"Akh!" rintih Lynn kesakitan saat dokter memeriksa beberapa bagian tubuh yang terkena benturan sembari berbaring di atas bangkar IGD.
"Sepertinya kakinya patah." ucap dokter sambil memastikan lagi yang membuat Lynn terbelalak. "Setelah suster mengobati luka luar, nanti kita langsung ke ruang rontgen untuk memeriksa kemungkinan lain."
Ale yang mendampingi Lynn sejak kejadian tersebut tampak menyimak dengan baik penjelasan dokter.
"S-saya mau dioperasi?" Lynn ketakutan.
Dokter Iwan mengangguk yakin, "Tetapi kita periksa dulu lebih jauh. Apa ada luka dalam yang lain."
Ale mengangguk paham, "Baik, Dok. Saya minta yang terbaik. Jika memang harus melalui prosedur operasi, maka tidak akan masalah."
"Hah?!" jerit Lynn bahkan mengejutkan semua yang sedang berlalu-lalang di IGD. "Siapa lo? Ngatur-ngatur idup gue seenak jidat! Mau gue operasi atau enggak, bukan urusan lo!"
Pria tampan dan selalu berpenampilan elegan itu terkekeh tak habis pikir dengan respon Lynn, "Dalam keadaan kaya gini lo masih bisa ngomel? Apa jadinya kalau lo nggak dioperasi?!"
Hhh.. Lynn sengaja menghempaskan napasnya penuh tenaga. Ia menatap sinis—walau agak kesusahan karena dirinya sedang berbaring di atas bangkar. Tapi berusaha untuk terus menyulutkan emosi yang sejujurnya sedang abstrak. Antara takut, trauma, kesal dan kesakitan.
"Lo pikir operasi bisa dibayar pakai tulang ayam?!" lanjut Lynn membentak.
Gadis pemilik kulit kuning langsat yang cerah itu bahkan mencoba untuk bangkit, namun rasa sakit dan nyeri lebih dahulu menyerang. Ia mengerang kesakitan. Heboh sekali.
Ale bahkan lebih tanggap dari perawat. Ia segera membaringkan Lynn lagi perlahan. Mendengus pelan sambil menggeleng keheranan menatap Lynn yang banyak sekali tingkahnya. Sepertinya, Ale memang harus melapangkan hatinya untuk sabar menghadapi Fathima Lynn yang dari dulu tidak pernah berubah.
"Lynn!"
"Anak ayah!"
"Kakak!"
Suara gaduh itu disponsori oleh keluarganya. Ayah, ibu dan dua adik laki-lakinya. Mereka menangis tersedu-sedan yang justru membuat Ale hanya bisa memberikan respon ambigu. Menaikkan satu alis. Keluarga yang unik. Lagi, mereka juga tidak berubah.
"Uhmm.." Lynn mengerucutkan bibirnya seperti anak kecil yang merengek manja. "Ibu, Ayah.. adik-adik." Lantas keluarga itu memeluk Lynn seolah baru saja bertemu keluarga yang hilang.
Ale agak menepi. Memberikan ruang bagi keluarga tersebut dengan sopan bersamaan dengan ponselnya yang berdering. Ia segera mengusap layar ponselnya. Mengarahkan ke telinga. Menyimak dengan baik ucapan sang penelepon.
"Meeting-nya 15 menit lagi?!" Ale terbelalak, lalu menengok arloji yang melingkar di tangan kanannya, "Oke.. oke. Gue ke parkiran."
"Hah?!" jerit Ale saat berbalik badan. "Astaghfirullah!" ia mengusap dada.
Matanya membulat beku. Jantungnya berdegup tak beraturan saat menemukan keluarga cemara tadi berada di hadapannya. Dari Ayah Lynn, ibu, dan kedua adiknya. Mereka semua mengunci pergerakannya.
Ale tersenyum canggung, lalu menunduk sopan menyapa mereka, "A-assalamualaikum.. apa kabar, om, tante?"
