Rumah bergaya mediterania yang didominasi warna krem, berdiri kokoh diatas tanah lapang yang rimbun bergandeng dengan pepohonan.
Menghadirkan aroma sejuk yang kembali menghangatkan ingatan masa lalu.
Alinka kabur dari rumah, meninggalkan Jona, meninggalkan Sean, meninggalkan keluarganya. Ia terlalu pengecut untuk menghadapi semuanya, alih-alih bertahan ia ciut dihadapan takdir dan memilih pergi kesatu-satunya tempat yang bisa menerimanya.
"Rumah ibu"
Hari ini, lagi-lagi Alinka menemukan sosok Sean dibalik kertas Koran. Koran itu dengan apik menjabarkan bagaimana sosok bisnismen yang masih muda dan berbakat berhasil membangun perusahaan raksasa seperti Winata Constraction. Artikel itu bahkan menyebutkan bahwa sosoknya kini bersiap memperluas jaringan bisnis dikancah internasional. Sesuatu yang sangat ayah impikan dahulu.
Tidak ingin melihat lebih jauh, Alinka memalingkan wajah keluar jendala. Menyaksikan lambat-lambat mentari pagi mulai meninggi. Menghangatkan kisah yang mulai muram dimakan usia.
"Mommy?" ujar seorang pria kecil yang seketika membuyarkan lamunan Alinka
"Ya sayang,"
"What are you doing?" tanya Alinka menyaksikan pria kecil dihadapannya begitu sibuk dengan berbagai tubrukan warna ditangannya
"Hemm apa Timmy kecil mengabaikan mommy?"
"Tunggu sebentar mommy"
"Sedikit lagi"
Menyaksikan putra kecilnya begitu sibuk tidak mau diganggu. Alinka tidak lagi berniat menngganggu dan hanya menunggunya dengan sabar.
"Nah sekarang siap" Timmy berbinar, seraya menyerahkan sebuah gambar pada Alinka
"Ini apa sayang?"
"Keluarga"
Mulut Alinka terkatub dalam-dalam. Untuk sesaat, perasaan Alinka semakin tidak karuan. Menyaksikan apa yang telah anaknya gambar dengan hati-hati.
Tampak tiga orang yang saling bergandengan tangan. Mereka adalah, Alinka, Tim dan_
Goret kasar yang berhasil Tim bubuhkan benar-benar menyakiti Alinka. ia merasa ketakutan dan juga dipenuhi rasa bersalah. Entah untuk keluarganya, untuk Sean, atau mungkin untuk putra kecilnya.
"Kenapa mommy?"
"Tidak sayang, mommy hanya sedikit bingung"
"Bagaimana pria kecil dihadapan mommy, bisa begitu berbakat?" goda Alinka, berusaha menepis jauh-jauh perasaannya sendiri.
"Siapa dulu dong, anak mommy"
Bell rumah tiba-tiba berbunyi membuat Alinka segera berlari kecil kearah pintu dan mengintip dibalik lubang pengintai. Tampak Jona dan Naina berdiri disana, dengan lugas Alinka membuka pintu rumah, bersama senyumnya yang kian merekah.
"Alinka_" ujar Jona seraya memperhatikan dengan lekat wajah adiknya itu.
"Ayo"
"Ayo masuk"
"Harusnya kalian mengabariku sebelum datang kesini"
"Supaya kau bisa kabur lagi?" goda Naina,
"Ayolah kak"
Mendengar kegaduhan dari ruang tamu, Tim junior segera berlari lincah menghampiri Alinka
"Mommy_" ujar Tim kecil dibalik punggung Alinka
"Dia_" Naina berbinar,
"Tim, ayo beri salam mereka paman Jona dan bibi Naina"
"Halo paman"
"Halo bibi, namaku Timmy, Usiaku 6 tahun"
"Aku pria kecil yang baik, rajin gosok gigi dan sangat menyayangi mommy" sapa Tim polos.
