Chereads / Setahun / Chapter 4 - Chapter 4: Menantu Idaman

Chapter 4 - Chapter 4: Menantu Idaman

"Lynn!"

Lynn yang baru saja keluar dari pintu bangsalnya, menoleh. Menemukan sosok yang seolah-olah dalam penglihatannya sedang membiaskan cahaya terang sedang menghampiri, sampai-sampai harus menyipit.

Semilir angin tiba-tiba membuat kesiurnya di sekitar tubuh Lynn, hingga rambut sebahunya itu beterbangan. Semua seolah bergerak begitu lambat. Seperti sebuah video yang sedang dalam mode slow motion.

Seorang pria pemilik tubuh proporsional. Tinggi dan kaki panjangnya melangkah jauh. Membuatnya semakin cepat mengarah pada Lynn. Bahkan dalam hitungan ketiga, pria itu akan sampai di hadapannya.

Sreekk..

Tidak saat seseorang menarik satu lengannya dari belakang. Dan baik Lynn maupun pria tersebut sama-sama tercekat.

"Nak Ale!"

Ck.. Lynn reflek berdecak kesal saat membidik sang ibu yang lebih cepat. Merusak suasana yang seolah-olah bagian dari Drama Korea.

Ale langsung menunduk sopan pada Ibu Olin. Menyapanya, "Assalamualaikum, Tante.. gimana kabarnya?"

"Uhmm.. Alhamdulillah baik. Ayo! Kamu pasti mau masuk."

"O-oh.. i-itu.." Ale mendadak tergagap, sambil sesekali melirik Lynn yang sudha berada diambang pintu bersama tatapan hambarnya dan kembali menatap wanita berusia setengah abad itu, "Biar saya bawakan rantangnya, Tante."

Ibu seketika tersipu dengan sikap hangat pria yang selalu berpenampilan elegan itu. Membayangkan andai punya menantu se-sempurna itu. Lantas menarik satu lengan Ale dan bersandar disana. Seolah pria itu benar-benar putranya.

Ale membawakan rantang milik ibu bukan karena terpaksa. Ia memang anak yang sopan, tapi merasa agak tidak biasa dengan kehebihan Ibu Olin. Bahkan yang membatnya melongo adalah saat dimana dirinya berpapasan dengan Lynn di pintu.

Ale sempat menoleh, menemukan Lynn yang sedang mengguratkan wajah cemberut karena ibu justru membawa Ale masuk ke ruangan, bukan dirinya.

Lynn membalikkan kursi rodanya. Ia menyipit mengamati perlakuan manis ibunya pada Ale, lalu melepas napasnya dengan sangat kencang, "Cih! Sekarang anaknya aja dilupain!"

Ibu mengeluarkan lauk-paku yang dibawa dari rumah. Menyiapkan menu sarapan untuk Ale yang kini kembali tak nyaman dengan Lynn. Gadis itu bahkan lebih memilih untuk menyalakan televisi. Tak mau mempedulikan mereka.

"Ini, Nak Ale. Namanya nasi uduk." Ibu menyodorkan satu piring pada Ale.

"M-makasih, Tant---."

"Lebay banget, sih! Ya, pasti udah tau dong, Bu, kalau itu nasi uduk!" seru Lynn penuh penekanan.

"Oii.. oiii.." Ibu menggeleng keheranan, "Lihat ini siapa yang ngomong ngegas-ngegas begitu?! Siapa tau sultan kaya Nak Ale ini belum pernah makan."

"Lagian ibu ngapain sih begitu!"

Ibu berapi-api melihat tingkat putri tunggalnya. Ia datang menghampiri. Memukul-mukul bahu Lynn sambil berbisik, "Mau dibayar pakai apa utang lo kalau bukan dengan sikap baik?! Hah?!"

"Aduuuh! Kenapa mukul, sih?" rengek Lynn memegangi tubuhnya yang sakit, "Sakit, tau! Anak perempuan ibu cuma satu!"

"Ini enak banget loh tante."

