Pukul dua dini hari, Alinka terusik oleh sebuah mimpi buruk. Sekujur tubuhnya bergetar, sebab ketakutan yang mengalir, manjalari tiap jengkal dirinya.
Disana ia menyaksikan, sang ayah lagi-lagi mengusirnya. Ia pergi jauh, berkelana pada safana luas dan tidak mau lagi menemui dirinya
Ada perasaan takut dan kesedihan memenuhi rongga dadanya. Membuatnya sesak, tersengal hingga sesunggukan kehabisan nafas.
"Ayah_" teriak Alinka, berhasil menyudahi mimpi buruknya,
"Sean_"
"Tolong air"
Mendapati Sean tidak ada ditempatnya, fikiran sadar Alinka berangsur-angsur membaik. Sean tidak ada, ia sedang melakukan perjalanan bisnis keluar kota.
Perlahan Alinka turun dari ranjang dan menuju kedapur. Baru saja, Alinka mengambil segelas air ditangannya. Namun gelas itu, tiba-tiba meluncur, melesat dari tangan Alinka yang lengah. Hingga pecahan kaca kini berserakan, menghadirkan perasaan aneh dan menyesakkan. "Perasaan apa ini?"
"Ayah" tiba-tiba saja ia sangat merindukan ayahnya, seolah hal buruk baru saja terjadi
Alinka tidak lagi memperdulikan keeping-keping kaca yang berserakan. Ia segera berlari menuju kamar, akan menghubungi ayahnya.
Tidak aktif
Beberapa kali, Alinka mencoba menghubungi namun gagal. Ia akan mencoba lagi, namun bukannya terhubung, malah nama Jona yang memenuhi layar ponselnya,
"Alinka Ayah_" terdengar suara Jona yang bergetar samar, dibalik sambungan telepon
"Kenapa Jona?"
"Ada apa?"
"Ayah_"
"Ayah meninggal"
Dihadapan pintu, Alinka tersentak kaget tak percaya melihat sebuah ranjang diujung ruangan, tepat disamping Jona dan Naina berdiri pilu. Diatas pembaringan, tampak sesosok tubuh yang ditutupi kain putih seluruhnya yang menjulur hingga kelantai.
Alinka berlari kearah ranjang dan berdiri kaku dipinggirnya.
Pelan-pelan tangannya yang bergetar hebat membuka kain putih dihadapannya dan_
"TIDAK" Teriak Alinka histeris, dengan tangis yang tumpah ruah. Mendapati wajah ayahnya yang terbujur kaku, bisu.
"Kumohon ayah"
"BANGUN"
"Aku salah"
"Aku minta maaf"
"Ayahh_"
"Ayolah aku minta maaf,"
"Aku mohon bangun"
"AYAH"
"Jangan menghukumku seperti ini" isak Alinka sambil menggoncangkan tubuh ayahnya yang dingin dan kaku.
Beberapa saat bergelut dengan kesedihannya, Alinka membisu. Mengepalkan tangan erat, lalu memukul kepalanya dengan keras.
"AKU BODOH"
"AKU BODOH"
"Ayah seperti ini karena aku"
"Aku yang salah"
"Aku_"
"Cukup Alinka" pinta Jona, seraya menahan tangan Alinka yang bergerak asal namun membabi buta.
"Kau harus kuat"
"Ayah hanya akan semakin sedih, jika melihatmu seperti ini" terang Jona
"Tapi Ayah_"
"Saat ini ayah pasti sudah bertemu dengan ibu"
"Bukankah itu adalah harapan terbesar ayah semasa hidupnya?"
"Tapi Jona_"
"Aku salah dan belum sempat memohon pengampunan darinya"
"Ayah telah memberikan segalanya untukku"
"Tapi aku_"
"Tidak ada satupun yang bisa kubalas, atau bahkan sekedar berterimakasih padanya" terang Alinka sesunggukan dihadapan kakaknya.
"Seorang AYAH akan memberikan apapun untuk anaknya"
"Tanpa ia meminta, apalagi mengharapkan balasan apapun" jelas Jona menenangkan
Mendengar setiap kata yang diucapkan oleh Jona, Alinka hanya bisa tertunduk pilu, membiarkan air mata tumpah membasahi pipinya yang memerah.
"Apapun yang terjadi aku akan melindungimu" bisik Jona, sambil mendekap tubuh adik semata wayangnya itu.
Sore itu, kesedihan terekam jelas dari keluarga Sanjaya. Bagaimana tidak, figur seorang ayah bagi Alinka dan Jona, sosok pimpinan hebat bagi semua bawahan dan karyawan perusahaan Sanjaya Constraction merasakan pukulan telak sebab sosok Tio Ari Sanjaya harus meregang nyawa secara mengenaskan ditangan musuh.
Kisahnya usai, terbenam didalam gundukan tanah gersang bertabur bunga-bunga segar dari para pelayat yang hadir tepat disamping makam istri kesayangannya.
Isak dan tangis pilu juga ikut mewarnai nisan sore itu. Meninggalkan kenangan, meninggalkan nama dan hanya menyisakan segudang penyesalan.
Memberi jeda akan tangisnya, Alinka menatap kosong pada meja kerja yang legang. Meja kerja ayah.
Disana terdapat beberapa buku yang ditumpuk rapi pada sudut meja. Ayahnya memang menyukai bacaan, ia bahkan mengoleksi banyak buku-buku non fiksi dan beberapa novel ternama, sebagai bacaan wajibnya, kenang Alinka.
