Chereads / Pencari Keadilan / Chapter 4 - Momen itu

Chapter 4 - Momen itu

"Bu, bu Vina. Kok diam?" melambai-lambaikan tangannya didepan Vina.

Pemuda itu membuyarkan lamunan Vina yang mengingat tentang ayah tirinya yang meninggal. Tanpa ia sadar, nama beserta wajah pria didepannya seperti sama dengan ayah tirinya. Hanya saja, Bagas memiliki lesung pipi pada pipi kanannya. Lesung itu terlihat kala Bagas tersenyum.

"Emm, maaf saya hanya teringat alamarhum ayah saya. Nama belakang kamu mengingatkan dengan mendiang ayah saya." Kata Vina

Bagas mengangguk. "Maaf, mungkin hanya mirip saja. Maaf jika saya membuat ibu bersedih mengingat almarhum ayah bu Vina. Pasti sang ayah berjasa sekali dalam hidup bu Vina."

Sembari mengusap air mata menetes dipipinya, Vina kembali tersenyum seperti semula. "Tidak, kamu tidak salah. Ya mungkim hanya kebetulan sama saja. Alhmarhum ayah saya sangat berjasa bagi saya, ya walaupun beliau bukan ayah kandung saya, setidaknya dengan usahanya, saya dapat duduk disini." jawab Vina sedikit mengingat momen kebersamaan dengan sang ayah.

Suasana berubah menjadi haru saat Vina teringat momen kebersamaannya dengan mendiang ayahnya. Walaupun orang tua sambung, Vina menganggap seperti orang tuanya sendiri, yang sudah berjasa untuk hidupnya dan ibu kandungnya.

"Aduh, kok malah curhat saya. Maaf-maaf. Yuk kita lanjutkan proses wawancaranya." Menegakkan tubuhnya kembali.

Dalam hati Vina terbesit rasa penasaran pada pemuda itu. Disesi interview ini, lalu ia menanyakan alamat serta pengalaman kerja yang pernah Bagas lakukan.

Seperti calon pelamar lainnya, sebagai seorang calon pelamar atau pencari kerja, Bagas kembali menjawab pertanyaan selanjutnya yang dilontarkan oleh Vina.

***

Bagaskara Aditama 25 tahun, dengan riwayat pendididikan SLTP. Ia terpaksa tidak dapat melanjutkan pendidikannya ke jenjang SLTA dikarenakan pada saat itu, kakaknya baru saja dipecat tanpa diberikan pesangon. Sehingga tidak ada biaya untuknya meneruskan sekolah. Ia harus mengubur dalam-dalam cita-citanya sebagai abdi negara.

Mempunyai pawakan yang bagus, tinggi dan tegap lagi tampan. Sedari ia duduk di bangku SLTP, ia berkeinginan menjadi seorang abdi negara.

Setelah lulus dari SLTP, Bagas kerja seadanya. Mulai dari tukang batu, kuli pasar ia lakukan demi bisa melanjutkan ke jenjang SLTA. Namun, pundi-pundi rupiah tersebut sedikit demi sedikit habis digunakan untuk membantu kakaknya mencari makan dan pengobatan sang ibunda. Karena keadaan, Bagas harus mengubur dalam cita-cita abdi negaranya itu.

Suasana menjadi haru kembali saat Bagas tanpa sengaja terbawa ombak, menceritakan kisah hidupnya.

Air mata Bagas tak terasa tumpah saat ia menceritakan perjuangannya bersama sang kakak membantu ibunya. "Saya sempat hidup enak saat ayah saya masih berjaya. Namun saat saya berusia tujuh tahn, ayah saya telah pergi dan kehidupan kami sulit. Saya dan kakak saya bekerja ubtuk menghidupi ibu kami."

Tak terasa Vina terbawa suasana haru mendengar cerita Bagas. Vina terbius dan hanya mengangguk-angguk saja. "Kurang bersyukurnya aku, ternyata masih ada orang lain dibawahku yang hidupnya lebih susah." Gumam Vina mengusap air matanya menggunakan lengan kemeja yang sekiranya dapat menjangkau untuk mengusap air matanya itu.

Dengan beraninya, Bagas menyerahkan saputangan miliknya kepada Vina. "Ini bu. Jangan salah, ini masih bersih. Saputangan ini selalu saya bawa sebagai semangat saya. Karena saputangan ini milik ibu saya."

"Terimakasih." vina menerima kain yang dilipat persegi itu untuk mengusap sisa air mata.

"Oke, kamu boleh pulang. Dan kami akan menghubungi kamu jika kamu lolos ke tahap selanjutnya." ujar Vina

"Baik bu Vina, terimakasih atas kesempatan yang telah diberikan. Kalau begitu, saya permisi." Pemuda itu beranjak dari tempat duduknya dan pergi meninggalkan ruang kerja Vina.

Ceklek...

Ditutupnya kembali pintu ruangan pimpinan itu oleh Bagas. Toleh kanan dan kiri mengamati keadaan sekitar. "Doakan aku ibu, supaya bisa bekerja si perusahaan ini untuk membuat ibu dan kakak bahagia." Gumam Bagas licik dalam hatiya.

Bagaspun melanjutkan perjalanan pulangnya yang sempat tertunda oleh Vina tadi.

Keluar dari perusahaan itu, Bagas langsung menemui kendaraan umum yang kebetulan tengah berhenti untuk mencari penumpang.

Butuh waktu setengah jam saja perjalanan Bagas sampai dirumahnya. "Assalamualaikum." Sapa Bagaskara sambil membuka pintu rumah ia melihat ibunya yang sedang menunggu kepulangan anak-anaknya diatas kursi roda ditemani seorang pengasuh yaitu tetangganya sendiri.

