Langit mendung Kota Bogor sedang memurungkan bumi . Kekhawatiran sedang berselimut. Hujan kan datang. Walau sejatinya tak mesti turun hujan selepas mendung. Mengkhawatirkan sesuatu yang belum terjadi adalah hal yang biasa dilakukan manusia.
Bahkan hanya sedikit tenaga dalam tangan Lynn. Ia memotong-motong ayam bersama pikiran yang membara. Bahkan hentakkan yang biasa bergema ke seluruh sudut pasar, kini sedang tak terdengar.
Setelah menandatangani kontrak konyol itu, Lynn semakin abu. Gelisah dalam menjalani hidup dan bahkan masa depannya. Keuntungan itu mungkin bisa membahagiakan keluarganya yang cukup lama memerangi kesulitan. Tapi, apakah jiwa Lynn bisa bahagia?
Lynn ingin menikahi orang yang benar-benar dicintainya.
"Lo kenapa, dah?!"
Pertanyaan dari Mpok Neli menyentakkan Lynn.
"Belakangan ini nggak semangat banget lo."
Lynn terbelalak. Seolah baru menyadari jika perubahan yang disebabkan dari kekhawatirannya cukup terlihat di mata orang lain. Ia menunjuk dirinya sendiri yang disambut anggukan oleh Mpok Neli. Pedagang ikan yang ada di samping kiosnya.
"Biasanya lo bawel. Kaga bisa diem. Kalau ada yang lewat lo langsung tarik dia supaya beli ayam lo. Nah.. ini kaga!" Mpok Neli melirik sedikit tangan kiri Lynn, "Ah~ pasti ada pengaruh dari pasca nubruk itu."
Lynn memandangi tangan kanannya, lalu terkekeh. Ia bahkan baru ingat jika tangan kirinya pernah terluka sampai masuk ruang operasi.
"Ya.. gitu, deh, Mpok." Lynn mengemas daging dan memberikannya pada pelanggan terakhir di sore itu.
"Asal lo tau aja.. kalo lo kaga semangat motong tuh daging, pasar ini berasa sepi." celoteh Mpok Neli.
"Masa, sih?"
"Satu kawasan sini ngomongin lo dari tadi. Apa Lynn sakit?"
"Auuu.." Lynn tersipu, ia langsung menyubit satu lengan Mpok Neli, "Ternyata kalian pada merhatiin gue."
Mpok Neli membelalak ngeri, "Kalo ngeliat lo begini. Berarti bener, lo kaga sakit."
Pim.. Pim..
Sebuah motor berhenti tepat di depan gerai ayam milik Lynn. Seorang pria berkenakan jaket dan helm serba hijau. Merupakan seragam dari salah satu peron ojek daring. Ia membuka helm-nya.
"Buruan naik!"
Naufal. Meskipun sibuk dengan kuliah dan pekerjaan paruh waktunya, ia tetap mempedulikan sang kakak. Menjemputnya agar bisa pulang dengan aman dan tak terulang kejadian seperti tempo lalu.
Ia memberikan satu helm pada Lynn.
"Nggak bayar, kan? Awas aja kalau nanti lo tagih gue." Lynn memberi peringatan.
Naufal terkekeh, "Bisnis ya tetap bisnis. Gimana ,sih, lo?!"
Lynn langsung memukul kencang helm yang melekat di kepala sang adik. Meski begitu, kepala Naufal terasa berdenyut kencang dan berakhir merintih kesakitan.
"Lo lupa siapa gue?!" teriak Lynn.
"Aduuh.." Naufal membuka helm sejenak. Mengusap kepalanya yang syukurnya masih utuh. Bagaimana jadinya bila tak ada helm? "Gue kira lo udah nggak bisa main pukul lagi."
Lynn tertawa, "Gue legenda dari Bojong Gede!"
Meski Lynn kerap bertengkar dengan adik-adiknya, tapi sebenarnya mereka memang saling menyayangi. Terbukti Naufal rela menyempatkan waktu untuk mengantar kakaknya pulang, meski tau kakaknya itu bisa mengatasi segalanya sendiri. Begitu juga dengan Lynn yang kembali memakaikan helm tersebut ke kepala sang adik pelan.
Setiap orang punya caranya masing-masing untuk mengungkapkan rasa cinta dan sayang mereka.
Naufal hanya menurunkan kakaknya di depan rumah, lalu bergegas pergi lagi untuk mengejar kelas sore. Dan ada beberapa pelanggan yang sedang menikmati makan sore di warung ayam milik ibu Lynn.
"Lynn ada yang cari tuh!" kata ibu setelah membuatkan es jeruk untuk pelanggan. "Masuk sono!"
Lynn sempat mengerutkan kening. Lalu melangkah lagi ke dalam dan melebarkan mata mungilnya saat berhasil membidik seorang lelaki yang kini sedang melambaikan tangannya. Senyumnya terpancar indah.
Pun Lynn tak lagi bisa menahan senyumnya, "A Fannan?"
***
"Hotel Dandelion menuntut saham senilai 4,99 persen sebagai imbalan meneken perjanjian waralaba" Kata Manager mendiskusikan perihal investasi dalam rapat yang dihadiri petinggi Marion Hotel.
"Apa kemungkinan hasil investasi ekuitas itu?" selidik yang lain.
"Kestabilitas keungan kita pasti akan meingkat. Namun, ada kemungkinan Hotel Dandelion akan menuntut hak untuk menunjuk direktur nanti."
