"Assalamualaikum!"
Perpaduan dua suara lelaki dan perempuan itu langsung menggerakkan reaksi Fannan dan Ibu. Mereka menjawab salam sekaligus menoleh.
Lynn dan Ale datang.
Ibu dan Fannan kompak terlonjak kaget dengan kehadiran keduanya. Apalagi penampilan Lynn tampak berbeda. Gadis itu menutup rambut layer ikonik sebahunya itu dengan pashmina. Menarik perhatian mereka.
"Maasyaa Allah.. Anak Ibu sholeha. Gini aja terus." ungkap Ibu.
"Ini dari Mamanya Ale." Lynn memegang ujung pashmina dan mengingat bagaimana hangat cara Ibu dari Ale itu mengenakan untuknya. Sedetik kemudia ia mengernyit, "Ibu kenapa nggak pakai hijab juga?"
Seketika Ibu kehilangan kata-katanya. Sepertinya ia lupa jika di usia lima puluh tahun, ia belum juga menutp auratnya.
"Tuh, ubannya banyak banget!" ceplos Lynn asal-asalan.
"Gini-gini Ibu juga belajar pakai hijab! Kalau arisan. Kalau pengajian. Kalau---." belum sempat Ibu menamatkan kalimatnya, ia baru sadar jika saat ini sedang menjadi perhatian calon mantunya dan juga ada Fannan disana.
Ibu tertawa memecah suasana dan langsung menyapa lembut Ale, "Maasyaa Allah, Nak Ale. Terima kasih sudah antar Lynn pulang. Gimana? Sudah ketemu sama Mama kamu?"
"Oh, ada A Fannan?!" kaget Lynn baru tersadar yang disambut senyum lembut pria manis tersebut. Lynn langsung menghampiri. Duduk di hadapannya.
Sedangkan Ale sempat melirik. Memperhatikan pergerakan Lynn yang begitu antusias bertemu dengan pria yang memiliki visual yang tak kalah menarik darinya. Disisi lain, telinga dan perhatian Ale juga harus terpaku pada celotehan Ibu yang panjang sekali.
"Kalau gitu, saya mau ijin taruh barang-barang ini ke ruang tamu." kata Ale membawa barang-barang Lynn.
"Itu punya Lynn?" tanya Ibu memastikan.
"Iya, Tante."
"Aissh! Dia belanja sembarangan pakai uang kamu?!"
Ale buru-buru mengelak, "E-enggak, Tante. Ini dari Mama. Hadiah."
"Ah~" Ibu merasa lega, "Taruh situ aja. Nanti biar Lynn bawa sendiri. Dia kan Samson dari Bojong Gede."
Seketika Ale tak bisa menahan tawanya yang meledak-ledak. Sempat menarik perhatian Lynn dan Fannan yang sedang mengobrol.
Ale lantas menghentikan tawanya sejenak, "Nggak apa-apa. Walaupun Samson, kalau perempuan harus di-Ratukan, bukan?"
Wanita berusia setengah abad itu tampak tersanjung dengan kehangatan Ale. Memintanya agar meletakkan barang-barang Lynn di sofa ruang tamu yang sudah usang. Dan Ibu juga turut serta mengantarkan Ale sampai mobilnya.
Sementara Lynn masih sibuk berbincang dengan Fannan.
"Jadi, itu calon kamu?" Fannan memastikan.
Mulanya Lynn tak tau harus menjawab apa. Sebab, ia juga tidak bisa sepenuhnya mengartikan kesepakatannya dengan Ale sebagai sebuah pernikahan. Jadi, Lynn hanya asal mengangguk.
"Pasti Ibu yang cerita, ya?"
"Iya."
"Auhh!" Lynn memijat keningnya yang berdenyut, "Ibu mah nggak bisa gitu diem bentar."
"Kenapa kamu nggak cerita waktu kemarin kita ketemu?"
Lynn menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal, "Aku juga bingung." Melihat Fannan yang merespon dengan keningnya yang berkerut, Lynn langsung kembali menyambung, "E-enggak. Maksudnnya, kan belum pasti. Jadi, kita jalani aja dulu. Nanti kalau udah fix segala persiapan, baru deh bilang."
"Kan.. ada hal-hal sakral yang seharusnya kita jaga, kan?" Lynn mempertegas lagi.
Fannan mengangguk mengerti. Tapi, batinnya terus berusaha menyangkal apa yang terjadi saat ini. Rasanya semua terlalu mendadak.
"Kamu yakin?"
"Uhmm? Yakin apa?"
"Kamu yakin dia orang yang tepat buat masa depan kamu?"
"Uhmm.." Lynn menopang dagunya di atas tangan.
Semilir angin seolah sedang menerjang. Bayangan masa lalu seolah terputar kembali. Ia melihat dengan jelas bagaimana Ale remaja membelanya dengan tegas agar tidak dikeluarkan dari sekolah. Gurat wajah tampan dan rupawan juga masih melekat jelas di ingatan. Tak berbeda jauh dari Ale sekarang yang membantunya bangkit dari musibah lain.
Pipi Lynn merona masih membayang, "Keren banget."
Fannan terhenyak dengan ekpresi yang sedang dibuat gadis itu, "Apa yang keren?"
"Ah!" Lynn tersadar, "U-uhmm.. A-Ale. Ya, Ale." kekehnya garing. Dalam hati ia memaki dirinya sendiri, 'Hah? Ale keren?!'
