Rasanya terlalu sulit diterima orang lain, sedangkan belum ada kesempatan untuk menunjukkan diri kita yang sebenarnya. Itu lah yang sedang Lynn rasakan ketika harus berhadapan dengan keluarga Ale.
Lynn merasa, Mama Ale hanya menjaga sikapnya kepada mereka yang jauh lebih rendah. Sikap yang baik. Tapi tetap saja, rasanya tidak bisa bernapas dengan baik.
"Lynn!"
Meskipun nama Lynn yang terpanggil, Ale juga ikut menghentikan langkahnya yang sama-sama sudah berada di ambang pintu butik. Tampak pria itu membawa beberapa paper bag dengan logo khas dari bisnis sang ibu.
Semua yang dibawa Ale adalah pakaian-pakaian dari Mama untuk Lynn yang tadi langsung diberikannya secara cuma-cuma. Bahkan Mama memilihkan yang terbaik.
"Ini.. Mama lupa. Masa ambil dress tapi nggak ada hijabnya." kata Mama tak pernah memudarkan senyumnya.
Lantas wanita berkepala enam itu membentangkan pashiman berwarna nude itu ke kepala Lynn. Menyingkapkan rambut poninya agar tak terlihat. Mematenkannya dengan peniti khusus. Membentuk kain tersebut sampai terlihat rapi.
Kebetulan Lynn juga sedang memakai dress panjang. Jadi, itu akan sangat cocok.
"Maasyaa Allah!" Mama sampai menutup mulutnya yang sempat terbuka lebar. Ia begitu takjub. "Anak Mama cantik sekali!"
Bahkan Ale juga tak bisa berkata-kata. Pria itu hanya bergeming. Menikmati udara kosong. Seolah-olah bunga-bunga di musim semi sedang menghujani Lynn. Dalam hati, ia benar-benar mengakui bahwa kecantikan gadis eksentrik itu bertambah berkali-kali lipat. Maasyaa Allah.
Lynn hanya bisa tersenyum canggung. Lalu menatap Ale, "Gue cantik?"
Khmm.. Ale berdeham. Memecah pikirannya yang sedang tak menentu dan kembali berpamitan pada sang Ibu. Pun Mama juga berpesan agar mengantarkan Lynn dengan segera.
"Apa gue bilang? Nyokap gue tidak berpikiran norak!" kata Ale dalam perjalanan menuju tempat parkir.
"Nyokap lo jaga etika aja."
Seketika Ale menghentikan langkah. Menghadang jalan Lynn, "Ngomong apaan, sih, lo?! Nyokap gue akan bilang suka kalau suka. Enggak kalau enggak!"
"Tapi, tadi nyokap lo nggak bilang apa-apa!"
Ale menyatukan paper bag itu di satu tangan. Sedang satu tangan lainnya ikut menyelaraskan kata-kata yang keluar dari bibirnya, "Trus buat apa barang-barang ini?! Buat apa juga nyokap gue memperluas bisnis keluarga lo?!"
"Itu karena lo yang janjiin gue di kontrak itu." balas Lynn tak memandangi lawan bicaranya.
Ale jengah. Ia memutarkan bahu mungil Lynn, "Tatap mata gue, Lynn!" Mau tidak mau, Lynn hanya bisa menatap matanya dengan banyak kegelisahan, "Dengar, ya! Itu inisiatif nyokap gue sendiri! Beda lagi dari apa yang gue janjikan! Lo tau sendiri nyokap gue nggak tau kontrak kita!"
"Itu artinya, Allah mau menaikkan derajat materi orang tua lo di dunia ini menjadi seorang juragan peternak dan restoran melalui nyokap gue!" sambung Ale tegas.
"Aissh!" Ale mendengus kasar, "Kemana perginya Fathima Lynne yang tangguh?!" ia mengepalkan tangan dan memberikan tepukan ke dada. Itu sempat menyentakkan Lynn.
"Fathima Lynne yang gue kenal itu nggak akan keliatan payah di depan orang-orang. Sekalipun dihadapan mereka yang ditakdirkan menjadi sultan!" tambah Ale lagi berusaha menyadarkan Lynn. "Dia rela dikeluarkan dari sekolah, dari akademi silat hanya demi mempertahankan martabat keluarga!"
***
Sebagai seorang atlet pencak silat, Fannan memiliki postur tubuh yang sangat bagus. Tinggi, badan yang pas. Serta kaki jenjang. Ia bahkan tampak sempurna walau hanya mengenakan kaos putih dan celana jeans sepanjang lutut bersama motornya.
Rasanya makan siang di warung makan ayam Ibu Olin cukup menggiyurkan. Lagi pula, jika ada banyak pertandingan, Fannan juga akan jarang datang dan mencicipi cita rasa lezat yang selalu dirindukan itu.
"Ibu!" sapa Fannan.