Ibu dan Lynn mendadak menoleh kompak ke arah Ale yang sedang lahap menyantap Nasi Uduk. Bukan sekedar kepura-puraan. Nasi uduknya memang enak, tapi tak harus dikatakan dengan heboh. Asal pertengkaran ibu dan anak itu usai.

Ale mengacungkan ibu jarinya ke udara, "Ntar kalau saya main ke Bogor, pengen nyicipin Nasi Uduk buatan Tante."

Usaha Ale berhasil, Ibu tak bisa lagi menyembunyikannya. Wajah nanar penuh gurat rona bahagia itu begitu terpancar. Sampai melupakan Lynn dan duduk di depan Ale sambil memperhatikannya makan.

Lynn mengernyit kesal, "Sumpah gue nggak suka banget!"

Ale juga sudah menyelesaikan makannya dengan baik. Lalu menatap punggung Lynn sambil menggigit bibir bawahnya.

"Nak Ale.. pokoknya Ibu mau berterima kasih banyak sama kebaikan Nak Ale."

"Ah~ bukan apa-apa, Bu.. mungkin Allah yang kirim kemudahan untuk Lynn dan keluarga melalui saya yang kebetulan juga teman Lynn." Ale menanggapi dengan sangat sopan, itu semakin membuat kagum Ibu. "Kan Allah bilang di surat Al-Insyiroh, bersama kesulitan ada kemudahan."

"Auuh!" Ibu menghentak-hentakkan kakinya, "Maasyaa Allah.. kenapa kamu ini mantu material banget, sih?!"

Sementara Ale hanya tersenyum manis dan tetap menjaga sopan-satunnya. Meski berasal dari keluarga yang sangat berkecukupan, ia sama sekali tak mau meninggi. Semua bahkan sudah diajarkan oleh kedua orang tuanya sejak kecil.

"Lynn!" panggil Ibu, "Cepat bilang terima kasih dulu sama teman kamu!" titahnya.

Masih dalam posisi membelakangi. Lynn enggan berbalik dan menunjukkan sikap yang tak terduga. Mengacungkan jari tengah yang membuat Ibu dan Ale sekalipun turut tercengang. Bahkan kini mulutnya terbuka lebar. Mematung seketika.

"Woiii!" gertak Ibu. Lalu turun dari kursinya hendak menghampiri putrinya penuh amarah. Namun berhasil dicegah oleh Ale.

"Jangan, Tante!" Pria rupawan itu menghadangnya, "Lynn pasti agak tertekan karena terlalu lama di ruangan ini. menjalani perawatan. Psikisnya sedang tidak baik."

"Masa?" Sebenarnya Ibu tak peduli, tapi mendadak luluh di hadapan Ale yang langsung disambut dengan anggukannya agar Ibu lebih yakin.

"Kalau gitu, biar saya bawa Lynn jalan-jalan sebent---."

"Abang ipar!"

Suara-suara lain mendadak muncul dari pintu yang saat ini sedang terbuka lebar. Naufal dan Afkar berlari menghampiri Ale. Merangkul dan memeluknya. Mengunci seluruh pergerakan pria itu yang tak biasa beraksi apa-apa selain tetap tersenyum.

Lynn sempat menggeleng kesal dengan pemandangan itu, namun mendadak terobati saat sang Ayah datang membawa beberapa kantong kresek. Lalu Lynn melambaikan tangan pada Ayah dengan semangat.

Ayah juga membalas lambaian itu. alih-alih menghampiri putrinya, ia justru mematahkan harapannya dan ikut bergabung bersama dua anak laki-lakinya yang sedang memeluk Ale.

"Bang, ayo makan! Kita bawa ayam goreng segar!" teriak Naufal.

"Asli! Baru dipotong ama gua, loh!" Afkar membanggakan dirinya.

"Om yang goreng!" Ayah ikut menimpali.

"Tante yang ngeracik bumbunya sebelum kesini!" ternyata ibu tak mau ketinggalan.