"Ya, pokoknya Ale banyak merubah hidup aku." sambung Lynn dipenuhi jeda dari setiap kata yang ada.
"Lynn." panggil Fannan lembut, "Nikahilah laki-laki yang bisa membuatmu bahagia, bukan cuma yang kamu butuhkan. Apalagi soal materi."
"Maksud A Fannan, aku matre?"
Fannan segera menjelaskan, "Bukan. Aku hanya mengingatkan. Jangan sampai ada keterpaksaan tertentu. Misal dari kondisi keluarga."
Deg!
Agaknya Lynn cukup tersentil dengan pernyataan Fannan. Semua bagai realita. Ia menikahi Ale demi keluarganya. Namun, setidaknya satu tahun tak jadi masalah. Karena perlu digaris bawahi bahwa Ale orang baik. Ale berbeda dengan anak muda dengan previlage di luar sana.
Buk.. buk..
Tiba-tiba ibu menyerang lengan Lynn.
"Ibu sakit!" Lynn meronta, "Kenapa sih mukul-mukul mulu, dah! Kebiasaan Ibu mah kalau nggak mukul sekali tuh rasanya gatel!"
"Itu calon suami kamu mau pulang, dianter sampai depan, dong!" teriak Ibu penuh penenakan.
"Ngapin dianterin, sih, Ibu? Dia udah gede. Biarin aja kali! Repot amat."
"Cepet sana!" Ibu tak mau mengalah. Menarik tangan putrinya agar setidaknya memberikan salam sebagai bentuk kesopanan terhadap tamu.
Dengan terpaksa, Lynn berdiri di ambang warung. Mengamati Ale yang sedang menyalakan mesin mobil dengan tatapan dingin. Dalam hati mengumpat banyak kata-kata sambil melipat kedua tangan di depan dada. Ia jengah.
Ale membuka kaca mobilnya, "Nanti gue telepon, ya!"
Alih-alih menjawab dengan kalimat, Lynn justru memberikan sebuah isyarat dengan diam-diam mengarahkan jari tengahnya ke dahi yang langsung membuat Ale menggeleng heran seraya terkekeh dari dalam sana.
***
Ale keluar dari kamar mandi dengan rambut setengah basah. Handuk masih menggantung di leher. Wajah tampannya berseri-seri walau hanya berpenampilan polos, tanpa tatanan rambut rapi yang khas dengan kaos hitam longgar dan celana kaos panjang.
Ia melempar handuk ke dalam keranjang baju kotor. Karena Ale sangat mencintai kebersihan, menggunakan handuk pun hanya sekali pakai.
Lalu beranjak ke depan buffet yang terisi penuh perawatan wajah di depannya. Ale benar-benar mencintai keindahan. Ia mengambil satu toner dan kapas, mengusapkan ke area wajah paripurna itu sambil bersenandung. Selanjutnya menuangkan essance di telapak tangan dan kembali ditepuk-tepuk ke arah waha seusai diratakan.
Namun mendadak aktifitasnya terhenti saat teringat apa yang terjadi saat mengantar Lynn pulang. Matanya curiga. Hatinya penasaran akan siapa pria yang disambut antusias oleh gadis eksentrik itu.
Ketika Ibu mengantarkan Ale sampai mobil, ia punya kesempatan untuk bertanya.
"Oh, itu Fannan. Dia tuh.. apa, ya... kebetulan satu akademi silat gitu sama Lynn. Semacam seniornya, lah. Dan kita juga sudah menganggapnya seperti anak sendiri."
Ale melanjutkan kembali aktifitasnya dalam melakukan perawatan wajah dengan cukup lega. Setidaknya mereka memang tak punya suatu hubungan khusus.
"Tapi---" Ale mendadak kepikiran lagi, "Apa dia orang yang Lynn suka? Katanya dia punya crush?"
"Eyy!" Ale membangunkan dirinya agar tak usah peduli dengan hal-hal seperti itu. Toh, Lynn hanya akan bersamanya untuk sementara, "Apa peduli gue?"
***
Bahkan pada malam hari, rumah mewah bergaya Eropa klasik serba putih bersih itu tampak terang benderang, apalagi saat Ale turun dari tangga dengan railing kaca yang melingkar. Ia bagai lampu utama.
"Mas Ale, ayo, makan!" kata Mbok Sinem.
Ale mengangguk dengan semangat. Apalagi saat beranjak menuju meja makan. Ia terperangah saat menemukan lauk dan sayur kesukaannya.
"Ayo, duduk!" Mama datang membawakan piring dan mangkuk.
"Mama yang masak ini semua?!"
"Iya, dong. Anak Mama kan suka banget sayur asem sama ikan asin." Mama langsung duduk di tempat.
Ale tampak terharu, "Mama nggak usah kaya gini, deh. Kan bisa pesan di abang ojol."
"Kamu nggak mau makan masakan Mama?!"
"Bukan gitu. Mama nanti cape kalau masak."
Mama memberikan satu mangkuk pada Ale yang sudah diisi nasi hangat, "Anak satu-satunya Mama. Anak kesayangan Mama sebentar lagi mau menikah. Nanti kamu juga bakal jarang makan masakan Mama. Pasti kamu lebih sering makan masakan Lynn."
Mendadak Ale menghentikan aktifitas menyendok sayur. Bahkan ia sudah bisa membayangkannya. Itu tidak baik. Lynn bukanlah orang yang bisa dipercaya untuk meningkatkan selera makan. Wajah menyebalkan Lynn dan jari tengahnya itu terus-terusan muncul.