Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Mencari cahaya

🇮🇩bung_Topan
--
chs / week
--
NOT RATINGS
14.9k
Views
Synopsis
Allen gadis desa. Kepribadian yang ramah, baik dan periang, melekat padanya sejak kecil. Bapaknya seorang pebisnis sukses di desanya. selalu mengajarkan kepada Allen arti kehidupan dan proses hidup tidak ada yang instan, menjadikannya pribadi yang rajin disiplin dan penuh tanggung jawab. Namun kehidupannya berubah disaat emosi dan perasaan allen mengalahkan logikanya, dan mencintai seorang pria yang ia harapkan akan menjadi pemimpin untuk menjadi lebih baik dan terus menjadi lebih baik lagi. Namun khayalan dan imajinasi itu runtuh setelah pria itu menghilang entah kemana, di saat, ia benar-benar membutuhkan pundak untuk bersandar. Keluarganya meninggal Allen seorang diri akibat gempa bumi. Merubah hidupnya seratus delapan puluh derajat, dalam kemalangan dan kehampaan. Bingung, resah, dan tak tau harus berbuat apa untuk melanjutkan hidupnya.
VIEW MORE

Chapter 1 - 1. Desaku

Merah jingga di ujung timur menyapa hangat warga desaku, suara gemuruh motor, cidomo, dan hentakan kaki warga berbondong-bondong, ada yang kepasar dan sebagian lagi ada yang ke sawah. Pagi dan siang bahkan sebagian sampai sore, masih ada yang bekerja di sawah. Ini biasanya mereka lakukan agar besok, sedikit lebih santai dalam bekerja.

Inilah desaku desa Suka Mulia di ujung timur dihimpit dua pulau Bali dan Sumbawa. Keindahan alami masih cukup terjaga. Hawa sejuk dan dingin masih amat terasa menyengat. Terkadang membuat aku berpikir, mandi atau tidak, sebelum berangkat sekolah. Yang kebanyakan, aku putuskan untuk lebih baik mandi, untuk menjaga pikiran dan badan tetap segar.

Ehhhh. Perkenalkan aku Allen Wulandari Putri, aku anak yang periang, yang selalu bahagia di waktu kecilku, ayahku saudagar tempat sebagian warga mengais rezeki, dia tak punya sawah. namun, kebanyakan sawah yang ada di desaku sebagian besar ayahku yang menanaminya, bisa dikatakan ayahku yang mengedukasi petani-petani untuk bertani dan memilihkan tanaman, apa yang ditanami dan bagus dan tentu harganya bagus untuk dipasarkan. Dan para petani itu menjual hasil pertanian mereka ke ayahku.

Semenjak kecil ayahku sering sekali mengajakku untuk berkeliling dan menyapa para petani yang bekerja, hanya sekedar, menyapa dan menanyakan kepada mereka. Apakah ada kendala saat bertani atau memeriksa apakah ada kendala serius yang mengganggu pertumbuhan dari tanaman-tanaman itu. Sesekali ayahku berkata,"Allen, kita hidup itu harus seperti tanaman yang para petani itu tanam, hijau menyehatkan mata, tumbuh menjadi sumber harapan untuk kehidupan yang lebih baik".

"Gimana, maksudnya. Yahhhh." Tanyaku

"Jika mereka melihat ayah mereka senang dan semangat, seperti kita melihat tanaman ini." Kata ayahku.

" Terus, tumbuh menjadi sumber harapan. Itu apa maksudnya, yahh..?" Tanyaku lagi

" Kan ayah membantu mereka untuk menjual hasil panen mereka, dengan harga yang sesuai. Jadi di ayah, mereka berharap untuk terus bisa membeli hasil panen mereka, Lennn,,,." Kata ayah.

Ayahku lebih suka mengajarkan aku dengan teori dan fakta secara langsung. Karena menurutnya kebanyakan orang, lebih banyak mengerti jika dijelaskan dengan ucapan dan langsung disandingkan dengan fakta lapangan, jika masih banyak pertanyaan, ayahku menyuruhku untuk menanyakan ke para petani langsung kebenarannya. Bahkan ayahku tak segan-segan ikut membantu para petani yang merasa kesulitan, saat, pertama kali mereka bekerja. Itulahlah ayahku sosok pahlawanku, cinta pertamaku, dan guru kehidupanku. Nilai kesederhanaan dan peduli terhadap sesama menjadi pondasi kuat dalam kehidupanku.

Tak terasa matahari mulai menyuruh kami tuk jangan berlama-lama di sawah karena cahaya semakin menyengat dan membuat kami, sesegera mungkin untuk pulang dari sawah. Sambil berjalan pulang ayah tak lupa menyapa para petani,

" istirahat pak, nanti dilanjutkan, isi tenaga dahulu, baru dilanjutkan". sambil senyum tersenyum, berjalan sambil memegang tangan kecilku.

" Yaaa pak Kevin, hati-hati dijalan ". Sahut para petani dengan ramah dan gembira saat ayahku menyapa mereka.