Lynn terkucilkan. Seolah dirinya tak terlihat di mata mereka. Gadis itu menghempaskan napasnya cukup kencang sampai poni-poni tipisnya ikut beterbangan sebagai bentuk pertahanan diri agar tetap tabah.

Lalu memijat belakang leher dan kepalanya yang mendadak kaku, "Akh! Apa gue asam urat, ya?"

***

Dersik angin menyambut kedatangan Ale yang sedang mendorong kursi roda Lynn. Mereka menyelinap di balik dahan dan ranting. Menyulamnya dengan keteduhan dedaunan rimbun yang ada di halaman samping salah satu rumah sakit elit tersebut.

Hhh.. Deru napas lega dari Ale begitu kencang mengalun, seolah baru terbebas dari suatu tempat yang mengurungnya. Diam-diam begitu juga dengan Lynn. Napasnya melena menghembus. Aroma segar bumi dan tanah seolah menjadi sebuah hal yang sangat berarti. Sebab, selama ini, ia hanya kerap menghirup aroma antiseptik.

"Gimana? Lumayan, kan?" tanya Ale memastikan tanpa memandangi lawan bicaranya. Ia hanya menatap pemandangan seraya menenggarkan kedua tangan ke saku celana relaxed-legged-nya.

Berhubung hari ini adalah hari minggu, Ale berpenampilan cukup santai. Celana relaxed-legged dan crew-neck longgar. Serta sneaker. Sama sekali tidak menghilangkan sisi elegannya. Rambutnya bahkan selalu licin dan rapi.

Khmm.. Lynn berdeham. Memecah hening. Ia benci berbasa-basi. Itu membuang waktu. Sangat tidak efisien bagi kehidupannya.

"Lo tau kan kalau gue punya banyak pertanyaan." ungkap Lynn agak ketus. Tetap ingin meninggikan harga dirinya.

Dengan santai, Ale hanya terkekeh, lalu menggeleng, "Enggak."

Sungguh tak terduga. Ternyata hanya sekedar itu respon dari Ale. Lynn agak malu. Merasa dirinya diperhatikan oleh orang lain.

"Emang apa? Tanya aja kali." sambung Ale.

"Gue agak nggak ngerti---" Lynn menatap Ale yang sedang berdiri di sampingnya. "—tapi, kenapa lo tiba-tiba muncul setelah sekian tahun lamanya? Trus menemukan gue dalam keadaan kaya gini. Lagi, lo bayarin semua tanggungan gue."

"Lagi, dan lo masih ingat gue?" lanjut Lynn sampai keningnya berkerut.

Ale hanya tersenyum manis dan teduh. Seteduh pepohonan rindang yang menanungi mereka saat ini, "Gue nggak tau. Takdir?"

"Dan... gue nggak akan pernah lupa sama orang yang nonjokkin gue." tambah Ale manikkan satu alis tebalnya.

Lynn mendadak kehilangan akalnya. Skak mat. Begitulah posisinya.

"Wah.." Ale melipat kedua tangan ke depan dada, "Utang lo banyak banget ya ama gue?" kekehnya.

"Terus? Lo mau apa? Mau gue bayar semua itu?! Berapa? Hah?!" tantang Lynn tanpa memikirkan apa saja yang dia miliki.

"Uhmm.." Ale mengangguk sangat yakin. Memposisikan setengah duduk agar bisa menatap mata Lynn dengan jelas dan membuat gadis itu semakin tegang—takut membayar hutang yang sepertinya tak terhitung itu, "Gue mau lo bayar semuanya."

"A-apa?" Lynn agak bergetar, "Emang berapa?" suaranya semakin menghilang.

Ale menggeleng, "Apa semua harus diorientasikan dengan uang?"

"Sejauh ini gue belum mampu untuk bayar. Tapi, gue bakal bantuin apapun yang lo butuhkan."

"Jadi istri gue."

Sontak mata mungil Lynn membulat. Serupa bola ping-pong. Berharap apa yang didengarnya hanyalah halusinasi karena keusilan keluarganya.