagai macam kompetisi dan berbagai macam bentuk. Pencapaian dari kerja keras Lynn yang terekam jelas dalam memori Fannan di masa lalu. Lagi, ada banyak pula foto-foto Lynn dan pencak silat.

Afkar kembali menghempaskan napasnya pelan. Menyunggingkan senyum terbaik, "Yah.. walaupun banyak kecerobohan yang dilakuin, tapi aku akuin, Kak Lynn sangat mencintai apa yang dia suka. Dia sangat mencintai pencak silat."

Kedua sudut Fannan terangkat. Meninggalkan jejak manis disana kala membayangkan kegigihan Lynn, "Uhmm.. Kakakmu sudah banyak melakukan yang terbaik."

"Aduh!" Tiba-tiba Afkar memegangi perutnya. Sempat membuat panik, "Sakit perut. Mules banget. Tunggu dulu, ya, A. Nggak lama, kok."

"Iya.. iya. Sok atuh!" kata Fannan, "Jangan lama-lama! Ntar telat!"

"Iya!" teriak Afkar sudah berbelok. Keluar dari kamar dengan cepat.

Fannan terkekeh, "Emang satu keluarga unik semua."

Lantas ia yang masih berada di dalam kamar milik Lynn, masih melihat-lihat. Seperti dari figura-figura. Bahkan Fannan sempat tersenyum saat melihat fotonya juga ada disana. Itu foto saat mereka latihan bersama.

Pluk!

Saat Fannan melangkah, tak sengaja menyenggol sebuah map coklat yang tak tertutup rapat. Sebagian isi kertasnya keluar. Pria itu meraihnya.

"Apa, nih?" keningnya berkerut sambil berusaha untuk menatanya agar rapi.

Namun, satu tulisan membuatnya tak berdaya. Matanya melebar dan bergetar. Rahangnya semakin mengeras. Ingin marah. Meluapkan emosi yang mendidih. Tangannya semakin bergetar. Meski begitu, ia tetap melanjutkan untuk menuntaskan bacaannya sampai tertera tanda tangan dan materai yang membuatnya semakin menggila.