Bagas mencium punggung tangan ibunya. "Bagas pulang bu. Ibu sudah makan siang? Bagas suapin ya, kalau belum makan."

Ibu Bagas hanya dapat menggeleng dan mengeluarkan suara gumaman dari dalam mulutnya. Karena beliau sudah terkena stroek bertahun-tahun, ibu Bagas sampai tidak dapat berbicara dan menggerakan anggota tubuhnya.

Bagaspun langsung duduk bersimpuh dihadapan ibunya melepas penat seraya Ia memohon doa supaya apa yang menjadi upaya untuk mendapatkan hak mereka berjalan dengan lancar sesuai dengan yang Bagas inginkan.

Dipangkuan sang ibunda, Bagas meletakkan kepalanya melepas lelah setelah banyak aktivitas yang ia lakukan hari ini. Meletakkan kepala layaknya anak kecil sedang bermanja dengan ibundanya, tiba-tiba teringat kisah sedih yang terjadi dikeluarga mereka delapan belas tahun lalu.

****

Bagas dan kakaknya merawat sang ibu sejak sang ayah meninggalkan mereka.

Ayah Bagas pergi sejak mengetahui sang istri mengalami sakit yang serius yaitu sakit stroek. Sejak saat itu, bagi ayah Bagas, sang istri sudah tidak dapat melayani dan hanya merepotkan saja. Padahal yang ayah Bagas butuhkan adalah pelayanan istri kapanpun terutama saat pulang kerja sebagai pelepas lelahnya.

Lama kelamaan ayah Bagas tidak tahan dengan rumah tangganya, akhirnya ayah Bagas mencari kebahagiaan lain dari seorang perempuan yang ia kenal diluaran sana.

Saat ayah Bagas berkunjung ke sebuah cafe, ia bertemu dengan seorang wanita. Ayah Bagas jatuh cinta pada saat pertama kali ia melihatnya. Disaat itu pula, ayah Bagas memberanikan diri untuk mengajaknya berkenalan.

Dengan berjalannya waktu, ayah Bagas mendapat kebahagiaan lahir dan batin dari wanita yang ditemuinya di cafe.

Serapat apapun kebohongan disimpan pasti akan tercium juga baunya. Hal serupa juga dialami oleh ayah Bagas. Akhirnya perselingkuhannya diketahui oleh anak sulungnyya saat berkunjung ke kantor sang ayah.

***

Pada suatu ketika kakak Bagas dengan Bagaskara sendiri yang memergoki ayahnya sedang bermesraan dengan wanita tersebut.

Brakkk...

Didorongnya dengan sekuat tenaga pintu ruangan ayahnya sehingga mengagetkan sepasang kekasih sedang bermesaraan.

"Jadi selama ini ayah jarang pulang, atau sering pulang terlambat karena ini yang dilakukan oleh ayah dibelakang ibu? Ibu sedang sakit, tapi ayah malah berduaan dengan wanita lain. Dimana hati nurani ayah!" ujar kakak Bagas geram dan tidak terima ibunya dikhianati oleh pria yang selama ini dianggap sebagai superhero dalam keluarganya.

"Jangan jahat sama ibu dong yah! Ibu kan sayang sama ayah!" Celetuk Bagas ditengah pertengkaran ayah dan kakaknya.

Ayah Bagas pun kaget dengan kedatangan kedua anaknya.

"Kalian? Kok bisa ada disini?"

"Sekarang ayah sudah tertangkap basah. Jadi ini dia jawaban dari kecurigaanku dan adek dengan perubahan sikap ayah akhir-akhir ini pada kami!" Ujar kakak Bagas melempar kotak makan yang awalnya ia niatkan untuk sang ayah.

Dirasa mungkin ini sudah waktunya, dan sudah ketangkap basah pula, ayah Bagas terpaksa berterus terang saat kakak Bagas memaksa menanyakan status wanita dibelakang ayahnya itu. "Ya, ini adalah pacar ayah. Kalian anal kecil jangan ikut campur dengan urusan oramg dewasa!!".

Terjadilah pertengkaran diantara ayah dan kedua anak lelakinya itu.

Tidak terima dikatakan anak kecil, kakak Bagas kala itu sudah menginjak usia remaja marah dengan ayahnya dan meminta untuk meninggalkan wanita dihadapannya.

Tetapi ayah Bagas tidak dapat menuruti kemauan anaknya. Didepan kedua anaknya, beliau mengatakan akan menikahi selingkuhannya itu walaupun ia adalah seorang janda. "Ayah terlanjur cinta dan mendapatkan kebahagiaan yang telah hilang. Ibu kalian sudah tidak dapat memberikan kebahagiaan itu pada ayah. Jadi kalian sekarang pergi dari sini! Ini ada uang untuk kalian hidup bersama ibu kalian." menyerahkan segebok uang dalam amplop cokelat.

"Kami tidak butuh uang ini! Emang ayah fikir sakit hati kami dapat tersembuhkan oleh uang! Tidak ayah! Saya sebagai anak sulung ibu, tidak akan memaafkan kelakuan busuk ayah ini! Dan lihat saja suatu saat nanti akan kami balas perbuatan kalian!! Ingat yah, tanpa ayah pun, kami bisa bertahan hidup!" Sengit kakak Bags yang begitu benci.

Hati seorang anak telah hancur, kesal, geram bercampur aduk dirasakannya. Kakak Bagaskara lalu menarik adiknya dan mengajaknya keluar dari ruangan itu.

Saat itulah, Bagas dan kakaknya menyimpan sakit hati yang mendalam kepada ayah mereka karena telah mempermainkan ibu mereka.