Semua petinggi Marion Hotel sedang dalam mode serius membahas banyak hal tentang bisnis perhotelan yang mereka lakoni. Namun, tampak sang pemimpin rapat justru sedang termenung, seolah menyimak betul isi rapat tersebut. Namun sejatinya, Ale memikirkan banyak hal. Semua didominasi oleh kontrak yang baru saja dilakukannya dengan Lynn tempo hari.
"Jadi, itu bisa menjadi ancaman untuk hak manajemen kita?"
"Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Kita perlu persetujuan Marion Group untuk masuk ke lingkungan bisnis global. Saya rasa Mas Ale harus mempertimbangkannya."
Pun semua mata tertuju pada Ale yang posisinya berada di tengah-tengah. Sangat sentral. Mereka sedang bersiap menyimak respon sang pimpinan. Untung saja Pak Adi selaku sekertaris yang berdiri di samping Ale langsung menginjak kaki bosnya itu, sehingga segera mengerjap dan tersadar.
"A-ah~" sempat terbata sambil melirik Pak Adi, Ale langsung menyambung dengan tenang, "Mari kita segera tanyakan pendapat para direktur."
"Baik." tutup peserta rapat.
Ale langsung bangkit dari tempat duduk setelah menutupnya dengan formal. Pak Adi juga langsung mengekor di belakangnya. Berjalan menuju ruangan.
"Mas Ale mau diambilkan kopi?" tawar Pak Adi saat melihat sesuatu tak beres.
"Iya, boleh."
Kini tersisa Ale seorang diri di ruang kerjanya yang super luas. Interior mewah dengan warna coklat keemasan, serta pemandangan Kota Jakarta yang terpampang dari balik kaca raksasa. Ale duduk di balik meja kerja, mengambil sebuah map dari dalam laci.
Membuka kembali kontrak pernikahan yang ditanda tanganinya bersama Lynn. Entah mengapa ia menjadi gelisah tak berarah. Ia punya cukup ketakutan di balik sikap tenang dan santainya.
Tiba-tiba ingatan dulu berputar dengan cepat. Sampai terhenti di 10 tahun yang lalu.
Sebuah keributan besar terjadi di halaman belakang sekolah. Saling adu tonjok. Tapi satu pihak tampak jauh lebih kuat walau dia seorang perempuan. Pun tak ada yang berani melerai karena terlihat sangat berbahaya. Dan ketika itu, para guru sedang ada rapat mingguan.
Ale remaja yang terkenal karena kecerdasan dan visual tinggi, serta tampan itu menarik perempuan itu dari belakang.
"Siapa lo?!" teriaknya marah.
"Udah.. cukup! Dia udah teler!" Ale memohon.
Dalam momen yang teralihkan, teman-teman lain langsung menyelamatkan korban tonjok itu ke tempat yang aman. Pun gadis itu semakin marah pada Ale yang mengganggunya untuk balas dendam dengan orang yang merundungnya itu.
Karena merasa terganggu, gadis tersebut memukul wajah tampan Ale dan membantingnya. Sebagai pelampiasan.
Uhukk.. uhukk.. Ale terbatuk-batuk sambil menepuk-nepuk dadanya dan melihat gadis itu langsung berlalu pergi. Apakah pelampiasannya sudah tersalurkan semua? Lalu Ale menemukan sebuah gantungan kunci akrilik yang membentuk sebuah boneka yang mengenakan seragam pencak silat dan tertulis sebuah nama 'Lynn'.
Seminggu kemudian, Ale menemukan Lynn berada di depan loker. Sedang memberesi semua barang-barangnya.
"Lo beneran bakal keluar sekolah?" tanya Ale mengejutkan Lynn.
"Bukan urusan lo!" ketusnya.
"Lo nggak sepenuhnya salah!"
Teriakan Ale menghentikan langkah Lynn, "Tau apa lo? Gue udah dikeluarin dari dunia silat, sekarang dikeluarin dari sekolah. Puas?!"
Ale melangkah lebih dekat, "Lo nggak akan ngelakuin semua ini kalau lo nggak disenggol."
"Emangnya kita pernah kenal?"
"Karena gue liat semuanya! Gua bakal buat lo nggak diberhentikan dari sekolah. Setidaknya lo masih punya satu harapan."
Ale tertawa melihat semua memori yang sama sekali tak pudar dari benaknya. Memori saat pertama kali kenal dengan Lynn. Dan keduanya kembali bertemu dalam sebuah ikatan kontrak yang sejatinya sudah dipikirkan oleh Ale dengan cukup matang.
"Ale sayang!"
"Mama?" kaget Ale saat melihat ibunya datang ke kantor.
"Kamu nggak suka Mama datang?" selidik Mama.
Ale berdiri dari kursinya, "Ya.. enggak, lah, Ma. Kaget aja Mama datang di jam kerja."
"Mama tadi barusan ada meeting di sekitar sini. Trus mau ngabarin kamu sekalian."
Pria itu menyipitkan mata, "Kabar apa?"
"Besok jemput Hana di Airport!"
"Hana? Anaknya Tante Dewanti?"
Mama mengangguk pasti, "Mama bilang kamu mau kenalan."
"Mama!" rengek Ale.
"Sstt!" Mama mengarahkan telunjuk ke bibir merahnya, "Ini speknya nggak main-main. Dia lulus kuliah dari Turki. Sholehah!"
Ale memejam sejenak sebelum akhirnya memberikan penegasan, "Ale udah punya calon, Ma."
Mulut Mama mendadak terbuka lebar. Sungguh tak percaya jika putranya sudah memiliki pilihannya sendiri setelah sekian lama menanti.