Di balik jendela kamar, cahaya emas semu memantul di sebagian kening Ale yang sedang membawa secangkir kopi hangat—suasana teduh yang menenangkan di pagi hari. Namun, ia tercenung apabila kata-kata ibunya kembali dalam pikiran.
Mama takut kalau mama pergi, kamu sama siapa?
"Nggak ada yang bis amemastikan." embusan napasnya melena perlahan.
Sebagai seorang pimpinan perusahaan, Ale sudah semestinya tertib akan waktu dan jadwal. Ia meletakkan cangkir yang kopinya sudah diteguk secara perlahan sejak tadi, diletakkan di atas nakas. Lalu berbalik dan... ia menyipit beberapa kali.
Tiba-tiba dunianya berputar. Perlahan dan semakin kencang. Ale mengerjap beberapa kali untuk menetralisir perputarannya. Sial, itu terlalu dahsyat. Sempat bertahan sambil terhuyung. Sebelum akhirnya pria itu tersungkur.
Brukk..
"Kenapa? Kenapa lagi?" dalam hati ia bertanya-tanya sambil merintih kesakitan.
Ale berusaha tenang. Ia tetap sadar, meski tubuhnya sudah menyentuh lantai. Ia membiarkannya dalam beberapa waktu, sembari menunggu waktu yang tepat untuk perlahan kembali bangun.
Ia benar-benar tak ingin menyia-nyiakan waktu. Harus bangkit.
Perlahan-lahan, ia meraba apa yang ada di sekitarnya dan menemukan pinggiran ranjang. membuat benda tersebut sebagai alat penopang agar membuatnya mau bangkit lagi.
"Mas Ale! Mobil sudah siap!"
Ale yang sudah terduduk di bibir ranjang itu masih mengatur tempo pernapasannya yang acak, sekaligus memejam dan membuka matanya perlahan. Setidaknya, ini lebih baik.
"Iya! Sebentar lagi!" bahkan Ale yang nyaris kehilangan tenaga itu tetap bersuara agar bisa merespon Pak Adi.
Ia lantas mengambil obat di kotak obat yang tersimpan di bawah kasur. Di tempat yang sangat ujung. Lantas meneguknya dengan segera. Ale harus bekerja. Ale tak mau menjadi orang lemah hanya karena tidak sehat.
Semenjak ayahnya meninggal, Ale meneruskan perjuangan sang ayah membesarkan perusahaan yang bercabang. Mulai dari perusahaan properti seperti komplek elit, apartemen dahn hotel yang tergabung dalam Marion Living, hingga bisnis food and beverage.
Sedangkan Mama Maryam—ibunda Ale memegang bisnis kosmetik dan travel.
Sejak itu pula, mereka hanya tinggal berdua. Bahkan Ale kembali ke rumah orang tuanya setelah menetap di apartemen pribadinya cukup lama.
***
"Jadi, itu temen SMA kamu?" ayah memastikan lagi pada Lynn yang saat ini sedang lahap makan disuapi ibu.
"Pantesan kan pernah liat." timpa Naufal yang sejak kemarin sudah yakin dengan intuisinya.
"Kasep pisan!" heboh ibu lagi.
Tampak Lynn yang sudah berada di bangsal VIP menggunakan bentuk short arm cast yang dipasang di bawah siku ke arah tangan. Lalu menggunakan bentuk short leg cast yang dipasang di bawah lutut hingga ke kaki untuk tungkai kaki bawah yang patah.
Wajahnya juga masih lebam-lebam. Untung saja Lynn sangat bersemangat dalam hal santap-menyantap makanan.
"Ayah sama ibu lupa?" tanya Lynn memastikan bersama mulutnya yang penuh, "Dia dulu yang ngelerai aku waktu berantem tonjok-tonjokkan di sekolah sama si..." sejenak mengingat-ingat "—siapa, ya? Ah! Pokoknya nama bekennya dulu Kembung."
"Ah, ingat! Dulu masih imut gitu." kata Ayah. "Sekarang berkarisma."
"Ya iya, lah! Udah 27 tahun!"
"Astaghfirullah!!!" Ibu terbelalak saat berhasil mendapat ingatannya.
Ibu ingat betul bagaimana brutal putri sulungnya tersebut. Jika sudah tersenggol, ia akan membalas sejadi-jadinya. Tanpa ampun. Dan terparah ketika Si Kembung itu mengejeknya sebagai anak tukang ayam yang bau. Dan sosok Ale dari kelas terbaik IPA datang melerai. Bahkan rela terkena pukulan dari dua belah pihak.
Buk.. buk..
