Ayah, Ibu, Naufal dan Afkar saling berhimpitan di satu ruang jendela bangsal VIP yang ditempati Lynn. Terdengar suara-suara berisik yang disponsori oleh mereka saat sedang memperhatikan sesuatu di bawah sana.
"Uhmm?!" Ayah membelalakkan mata, "Ale deketin."
"Mereka saling tatap." tambah Ibu dengan suara yang tertahan. Sebab, jika tak ditahan, maka ia akan histeris dan menjadi yang paling heboh.
Mata Naufal berpijar, "Wah.. ngomongin apa mereka, ya?"
"Gue baru liat Kakak dideketin cowok."
Celetukan si bungsu justru membangkitkan gelak tawa yang lainnya. Lynn memang jomblo sejak lahir. Bahkan tak ada yang berani mendekati gadis yang tak kenal takut sepertinya. Perkasa. Namun, mereka berusaha menahan demi tak membuat gaduh. Dan tetap mengawasi Lynn dan Ale dari kejauhan.
Sejak tadi, keluarga Lynn memang sudah mengamati. Lebih tepatnya penasaran akut dengan apa yang akan mereka bicarakan dan ingin melihat reaksi satu sama lain. sebab, tak mungkin jika Ale hanya membawa Lynn sekedar untuk mencari udara segar.
Dan keduanya tidak tau jika di atas mereka ada keluarga yang mengawasi.
"Wooo!"
Ayah dan lainnya tak bisa menahan diri saat melihat Ale berjongkok, seolah sedang bertekuk lutut di hadapan Lynn. Tatapannya pria itu juga membuat siapapun meleleh.
"Langsung dilamar?!" Naufal bertanya-tanya mewakili perasaan yang lain.
Mereka terus berasumsi tanpa tau apa yang sedang dibicarakan yang bersangkutan.
"Apa semua harus diorientasikan dengan uang?"
"Terus?"
"Jadi istri gue."
Suasana mendadak sekonyong hening. Semilir angin semakin merasuk. Lynn tak bisa mencerna situasi. Berharap semua ini hanyalah halusinasi. Namun, tatapan Ale yang teduh itu membuatnya tak bisa mengambil reaksi apapun. Semakin membuatnya lemah. Tapi, Lynn tangguh. Ia tak mau terjebak.
"Gila, lo!"
Bruuk..
"Akh!" rintih Ale.
Pria itu tak menduga jika respon Lynn justru seperti itu. Mendorongnya sampai terjatuh hanya dengan satu tangan. Sementara satu tangan lainnya masih dalam gendongan karena dalam proses gips.
Ale segera berdiri. Membersihkan celana bagian belakang, "Wah.. lo masih belum berubah, ya."
"Makanya nggak usah main-main!" ketus Lynn.
"Apa gue suka main-main?" tantang Ale santai. Satu sudut bibirnya tampak naik.
Lynn mendelik, "Mana gue tau! Halo? Emang kita sedekat itu untuk tau satu sama lain? Gue kenal lo karena insiden itu. Dan gue nggak tau apa-apa lagi tentang lo sampai muncul di depan gue saat ini!"
Ale terkekeh tak habis pikir dengan pemikiran Lynn, "Ok.. Insiden itu juga yang bikin lo berhutang!"
"Apa?!"
"Bahkan sampai saat ini!"
Lynn menghempaskan satu napasnya kasar sambil menyilakan rambut bagian tengah, "Jadi lo nggak ikhlas?! Mau gue bayar dengan nikah sama lo?"
"Ikhlas atau enggak, itu urusan kita sama yang di atas. Tapi, etika orang yang sudah banyak dibantu, bukannya membalas budi?" Ale melipat kedua tangan di depan dada, "Tapi gue nggak peduli juga, asal lo mau nikah ama gue."
"Hah?! L-lo gila?!" pekik Lynn.
Tampak kerutan di kening. sebagai salah satu tanda bahwa dirinya butuh penjelasan sekaligus memberontak. Ia masih mengenakan pakaian pasien lengkap. Dahinya juga masih terdapat plester, serta masih duduk di atas kursi roda.
"Kenapa gila? Gue ngajak lo nikah." tandas pria rupawan itu santai.
"Kita baru ketemu setelah hampir satu dekade, trus lo ngajak nikah? Apa karena gue viral di toktok?" Lynn tak habis pikir, "Apa alasan lo mau nikah ama gue?"
"Pengen nikah aja, karena ibadah. Lagian lo bukan orang asing walaupun kita hampir nggak pernah ketemu setelah lulus SMA."
"Nggak!"
"Oke.. gue tentuin tanggalnya."
Lynn terbelalak, "Ale!"
Ale menaikkan satu alis, "Lo bilang mau ngelakuin apa aja buat gue."
Lynn meneguk salivanya kasar, "Apa harus sampai sejauh itu? Lagian lo bikan tipe gue. OMG!"
"Cuma setahun, gimana?" tawar Ale dengan tatapan penuh penekanan.
"Apa?!" gadis berambut sebahu dengan poni tipis itu masih belum bisa mencerna ide gilannya, "Maksud lo kawin kontrak?"
"Tadinya nggak sampai kepikiran kaya gitu. Karena lo ngotot dan ribet, gimana kalau buat kontrak aja."
Lynn tertawa berat, "Lo pikir pernikahan buat main-main?"
"Gue nggak mempermainkan. Gue cuma butuh bantuan lo. Lo tadi bilang mau bantu gue apapun. Udah lupa? Ah~ apa harus direkam obrolan kita ini?"