"Siapa lo?" Ayah menyipit curiga. "Lo yang nubruk anak gue?"
Naufal menopang satu dagu dengan tangan, "Kaya pernah liat." Opininya mengejutkan yang lain, tentang ketidakasingannya terhadap Ale.
Ibu tertawa, "Nggak penting lah.. yang penting mah, kamu kasep."
"Ibu!" tegas Ayah, Naufal dan Afkar sebagai pengingat agar tak mudah terpaku dengan ketampanan seseorang yang bisa saja digunakan untuk memanfaatkan sesuatu.
"Ah~ saya Ale, teman SMA Lynn" jelas Ale singkat, ia berpamitan, bergegas untuk mengejar rapat, "S-saya permisi dulu. Nanti saya datang lagi kesini."
Langkahnya terhenti sejenak dan berbalik menatap keluarga itu, juga Lynn, "Lynn..." Ia mengulum bibirnya sejenak, "—Lynn harus mendapatkan perawatan terbaik. Semua sudah saya handle." tutupnya sebelum berlari keluar rumah sakit.
"Mas Ale!" Pak Adi melambaikan tangan padanya di tempat parkir.
Ale segera menghampiri. Masuk ke dalam mobil mewahnya. Merapikan pakaian di dalam mobil yang sedang memelesat. Ale ini sangat memperhatikan penampilan, apalagi jika harus bertemu dengan klien.
Pak Adi mengendus sesuatu. Lalu mengerutkan kening sambil tetap fokus pada roda kemudi yang membuat Ale agak curiga. Padahal pengharum mobil sudah terpasang.
"Kenapa, Pak?"
"Ada kaya bau amis."
"Amis?" Ale menyipitkan mata. Menjauhkan ponselnya sejenak untuk fokus.
"Iya. Kaya bau daging. Daging apa, ya? Daging mentah, lah, pokoknya."
Ale penasaran. Ia turut mengendus apa-apa yang ada di sekelilingnya. Hingga berakhir pada kemeja yang dikenakan. Seketika pria tampan pamilik mata teduh itu membeku. Detik selanjutnya ia seolah hendak menjeluak saat menemukan bau tak sedap itu justru berasal darinya.
Ale yang sangat sensitif itu langsung menyemprotkan parfum mahal ke bajunya, meski sudah jelas ia tak mungkin mengenakan kemeja itu lagi. Ia menerka lagi sumber aroma tak sedap itu. Kemudian meraih ponsel dan membuka sebuah akun yang sempat ditemukannya beberapa pekan lalu.
Menampilkan sosok Lynn yang namanya sedang melambung lantaran gaya uniknya menjajakan ayam potong. Ale terhenyak, "I-ini bau---". Ia semakin frustrasi saat menyadari bahwa dirinya sempat bersentuhan dengan gadis itu.
***
Kedatangan Ale ke Bogor untuk rapat kerjasama antara Marion Hotel dan salah satu wedding organizer milik Salim Ahmad. Pun penyambutan cukup hangat. Bahkan sangat menyenangkan. Alih-alih langsung memulai rapat, Ale justru dijamu makanan melimpah oleh Pak Salim.
Tentu saja Ale menurut. Sebagai salah satu bentuk sopan santun.
"Walaupun bukan orang Minang, tapi Mas Ale ini suka banget masakan Padang katanya." kata Pak Salim membawanya ke meja makan.
Ale meluaskan padangannya. Ia benar-benar terkejut, "Iya, Pak. Siapapun juga kayanya bakalan suka masakan Padang."
"Mari-mari, kita makan."
Keduanya duduk berseberangan. Pak Salim ini banyak sekali bahan untuk dibicarakan, sampai membuat Ale kewalahan. Bahkan rasa rendang perlahan menghambar saat harus menanggapi celotehan pria yang usianya lebih dari setengah abad.