Lama terpaut kosong, lambat-lambat jemari Alinka terulur meraih laci meja. Didalamnya, Alinka menemukan sebuah jurnal. Ada sebuah amplop lusuh yang diselipkan diantara lembar-lembar kertas yang penuh dengan tulisan tegak dengan goresan tipis diatasnya. Tulisan khas ayah.
Tidak ada benda lain yang mencurigakan didalam laci, hanya ada berkas perusahaan didalam sebuah map coklat, sebuah pigura yang menampilkan sesosok wanita dengan senyum manis sedang memangku bayi perempuan mungil berbalut dress warna warni. Lengkap dengan seorang pria kekar bertegas memegangi pundak seorang bocah dengan cengir bodoh tanpa gigi.
Jurnal bersampul hitam polos tepat berada diatas pigura.
Dengan hati-hati, Alinka menarik surat yang terselip didalamnya, mendapati amplop dengan warna putih yang kini telah memudar, tidak ada nama penerima apalagi nama pengirim pada permukaan amplop, membuatnya kian misterius.
jemari Alinka dengan cekatan mengeluarkan kertas, membuka lipatan kertas hingga indra penglihatannya segera menangkap tulisan tegak capital lengkap dengan seruan yang mengisyaratkan penekanan.
Jantung Alinka kian berderuh sedemikian kuat, begitu lembaran kini menjadi utuh,
SEBAIKNYA, KAU MELEPASKAN TANDER KALI INI
JIKA TIDAK, PUTRIMU YANG AKAN MENANGGUNG AKIBATNYA!
"Aku,"
Bingung dan penuh tanya bercampur aduk dalam benak Alinka. Saking larutnya, ia tidak menyadari kehadiran Jona dihadapan pintu yang terbuka setengahnya.
"Alinka_" Samar Jona mendekati adiknya yang terpaku pada sebuah kertas lusuh ditangannya,
"Apa yang"
"Itu_" mengetahui dengan jelas apa yang berada ditangan adiknya, Jona hanya bisa terbata-bata, tidak tau cara yang tepat untuk merespon.
"Apa ini?"
"Itu_"
"Jawab Jona," tegas Alinka penuh penekanan bersama tatap lekat mengamati kakaknya yang masih enggan membuka mulut.
"Apa ini alasan ayah"
"Mengusirku?"
Jona bisu, teringat akan janji yang telah ia buat bersama sang ayah untuk menutup rapat kebenaran demi kebaikan Alinka.
Alinka masih menunggu terang dari kakaknya, ia merasa ada sesuatu yang disembunyikan darinya. Sesuatu yang sengaja Jona tutupi selama ini
"JAWAB JONA"
"Kumohon,"
Lambat-lambat, Jona menghela nafas dalam. Mengangkat wajahnya dengan bersusah payah hingga mata mereka kini saling bertemu. Saling melempar sendu diantara pertalian darah yang kental.
"Kau benar,"
"Ayah tidak pernah berniat mengusirmu dari rumah"
"Itu adalah satu-satunya jalan yang bisa ia ambil untuk menyelamatkanmu"
"Ayah_"
"Dia sangat mencintaimu" pada akhirnya, Jona memilih mengungkap kebenarannya.
Ia tidak ingin Alinka terus menerus salah paham dan berfikir bahwa, ayah mereka memang benar mengusirnya dan tidak mencintainya lagi.
Terang Jona membuat Alinka seketika limbung. Kaki-kakinya bergetar samar membuatnya hampir saja tumbang, beruntung sudut meja dapat menopangnya berdiri gontai.
"Apa yang_" samar Alinka berujar, bersama tubuhnya yang kini bergetar seutuhnya, tangannya mengepal kuat membuat secarik kertas ditangannya ikut mengkerut lewat lekuknya yang canggung.
Terangah-angah, jantungnya seolah berhenti memompa udara, membuatnya kian sesak, hingga terus saja memukul-mukul dadanya sendiri.
"Ayah"
"Ayah" hanya sepenggal kata itu, yang terus mengalun dari katub mulut Alinka bersama tangis yang pelan-pelan tumpah.
Menyaksikan reaksi Alinka yang semakin tidak terkendali. Dengan hangat, Jona memegangi kedua bahu adiknya berusaha menguatkan. Lalu dengan penuh kasih sayang, mendekap tubuh adiknya yang masih bergetar kuat,
"Kau harus kuat,"
"Ayah"
"Apa ini_" suara Alinka kini tertahan, bersama isak yang juga berusaha ia bendung. Melepaskan pelukan Jona pelan, kini ia mengangkat tangannya yang masih mengepal kuat mencengkram kertas lusuh sebelumnya,
"Ada hubungannya dengan kematian ayah?"
"Kumohon,"
"Aku perlu tau_"
Jona yang kian bisu, membuat Alinka semakin berdecik ngeri. Seberapa banyak lagi kebohongan yang ia tidak tau, apa yang sebenarnya terjadi.
"Kau benar_"
"Ayah dibunuh"
"Mereka membunuhnya"
Mata Alinka seketika membulat penuh, dengan jari-jari tangan yang berangsur-angsur terkulai membuat secarik kertas ditangannya melandai pelan, hingga kini menyentuh lantai.
"Apa yang_"
"Kau"
"Mereka"
"Siapa?"
"Keluarga WINATA" balas Jona lewat kegetiran yang tidak bisa ia sembunyikan.
***
Yok kenalan lebih jauh sama authornya☻
Ig :ayu_tenry
Tik tok :ayu_tenry