Chereads / Big mistage / Chapter 5 - 5

Chapter 5 - 5

Berbalut stelan jas berwarna navy dipadu dengan blus sutra yang senada Alinka ditemani Yogi sekertarisnya telah berada disebuah hotel bintang lima, untuk membicarakan tander bersama seseorang dari pihak pemerintah.

Ia setuju untuk ikut ambil bagian dalam perusahaan, hari ini adalah hari pertama sekaligus proyek pertamanya bekerja.

"Alin_ka," sapa pria dengan suara berat nan dalam, membuat Alinka beranjak dari tempatnya dan berniat balik menyapa.

"Paman E_di" balas Alinka, sedikit tidak percaya. Mengetahui pihak pemerintah yang akan ditemuinya hari ini adalah paman Edi

"Kau rupanya,"

"Arka banyak bicara tentangmu"

"Tentu paman,"

"Ar_ka,"

"Apa kabar sekarang?" Tanya Alinka, yang memang belum sempat menemui atau bahkan mengabari Arka jika ia telah kembali ke Indonesia.

"Tidak banyak berubah" singkat paman,

Mengakhiri basa-basi singkat dan sederhana, Edi kini duduk pada sebuah sofa yang berseberangan dimana Alinka berada. Bersiap memulai obrolan serius, yang memang menjadi tujuan dari pertemuan mereka.

"Bukannya tidak mempercayai Sanjaya Contraction,"

"Tapi, karena proyek ini berskala nasional, jadi kami akan mempercayakan proyek pembangunan jalan tol pada dua perusahaan konstruksi sekaligus"

"Hemm"

"Tidak masalah paman,"

"Selama perusahaan kami bisa ikut ambil bagian dalam proyek ini" balas Alinka sedikit ragu, karena sedari awal ia memang tidak tau kalau proyek ini adalah bentuk kerja sama dengan perusahaan lain.

Setelah lama berbincang-bincang, Alinka menyegarkan paginya lewat secangkir kopi yang berada diatas meja. Lalu dengan sabar, menunggu rekan bisnis yang katanya akan segera bergabung.

"Selamat siang,"

"Maaf saya terlambat"

"Oh Tuhan," menyaksikan pria dihadapannya bertegas dibalik pintu, seketika Alinka langsung mengenalinya,

"SE_AN"

"Alin_ka" ujar Sean samar, hingga hampir tidak terdengar oleh siapapun. Mata Sean kian berkaca, ia menatap keseluruhan dengan intens. Seolah masih tidak percaya, menyaksikan wanita yang telah ia cari selama 7 tahun terakhir, berada tepat dihadapannya.

Mendapati kehadiran Sean, Alinka seketika kehabisan kata, tenggorokannya serak, berat seolah tersumbat sesuatu. Bersama fikiran yang mulai kacau, nafas yang saling mengejar panik, bersama tangan yang bergetar samar. Seolah mengisyaratkan situasi yang mulai tidak baik-baik saja.

Tujuh tahun hampir tidak merubah pria itu, stelan toxsedo, sepatu yang harus selalu bersih mengkilat, dengan potongan rambut pendek dipangkas rapi adalah gaya formal seorang Sean, kenang Alinka, bersama tatap lekat yang terus menelisik dalam.

"Dia hanya terlihat lebih dewasa saat ini, tubuhnya kekar, wajah yang tegas, bersama gurat halus yang kembali mempertegas rautnya. Matanya yang berwarna keemasan pun masih berpadu dengan lesung pipitnya yang sama"

"Kalian saling mengenal?" samar Edi menghentikan ingatan Alinka yang semakin berkelana jauh

Sean baru saja bersiap mengangkat katup mulutnya, namun segera terpotong akan sikap Alinka yang dingin.

"TIDAK" balasnya singkat, seraya membuang muka enggan berlama-lama menyaksikan pria dihadapannya.

Rasa aneh dan penuh tanya memenuhi benak Sean. Ia ingin segera menuntut jawab dari wanita yang meninggalkannya itu. Wanita yang pergi dan hanya meninggalkan seuntai surat. Wanita itu_

"Bukankah dia Alinka?"

"Tapi kenapa dia tidak menenali Sean" dumel Devan ikut bingung, menyaksikan wanita yang selama ini ia cari bagai buron, kini hadir seolah tidak pernah terjadi apa-apa

"Alinka perkenalkan, ini Sean,"

"Sean ini Alinka" terang Edi

"Senang berkenalan dengan anda Mr. Sean" sapa Alinka dingin, seolah mereka memang baru bertemu.

Sean hanya mengernyit ragu, seraya menahan berseru "Kau_"

Sambil melongo tidak percaya, Sean hanya bisa mengikuti skenario yang coba Alinka ciptakan, seraya terus menatapnya sendu. Pembicaraan proyek pun tak ayal menjadi prioritas. Sean telah menyerahkan semua tanggung jawab pada Devan, seraya tetap intens memperhatikan wanita yang berada tepat dihadapannya itu.