Genggaman tangan ayahku selalu aku rindukan disaat situasi sedang rapuh dan hancur seperti sekarang ini. Rinduku hanya berubah menjadi setitik air mata yang deras tak terbendung, meratapi kehidupan yang amat menyayat hatiku. Sakitnya bak kambing hidup-hidup diiris kulitnya. Perih namun entah apa yang harus aku lakukan. Semuanya hilang dengan seketika dan bersamaan, ayah dan ibuku,harus meninggalkanku seorang diri di dunia yang penuh dengan bahaya dan tipu muslihat ini seorang diri. Usiaku yang masih tujuh belas tahun ini, dimana aku butuh bimbingan dan masukan dari pahlawan ku, cinta pertamaku, guruku sudah tak ada lagi disampingku.

Kedua orang tuaku meninggalkan aku saat musibah gempa bumi yang merobohkan rumahku. Namun saat kejadian itu, aku masih di Jakarta melanjutkan studiku. Tak ada yang bersisa, rumah, usaha semuanya rata menjadi tanah.

Begitu Pula dengan kedua orang tuaku. Meninggalkanku seorang diri.

Keadaanku kacau, mendengar mereka sudah ditemukan tak bernyawa. Terlebih, melihat mereka yang penuh dengan runtuhan bangunan rumah kami. Air mataku mengalir bak air sungai yang deras. Tak satupun kata dapat keluar, kecuali sesenggukan bergumam di mulut ku. " Sabar, dek Allen." Terdengar warga-warga yang bergemuruh di sekitarku.

Namun tak seorangpun dapat menenangkan hati yang pilu, hancur dan remuk. Melihat, kedua malaikat tak bersayap nya tergeletak lemas tak bernyawa. Menjelang sore jenazah dua malaikat tak bersayap ku dimandikan dan dikafankan, tibalah dibawa untuk disalatkan secara berjamaah. Dan tak lama kemudian di kebumikan di satu liang lahat. Usai pemakaman, aku lemas, dan tak kuat menahan beban dan kenyataan yang menimpa ku dalam seketika, semua yang aku sayangi telah meninggalkanku seorang diri.

Tak lama aku terbangun, aku, tak sadar tiba-tiba air mataku keluar tanpa aku sadari, bayangan orang tua ku yang terbaring tak bernyawa, berterbangan di antara dua mataku, air mata ini tak terbendung. Aku terlarut dalam sedih, sembari kepada siapa aku harus mengadu dan berkeluh kesah, setelah ini. Aku anak semata wayang dan aku tak punya keluarga lagi, selain kedua orang tua ku.

Banyak tetangga yang peduli dan prihatin terhadapku, namun semua itu tak sepadan dengan kesedihan yang aku rasakan sekarang ini. Aku tak sabar meninggalkan desaku, ceria dan bahagia ku, berubah, menjadi neraka, kenapa aku, tak kau ambil juga tuhan?. Tanyaku dalam hatiku yang terdalam, apa tujuan mu membiarkan ku hidup seorang diri, tanpa kau sisakan sepeserpun dari kebahagian yang pernah kumiliki. Pertanyaan menyudutkan tuhan terus berlari bebas dalam hati dan pikiran ku. Atau apakah aku harus menyusulmu ayah, ibu, namun seketika bayangan kedua orang tua ku terlintas seakan memberi tanda. Jangan bodoh, dan melakukan kekonyolan disini kami sudah bahagia. Hanya lintasan bayangan sekejap itulah yang seketika membuatku tersadar untuk melanjutkan kehidupanku.

Keesokan harinya aku pergi ke rumah kepala dusun, berpamitan, seraya menitipkan semua peninggalan kedua orang tuaku, karena ayahku sudah mengasuransikan semua miliknya, untuk jaga-jaga terjadi sesuatu yang tak bisa diprediksi, seperti kejadian yang menimpa ayah dan ibu ku yang membuat mereka, tak lagi bersamaku di dunia ini.

"Pak Agus, saya titipkan ya semua urusan dengan asuransi, kepemilikan rumah saya," kata ku ke pak Agus, kepala dusunku.

" Yaa, dek Allen,"

" Pak Agus, minta tolong dijagain yaa, aku mau ke Jakarta lagi melanjutkan kuliahku," pintaku pada pak Agus

"Yaa, dek Allen, dek Allen belajar yang rajin, supaya bisa gantikan bapak, soalnya kami butuh peran seperti, almarhum bapaknya, dek Allen," kata pak Agus meningkatkan ku. Agar tak lupa untuk kembali membangun desa ku.

" Yaaa, pak Agus, Allen pasti kembali," kataku.

Namun rasanya sulit, untuk kembali ke desa yang penuh dengan kenangan bahagia, dan tersedih ini. Aku mulai berangkat diantar pak Agus ke bandara. Sesampai ku di bandara, aku berpamitan ke pak Agus.

" Hati- hati dijalan, dan baik-baik di sana mbak Allen." Kata pak Agus melambaikan tangan.

". Yaa, pak, sekali lagi aku titip, rumah pak Agus". Pintaku sebelum masuk lobby.

Aku langsung masuk ke lobby pemberangkatan sambil melambaikan tanda ke pak Agus.