Ibu yang sedang sibuk menggoreng itu langsung berseri-seri menyambut kedatangannya yang sudah dianggap seperti anak sendiri.
"Duduk dulu, kasep. Ibu bikinin ayam goreng paling spesial. Kriuknya melimpah." Ibu menyatukan ibu jari dan telunjuknya.
Fannan tergelak senang. Pasalnya Ibu selalu tau apa yang menjadi kesukaannya. Bagimana tidak? Fannan sudah lama sekali mengenal keluarga Lynn. Mungkin sudah lebih dari 13 tahun. Semua bermula saat Lynn yang baru beranjak dewasa itu bertekad untuk menjadi seorang atlet.
Ayah Lynn kebetulan kenal baik dengan mendiang ayah kandung Fannan, dan mengenalkan putri sulungnya itu padanya untuk berlatih bersama.
Fannan tampak mengedarkan pandangan ke segala arah. Ada beberapa pelanggan lain disana. Juga beberapa kursi yang masih kosong. Serta rumah sederhana milik keluarga Lynn yang tampak sangat sunyi.
"Pada kemana, Bu? Sepi amat." tanya Fannan terlalu tidak percaya diri ketika harus menanyakan tujuannya secara langsung.
Sambil menguleg sambal, Ibu menjawab bahkan dengan lantang, "Biasa, lah. Naufal kan kuliah. Afkar ada latihan buat kompetisi Nasional. Ayah ada di pasar."
"Pasar? Kan biasanya Lynn yang di pasar?"
"Ah~" Ibu mendadak menghentikan aktifitasnya. Lalu tersenyum penuh sipu malu yang membuat Fannan sempat merasa heran. "Neng.. lagi sama--."
"Sama?"
"Sama calonnya." ucap Ibu agak berbisik.
Seketika Fannan terserempak. Mata yang membelalak bulat itu mendadak berkedut saat berusaha keras untuk tetap tegar. Walau ia juga tidak tau apa alasan yang membuatnya sampai harus bertindak sejauh itu. Berpura-pura tenang.
"C-calon?" Fannan mencari kemungkinan lain. "Calon apa, Bu?"
"Atuh.. kamu, mah." Ibu agak kesal saat Fannan justru bertanya pertanyaan yang sudah semestinya jelas, "Calon suami!"
"L-lynn sudah punya calon?"
Ibu menghampiri meja Fannan. Meletakkan piring-piring berisi nasi, ayam goreng, lalapan, sambal, serta topping kriuk yang terpisah di hadapan pria itu. Lalu, menarik satu kursi dan duduk disana untuk berbicara lebih jelas.
"Ya.. entah udah bisa dibilang calon atau belum. Yang jelas, dia mau serius sama Lynn. Mau kenal lebih jauh ceunah." jelas Ibu begitu antusias tanpa mengetahui bahwa Fannan sedang sekuat tenaga menahan sesuatu yang menyesakkan.
"Udah ketemu Ibu sama Ayah?"
Ibu mengangguk semangat, "Sudah berkali-kali. Tapi, tadi pagi langsung datang dengan niat itu."
Fannan tertawa kosong, "Ibu setuju? M-maksud aku, Walaupun Lynn itu bebal, tapi, kan dia satu-satunya anak perempuan."
"Tentu Ibu sangat-sangat setuju, dong! Dia orang baik dan juga mereka udah kenal sejak lama ternyata."
"Oh, ya? Siapa? Mungkin Fannan juga kenal."
"Temen SMA-nya yang udah banyak bantu Lynn. Bahkan saat kejadian brutal dia waktu itu."
"Tapi, kemarin dia nggak bilang apa-apa." Fannan masih enggan untuk mempercayai sebuah kenyataan. Mendadak denial.
"Mungkin karena belum pasti. Makanya Ibu minta doa supaya dilancarkan itu mereka." harap Ibu dari lubuk hatinya yang terdalam, "Walaupun Ibu suka ngomel, mukul Eneng, tapi Ibu selalu doakan agar Lynn bisa bahagai selalu. Lepas dari kesulitan dalam hal apapun. Nggak cuma soal materi."
Fannan sempat tersenyum menanggapi. Lalu tercenung dalam waktu yang cukup lama. Merasakan sakit yang cukup menyiksa di hatinya. Yang membuatnya semakin kesakitan adalah, kenapa semuanya terlalu cepat? Bahkan kemarin mereka baru saja bertemu. Tapi tak membicarakan apapun.
"Assalamualaikum!"
Perpaduan dua suara lelaki dan perempuan itu langsung menggerakkan reaksi Fannan dan Ibu. Mereka menjawab salam sekaligus menoleh. Mata Ibu tampak berbinar menyambut kedatangan mereka. Sedangkan Fannan hanya bisa terpaku datar. Tak bisa menampilkan reaksi apapun.