Terus mengamatai Alinka dengan curiga, Sean seketika mengernyit ragu mengamati perubahan pada diri Alinka. Ia kini memanjangkan rambutnya, membuatnya lebih feminim, jauh dari kesan bar-bar dan periang lewat potongan pendek berwarna coklat yang selalu ia biarkan tergerai asal.

"Alinka_"

"Kenapa kau pergi?"

"Kenapa kau meninggalkanku?" Sean membatin, tanpa teralih sedikitpun.

Beberapa kali pandangan mereka saling bertemu. Menyisakan jejak canggung, membuat Alinka kian risih dan ingin rasanya segera berlalu meninggalkan rasa, meninggalkan asa, ingin menghilang saja.

"Saya harap kita semua bisa bekerja sama dengan baik" terang Edi, mengakhiri rapat dan hanya beranjak pergi.

"Bisakah kalian meninggalkan kami," ujar Sean yang tiba-tiba bersua dingin. Mengakhiri jejak canggung antara tiga pria dewasa dan seorang wanita yang terus saja bungkam.

"TIDAK" tegas Alinka, seraya menatap tajam Yogi,

"Kita harus bicara"

"Untuk apa?"

"Tidak ada lagi yang harus kita bicarakan" bantah Alinka cepat, lewat suara yang ditinggikan

"Kau menghilang Selama 7 tahun,"

"And you say,"

"Tidak ada yang harus dibicarakan?"

Alinka menelan ludah, namun tidak berniat menjawab sama sekali,

"Tidak akan lama" tambah Sean, bersama isyarat tajam yang ia layangkan pada Devan.

"Bisakah kita_" samar Devan mengetahui dengan jelas isi kepala dari seorang Sean

"Aku akan menunggu diluar," terang Yogi memilih pergi, meninggalkan Alinka yang semakin diselimuti ketakutan aneh.

Serangan panik mulai menerjang, mendapati diri hanya berdua bersama seorang pria yang paling ia benci, pria yang telah membuatnya jatuh cinta lalu menipunya lewat skenario yang paling menyedihkan.

Sosok pria dihadapannya kini berdiri dengan tegas, menimbulkan bayangan yang panjang dan gelap. Ada sensasi takut yang mencekam, membuat Alinka semakin tertunduk pilu bersama bisu yang kentara.

"Kau kemana saja?"

Bersama jantung yang menyentak keras. Seketika Alinka merasa mati rasa, tidak tau bagaimana cara yang tepat untuk merespon. Iapun kembali memilih bisu, membatu, tidak membiarkan seuntai katapun keluar dari katup mulutnya.

Melihat aksi Alinka yang kian acuh, Sean mengayunkan tangannya yang kuat dan kekar, segera menarik dan mendekap tubuh Alinka erat sekali, enggan untuk berpisah.

"Jangan pergi lagi"

"Komohon,"

"Aku benar-benar tidak bisa hidup tanpamu" isak Sean mengiba saat memeluk Alinka,

Aroma mint kini menyeruak jelas, Membalut sekujur tubuh pria yang kini mendekapnya kuat. Aroma yang dulunya akrab dan sangat ia rindukan. Ada rasa nyaman dan aman didalam sana, membuatnya ingin berlama-lama. Meski begitu, romantisme yang tercipta segera buyar ketika Alinka kembali sadar, hingga mendorong tubuh Sean menjauhinya.

"Don't touch me"

"Aku sudah melupakanmu"

"Sebaiknya kau juga begitu" tegas Alinka dingin, lewat kata yang akhirnya berhasil berlabuh.

"Tatap mataku dan jelaskan yang sebenarnya"

"Apa yang sebenarnya terjadi?"

"Kenapa kau pergi? pinta Sean dengan suara yang bergetar sambil menghela nafas berkali-kali.

Bulu mata yang lebat dan hitam, perlahan terangkat.

Untuk sepersekian detik, mata yang berkilat keemasan itu beradu dengan mata kecoklatan yang tampak tegas dan sedikit dingin.

"Perasaanku telah berubah,"

"Semuanya sudah berubah" ujar Alinka penuh penekanan seraya menatap Sean tajam sekali.

"WHAT?" Sean tertawa kecil. Tawa yang tidak bisa percaya dan begitu sulit untuk mengerti, masih dengan mata yang berkaca sendu.

"Tapi kenapa?"

"Apa yang terjadi?"

"Kau mencintaiku bukan?" tanya Sean bersama suara yang ikut ditinggikan

"Cukup"

"Sebaiknya kita kembali sekarang" Tangis Alinka hampir-hampir tumpah. Beruntung Yogi segera hadir dan menyelamatkannya tepat waktu. Ia pun menanggapi Yogi Lewat anggukan samar mengiyakan.

"TUNGGU"

"Kita harus bicara" maki Sean

Tetap acuh, Alinka tetap beranjak pergi, meninggalkan Sean tanpa kejelasan. Persis seperti 7 tahun yang lalu.