Lynn memejam sejenak untuk menetralkan emosinya yang semakin tidak stabil, "Ale.. apa yang bikin lo bertindak sejauh ini? Kenapa lo butuh bantuan untuk nikah sama gue?"
Ale mendenguskan napasnya kasar, "Jadi gini..." sejenak ia menatap langit biru terang, lalu menatap Lynn lagi, "Nyokap gue buru-buru pengen gue cepat nikah."
Alih-alih memberi tanggapan lain, Lynn justru terpingkal-pingkal. Membuat kening itu berkerut. Adakah yang lucu dari penjelasannya, meski ia sudah mengungkapkan alasannya.
"Ada yang lucu?"
"Ya, iya, lah!" tegas Lynn sambil berusaha menghentikan tawanya, "Alasan kan banyak! Apa, kek!"
Ale meneguk salivanya kasar. Berusaha menyusun kata-kata tentang kejelasan lain yang dialaminya bahwa dirinya merupakan anak tunggal, dimana harapan sang ibu hanyalah padanya seorang. Sebagai seorang ibu yang sudah berusia lebih dari setengah abad, ada banyak kekhawatiran tentang masa depan jika putranya hanyalah tinggal sebatang kara.
Lynn pun bisa menerima penjelasan dengan baik.
"Uhmm.. pemikiran nyokap lo masuk akal meskipun yang namanya kematian nggak ada yang pernah tau. Siapa yang duluan---" Lynn mengangguk-angguk sambil membayangkan.
"Ya, kan?"
"Tapi!" Lynn meninggikan suaranya, "Kenapa gue, Nyet?" tatapan matanya setajam belati. "Seharusnya lo sebagai orang kaya raya pasti dikenalkan dengan circle keluarga lo juga."
Ale duduk di atas bangku. Menatap pemandangan, "Banyak kenalan, mah. Nyokap gue juga ngenalin ke banyak cewek."
"Trus?"
"Yang namanya mau naik ke jenjang pernikahan kan harus cari yang 'klik'. Banyak pertimbangan lah pokoknya."
"Nah itu tau!" tandas Lynn, "Trus kenapa milih gue? Maksudnya.. kita ibarat nggak banyak kenal. Mana kawin kontrak lagi. Bisa-bisanya mempermainkan pernikahan!"
Ale menatap lekat Lynn, "Gue nggak mempermainkan. Kalau lo mau nikah sama gue, ya udah nikah. Tapi, kalau emang hanya niat membantu, setidaknya untuk satu tahun kedepan."
"Trus cerai?"
Pria itu tak langsung menjawab. Ia termenung sejenak lalu mengangguk, "Setidaknya nyokap tau kalau terpaksa menikah itu tidak baik. Asal untuk saat ini dia tenang."
"Gue sejak kemarin-kemarin udah mikirin ini matang-matang dan baru berani muncul di hadapan lo. Gimana caranya semua ini bisa saling menguntungkan." lanjutnya.
"Ale." panggil Lynn pelan saat terpikirkan akan sesuatu, "Maaf nih, ya.. gue mau tanya. Apa nyokap lo ada sakit yang parah gitu, kok sampai ngarep banget lo ada yang nemenin."
Ale menggeleng, "Alhamdulillah nggak ada. Paling nyeri-nyeri umur, lah. Tapi, kan kita nggak tau pemikiran orang usia di atas 50, Lynn. Mereka punya pemikiran liar. Ngerti, nggak, lo?"
"Iya.. iya."
"Pokoknya lo pikirin dulu selama dua hari kedepan jawabannya. Sebagai gantinya, gue akan kasih apapun yang keluarga lo butuhkan selama satu tahun itu." ungkap Ale jujur, "Keluarga lo juga hangat, itu akan bikin gue betah selama setahun" ia mengangkat satu alis, "Yang jelas, gue anaknya nggak macam-macam. Gue baik-baik. Gue nggak suka bergaul di club. Abis kerja gue langsung pul---."
"Iya.. iya.." potong Lynn tak mau mendengar banyak hal lagi, "Tapi, coba lo pikir.. seandainya kita menikah, apa keluarga lo nggak---" Lynn kehilangan kata-kata sejenak.
"Gue nggak punya apa-apa! Gue bukan drai keluarga kaya. Karir gue sebagai atlet silat berhenti karena kesalahan gue sendiri! Gue nggak kuliah! Apa yang dibanggakan? Apa yang keluarag lo liat nanti? walaupun ini hanya sementara." tambah Lynn merasa tidak enak.
Ale tersenyum santai, "Asal lo tau aja, keluarga gue nggak punya pemikiran kuno! Asal pasangan kita punya pribadi baik. Punya keluarga yang baik. Itu cukup."
Pria itu bangkit dari duduknya, "Hape lo mana?"
Lynn mendongak, "Nggak bawa. Di bangsal."
Ale mengambil satu dompet di saku, menyodorkan kartu namanya, "Datang ke kantor gue setelah selesai perawatan untuk teken kontrak." tutup pria itu sambil mengedipkan satu matanya sebelum beranjak.
Mulut Lynn masih menganga lebar. Matanya sukar untuk berkedip, "Apa-apaan ini? teken kontrak? Gue bahkan belum menyetujui!"
"Woiii! Aleee!" teriaknya saat Ale sudah melenggang pergi.
Kemudian menatap sebuah kartu nama yang ada di tangannya. Ale Omar--CEO of Marion Hotel.