Chapter 3 - Kembali lagi

Alie tidak tahu haruskah dia bersedih atau bagaimana. Tadi saat dokter meminta untuk berbicara dengan Pak Darman, Alie ngotot ingin ikut. Dia bilang bahwa sebenarnya Alie lebih berhak ketimbang Pak Darman karena status Alie adalah keponakannya. Karena Alie terus mendesak, dokter pun tidak bisa bilang apa-apa lagi. Mereka berdua diajak ke ruangan sang dokter.

Dokter menjelaskan bahwa leukimia yang diidap bibinya sudah sangat parah. Terjadi pendarahan di otak dan paru-paru bibi Alie. Dokter tidak menjamin bahwa bibi Alie bisa sembuh. Bahkan bisa dibilang kemungkinan kematian lebih besar ketimbang sembuh.

Kabar itu membuat Alie sedikit menyesal karena tadi sudah mendesak untuk ikut ke ruangan dokter. Namun di satu sisi, kalau hanya Pak Darman saja yang diajak masuk, pasti nanti bibinya akan meminta Pak Darman untuk merahasiakan tentang kondisi bibinya.

Alie dan Pak Darman keluar dari ruangan.

"Non baik-baik saja?" tanya Pak Darman. Dia mengkhawatirkan kondisi keponakan majikannya sekarang.

Alie menarik napas dalam, berusaha tersenyum, meski senyum yang berusaha dia tampilkan adalah senyum kecut. Alie mengangguk, bilang bahwa dia baik-baik saja.

"Non boleh pulang. Biar saya yang menjaga Bu Ratna di sini. Besok Non harus sekolah, bukan?"

"Tidak apa, Pak. Saya saja yang menjaga Bibi. Bapak pulang saja. Anak dan istri Bapak lebih membutuhkan kehadiran Bapak."

"Tapi, Non—"

"Saya saja, Pak. Tapi besok Bapak harus datang lebih pagi dan membawakan pakaian serta buku-buku sekolah saya, ya. Roster pelajaran akan saya kirimkan lewat whatsapp."

Pak Darman mengangguk. "Baiklah, Non. Non jangan lupa makan, ya. Saya pamit."

"Hati-hati, Pak."

***

Alie sudah berada di ruangan di mana bibinya dirawat sekarang. Wanita yang berusia 50 tahun, mengenakan seragam pasien, tertidur lelap, dengan selang menempel di hidungnya. Wanita yang sangat berjasa dalam hidupnya.

Alie jadi teringat satu tahun lalu. Tepatnya saat ulang tahun Alie yang ketujuh belas.

Alie dibangunkan malam-malam. Dibuat terkejut oleh bibinya dan Pak Darman. Saat itu pukul dua belas tepat, mereka berdua menyanyikan lagu selamat ulang tahun. Bibi Alie memegang kue dan Pak Darman memegang kotak seukuran kardus mie instan.

Alie beranjak duduk sambil mengucek matanya.

"Selamat ulang tahun keponakan Bibi yang cantik!"

Alie hanya bisa menatap datar ke arah Pak Darman dan bibinya.

"Kenapa? Apa kuenya terlalu biasa?" tanya bibi Alie.

"Bibi salah tanggal. Yang benar besok, Bi." Alie menepuk jidatnya tidak percaya.

"Tadi saya juga sudah bilang begitu, tapi Ibu tidak mau percaya."

Bibi Alie terkekeh. "Sama saja. Yang penting usia kamu sudah bertambah. Selamat sweet-seventeen keponakan Bibi. Ayo tiup lilinnya."

Harus Alie akui bahwa makna sweet-seventeen miliknya berbeda dengan sweet-seventeen remaja-remaja kebanyakan. Pagi harinya saat sarapan, bibi Alie memberitahukan satu hal yang selama ini Alie tidak tahu. Soal kedua orangtuanya.

Bibi Alie bilang bahwa kedua orangtua Alie tidak diketahui siapa. Selama ini bibi Alie berbohong bahwa kedua orangtua Alie tertabrak mobil, jadi korban tabrak lari. Foto sepasang suami-istri yang menggendong anak, yang selama ini dipajang di dalam frame bingkai besar di ruang tamu dan di frame bingkai kecil di meja belajar Alie bukanlah orangtua kandung Alie.

"Bibi minta maaf, Alie. Bibi harus melakukan itu."