Ale sedikit memeriksa arloji untuk memastikan, berapa banyak waktu yang dihabiskannya. Rasanya sangat tidak efisien.
Pak Salim meletakkan gelas ke atas meja lagi setelah meneguknya, "Saya suka banget mancing. Bahkan anak saya juga suka" ia tertawa puas sendirian, sedang Ale hanya menanggapinya canggung. "Kalau Mas Ale suka mancing, nggak?"
"Uhmm..." Ale mengulum bibirnya sejenak. Ia benar-benar pria yang tidak enakan. Ataukah pekerjaan yang mengharuskannya untuk tetap profesional?
"Saya kurang suka, Pak." imbuh Ale. Meski rekat. Kedua sudut bibirnya terus terangkat.
"Ah, sayang banget!"
"Permisi, Pak.." Ale berusaha memutus, "Kira-kira meeting kita, dimulai jam berapa, ya? Maksud saya, setelah ini masih ada jadwal. Jadi..."
"Ini sudah mulai." Jawabnya.
Ale memiringkan kepalanya, "Maksudnya?"
"Ini kita lagi meeting. Membahas tentang hal-hal sederhana antara calon mantu dan calon mertua." tawa khas Pak Salim menyeruak puas.
Seketika dunia Ale mendadak berada dalam mode pause. Berusaha menerka apa yang terjadi saat sang ibu memintanya untuk datang ke kantor Pak Salim. Jadi, ini perjodohan? Itu sudah biasa. Sampai muak rasanya. Berapa banyak orang yang dijodohkan untuk Ale?
"Sebentar lagi, Asabel pulang dari kampus. Kita bisa ngobrol-ngobrol ringan dulu."
Ale bergegas menghabiskan sisa porsi makanannya, lalu berpamitan, "Terima kasih atas makanannya, Pak. Saya harus mengejar kerjaan lainnya. Maaf."
Pada akhirnya Ale yang memiliki karakter submisif itu harus memikirkan penuh pada dirinya sendiri. Mempertahankan hak-haknya. Setidaknya dalam hal perjodohan yang membuatnya jengah. Semua adalah siasat dar ibunya sendiri.
***
Ale memasuki pintu rumah megah. Mewah, namun memiliki konsep minimalis modern. Kedatangannya di malam hari, disambut oleh cahaya terang lampu-lampu mewah yang bergelantung. Dinding-dinding serba putih dan abu.
Pria pemilik mata teduh itu melangkah cepat. Menghampiri seseorang berhijab yang ada di samping kolam renang sedang berada di depan laptopnya.
"Mama tuh apa-apan, sih?" keluh Ale.
"Hey.. anak mama. Gimana udah ketemu sama Pak Salim?"
Ale berusaha tenang. Lalu duduk di samping sang ibu yang masih tampak menawan di usia lebih dari enam puluh tahun, "Nggak habis-habis apa rencana mama? Mama bilang ini meeting penting. Mama bilang ini sesuatu yang besar untuk perusahaan!"
Mama mengangguk-angguk, "Sangat besar, untuk perusahaan juga! Gimana, udah ketemu Asabel? Dia udah gede. Cepet banget, ya."
"Maa! Cukuplah! Udah berapa cewek yang mama kenalin?"
"Lagian kamu nggak ada action!"
"Semua butuh proses. Kalau 'klik', pasti nggak akan disia-siakan."
"Trus kapan 'klik'-nya?!" Mama tampak berharap begitu besar, "Mama udah tua. Udah 60 tahun! Kamu sudah 28. Harapan mama cuma kamu. Mama pengin liat anak mama bahagia dengan keluarganya." Pelupuk mata wanita yang selalu bersemangat di usia senja itu mengkilat, "Mama takut kalau mama pergi, kamu sama siapa?"
Mendadak Ale kehilangan kata-katanya. Ia hanya termenung, menatap harapan yang ada di dalam mata sang ibu.