"Ah! ibuuu!" teriak Lynn kesakitan saat pukulan itu mendarat di pahanya, "Ibu! Ini sakit! Badan Neng sakit semua!"
"Kamu punya banyak utang sama Ale!" Tegas ibu.
Afkar menghentikan keseruannya bermain game dengan fasilitas yang sudah tersedia di bangsal mewah tersebut, "Kak! Kayanya gue bakal makmur panya kakak ipar kaya Bang Ale."
"Bener! Gila! Ini ruangan sehari aja bayar gede. Belum biaya operasinya pasti nggak pakai BPJS, dong." kekeh Naufal ikut mengimbuhi sambil asyik dengan game dan jajanan. "Dia juga bayar ganti rugi mobil yang lo tubruk!"
Motor Lynn hilang kendali saat berada di jalan turunan yang mengarah ke perempatan jalan. Kini, ia hanya bisa mengelus dada sekaligus tertekan dengan segala kebaikan Ale. Nasib apakah yang akan menimpanya bila tak bertemu dengan Ale?
Ibu meletakkan mangkuk bubur ke atas meja, lalu mendadak serius, "Benar kata adik-adik kamu. Nikah aja. Kamu juga udah tua!"
"Ibu!" protes Lynn, "Haduh. Kalian ini kenapa, sih? Neng ini lagi kesakitan, malah pada bahas yang aneh-aneh. Harusnya bikin suasana biar aku semangat sembuh. Ya, kan, Ayah?"
Ayah mengusap-usap kening putri satu-satunya itu, "Iya, Nak.. Kita ngomong yang seru-seru aja."
Sebagai anak sulung dan satu-satunya perempuan, Lynn terkadang kerap bersikap manja pada sang Ayah. Mengerucutkan bibir seperti anak kecil.
"Tapi, sepertinya kamu emang harus menikah sama Ale."
Ucapan Ayah membuat Lynn melongo, lalu kembali memperotes, "Ayah!"
"Gini.. gini.. anggap aja balas budi." Ayah menampilkan senyum innocent.
"Balas budi?!" Lynn mengernyit, "Aku aja baru ketemu Ale kemarin setelah hampr satu dekade! Apa? Nikah?!" ia terkekeh, "Jangan sampai tertipu dengan keelokan rupa dan harta melimpah!"
"Jadi, kamu baru ketemu lagi?"
"Iya! Aku juga nggak tau dia mau kemana. Aku aja nggak ingat dia juga awalnya."
"Tapi.. kok dia belum kemari, ya? Lo udah dua hari disini." celoteh Afkar sambil mengunyah snack sampai tumpah-tumpah ke atas kaosnya, "Biasanya kan datang bawa buah, kek. Seenggaknya sekali, abis gitu lenyap dan nggak mau berurusan sama lo lagi, Kak."
Kalimat sang adik membuat Lynn tercenung. Memikirkan beberapa hal. Lalu mengalihkan pikiran abstarknya menjadi lebih positif. Mungkin saja, Ale sibuk. Di lihat dari caranya berpakaian, ia adalah orang kantoran atau pekerja elit. Setidaknya, Lynn ingin bertemu dengannya sekali lagi untuk berterimakasih.
Sayangnya, hampir dua pekan berlalu, pria pemilik hidung mancung dan matanya yang khas penuh keteduhan itu tak juga muncul. Apa dia hanya membayarkan seluruh biaya hanya karena mengenal Lynn sebagai teman lama?
Mungkinkah?
Ya, itu akan menjadi sebuah kemungkinan jika Lynn adalah sahabat atau teman dekat Ale. Tapi, mereka tak punya kenangan yang benar-benar baik. Hanya kenangan baku hantam lah yang menjadi poros perkenalan itu.
Lynn yang duduk di atas kursi roda untuk sementara itu terduduk di tepi jendela yang menampilkan pemandangan hijau samping rumah sakit elit tersebut. Masih bersama harapan agar tak kehilangan jejak Ale.
"Ah!" Matanya mengerjap saat menemukan ide, "Apa gue harus tanya ke bagian administrasi?"
Setidaknya akan ada informasi yang tertinggal. Nomor ponsel, mungkin?
Lynn bergegas menjalankan kursi rodanya yang dapat bergerak otomatis dengan satu pengaturan. Wah, Ale benar-benar membayar untuk semua fasilitas ini sampai Lynn sembuh total. Dan Lynn membuka pintu bangsal.
"Lynn!"
Suara bernada rendah itu menghentakkan. Lynn menoleh. Menemukan sosok yang seolah-olah dalam penglihatannya sedang membiaskan cahaya terang sedang menghampiri, sampai-sampai harus menyipit.