Anak mana yang tidak sedih dan hancur hatinya saat tahu bahwa kedua orangtuanya tidak diketahui. Lagi, bibinya harus berbohong agar Alie merasa memiliki orangtua. Tapi Alie bukan tipe anak yang akan menyalahkan langsung. Dia mencoba untuk memandang dari sudut pandang bibinya. Air mata Alie tidak sanggup dia bendung. Cepat-cepat Alie mengusapnya.

"Maafin Bibi, ya, Alie."

"Tidak apa, Bi. Alie paham kok. Alie pasti bisa menerima kenyataan ini. Sudah ah, ayo kita sarapan, Bi. Nanti Alie terlambat ke sekolah."

Setidaknya butuh waktu beberapa bulan bagi Alie untuk menerima kenyataan itu. Dan setahun sudah berlalu, Alie bisa menerima dengan ikhlas. Namun sekarang, yang Alie khawatirkan bisa dibilang berada di ambang pintu. Soal kesehatan bibinya. Perkataan dokter tadi soal kondisi bibinya sekarang membuat Alie merasa sedih.

Sosok wanita yang usianya setengah abad itu sedang berperang melawan penyakit yang luar biasa.

"Bi, jangan tinggalin Alie, ya. Alie mohon. Cuma Bibi yang Alie punya."

Alie menggenggam tangan bibinya. Air mata menetes turun ke pipi lalu jatuh ke lantai.

Tiba-tiba Alie teringat soal yang dikatakan Reentari tadi. Nymphea.

"Nymphea adalah tanaman herbal ajaib yang bisa menyembuhkan segala penyakit. Tanaman itu hanya tumbuh setiap seribu tahun sekali, saat gerhana bulan jingga terjadi. Dan itu akan terjadi sepuluh hari ke depan."

***

Di sekolah.

Pak Darman datang sesuai dengan yang Alie pinta. Datang pukul setengah enam pagi, membawa pakaian dan juga buku-buku sesuai dengan roster hari ini.

Sampai di sekolah, sepanjang jam pelajaran, Alie tidak bersemangat. Dia terus memikirkan soal bibinya. Alie tidak bisa bohong kalau rasa takut akan kehilangan bibinya tengah menghantuinya. Perkataan dokter terus bergema di telinganya, membuat Alie tidak bisa fokus pada pelajaran.

Pulang sekolah, Pak Darman menjemput Alie. Pak Darman melihat wajah kusut Alie yang tidak bersemangat dan juga tubuh yang lemas.

"Apa Non tadi malam tidur?"

Alie yang saat itu tengah menatap keluar jendela menggeleng. Semalaman dia tidak bisa tidur. Alie terus memegang tangan bibinya, berharap bibinya itu segera bangun. Alie belum siap kalau harus kehilangan bibinya.

"Lebih baik Non di rumah saja malam ini, biar saya yang jaga Ibu."

"Tidak usah, Pak. Anak dan istri—"

"Saya sudah diskusikan dengan mereka. Untuk sementara waktu, mereka tidak masalah jika saya harus menginap di rumah sakit. Saya mohon Non jangan menolak. Ini demi kesehatan Non juga."

Alie tidak menjawab. Dia rasa Pak Darman ada benarnya.

Sampai di rumah Alie langsung mengunci pintu seperti biasa. Perkataan Reentari kembali terngiang. Dia langsung menuju gudang masih dengan seragam sekolah lengkap.

"Hai semua—"

Kosong. Tidak ada siapa-siapa di dalam sana. Barang-barang sudah dirapikan. Tapi bukan itu yang ingin Alie lihat. Alie ingin bertemu dengan mereka berlima lagi.

Alie mencoba masuk ke dalam gudang sambil terus memanggil nama mereka berlima satu persatu. Nihil, mereka sama sekali tidak ada. Pupus sudah harapan Alie untuk bertemu dengan mereka. Alie merasa menyesal karena telah melepas mereka dengan begitu mudah. Seharusnya Alie menahan mereka lebih dulu.

Tak lama, terdengar lagi bunyi ledakan. Alie ikut terpental bersama barang-barang di dalam gudang. Ledakan di dalam gudang itu terbilang cukup kuat hingga membuat Alie terpental lalu membentur dinding. Kaki Alie tertimpa sofa rusak. Kertas-kertas berterbangan. Mereka berlima muncul kembali. Kali ini wajah mereka tidak baik-baik saja. Mereka kelelahan.