Jona masih bisu, mengamati dengan curiga lalu perlahan-lahan melorotkan tubuh kekarnya dihadapan Timmy. Ia memegang kedua pundak Tim dengan tegas, sampai anak itu berdiri sejajar dengannya, lalu mengamati Tim dengan intens.
"Dia anakmu"
"Dia terlihat sama persis denganmu"
"Mata coklat yang sama, rambut kecoklatan yang lembut, hingga senyum yang persis sama, menawan" ujar Jona kemudian,
"Tentu saja paman"
"Aku anak mommy"
"Pria yang akan selalu melindungi mommy" potong Tim berbinar bersama seutas senyum polosnya
"Sebaiknya kau menepati ucapanmu itu pria kecil," ujar Jona yang meski terdengar mengintimidasi, namun sangat tulus.
Mata Alinka berbinar, menyaksikan Jona dan Tim yang tampak akrab. Menyaksikan Jona yang mulai bisa menerima Tim didalam kehidupannya. Menyaksikan Tim sangat menyukai Jona dan Naina.
"Alinka kita harus bicara" ujar Jona bersama raut yang kini berubah serius,
Mendengar hal itu, Naina ingin memberi ruang antara Alinka dan Jona berbicara empat mata, berbicara dari hati kehati "Bisakah aku melihat kamarmu?"
Tim mengangguk riang, sambil buru-buru menarik tangan Naina akrab, lalu menuntunnya kelantai atas, menuju kamarnya
"Tentu, Ayo cepat bibi, aku akan menunjukkan koleksi mainanku"
Pertalian darah mengentalkan suasana saat itu. Jona yang terkesan tegas dan lugaspun tidak mampu menyembunyikan cahaya yang berbinar diantara kedua bola matanya menyaksikan adik semata wayangnya kini tepat dihadapannya.
"Aku tidak pernah menyangka"
"Tempat yang menjadi pelarianmu adalah rumah ini"
"Harusnya aku bisa menemukanmu lebih cepat" ujar Jona memulai obrolan
"Come on Jona"
"Mungkin memang harusnya seperti ini"
"Aku masih terlalu pengecut untuk kembali"
"Kau tau,"
"Sekarang perusahaan sedang tidak baik-baik saja", tambah Jona berubah serius sembari memperbaiki posisi duduknya.
"Apa yang kau harapkan dariku?"
"Seperti halnya harapan ayah"
"Aku ingin kau bergabung dan ambil bagian dalam perusahaan"
"Tapi Jona, bagaimana dengan Sean?"
"Bagaimana jika dia berhasil menemukanku" terang Alinka berusaha menjelaskan situasinya
"Kau masih saja memikirkan berengsek itu?"
"Tidakkah kau mengerti"
"Bagaimana keluarga kita terpuruk?"
"Bagaimana ayah meninggal"
"Bagaimana kau menghabiskan hari-hari yang sulit seorang diri"
"Itu semua karena berengsek itu" ujar Jona lewat nada yang ditinggikan.
"Cukup Jona"
"Sudah kukatakan, tidak ada lagi rasa yang tersisa untuknya"
"Kecuali kebencian" balas Alinka dengan suara yang tidak kalah meninggi
"Lalu apa yang membuatmu takut"
"Apa yang membuatmu selalu bersembunyi?" desak Jona
"Karena Tim" tegas Alinka bersama matanya yang kian berkaca-kaca
"Aku takut Sean akan mengetahui tentang Tim"
"Aku takut, Tim"
"Tim anakmu, dan tidak ada seorangpun yang bisa mengubah hal itu"
"Termasuk Sean"
"Urusan Tim, aku yang akan menanganinya!"
"Tapi bagaimana?"
"Aku memiliki caraku sendiri"
"Trust me"
"Beri aku sedikit waktu Jona, aku akan memikirkannya" potong Alinka lugas mengakhiri kompromi yang akan membawanya kembali ketempat yang paling ia sesali
***
Yok kenalan lebih jauh sama authornya ☻
Ig :ayu_tenry
Tik tok :ayu_tenry