"Bu….." Jesica berteriak menghampiri Ibunya dan adiknya yang berdiri di bangku tamu. Jesica dengan baju toga memeluk ibunya.
"Bu..., aku lulusan terbaik, Bu!" seru Jesica dengan tatapan yang nanar.
"Iya, Nduk." Dewi memeluk anaknya dengan erat.
"Ayo kita pulang," ajak Dewi.
Mereka akhirnya pulang setelah acara wisuda telah usai. Jesica dengan enggan mengatakan atas tawaran yang diberikan oleh beberapa perusahaan kepadanya. Terlebih Dewi telah memasak banyak menu unuk merayakan keberhasilan jesica. Mereka dari keluarga sedehana sehingga tidak memiliki banyak uang lebih untuk merayakan di sebuah restoran. Jesica kuliah dengan beasiswa. Dewi yang hanya menjadi buruh cuci tidak akan mampu membiayai kedua anaknya. Sedangkan Bimo yang masih duduk di bangku SMA membantu ibunya dengan bekerja paruh waktu di sebuah cafe di malam hari. Café tersebut milik orang tua temannya mereka mengijinkan Bimo bekerja paruh waktu karena tahu keluarga bimo seperti apa setelah kematian ayahnya.
"Bu," panggil Jesica untuk memulai perckapan dengan ibunya yang telah selesai makan bersama.
"Ya!" sahut Dewi dengan menatap Jesica dengan penuh kasih sayang.
"Bu, kalau Jesica bekerja jauh bagaimana?" tanya Jesica.
"Nak, Ibu nggak akan melarang kamu mencapai cita-cita kamu," jawab Dewi dengan lembut.
"Ibu mau ikut sama jesica?" tanya Jesica dengan nada bergetar.
"Nggak, nduk. Biarkan ibu disini menemani kenangan bapakmu," jawab Dewi dengan merangkul anaknya. Tangis jesica pecah saat tangan lembut Dewi mengusap kepalanya.
"Lagian Bimo masih sekolah, Nduk." Imbuh Dewi.
"Kalau Ibu nggak ikut, Jesi sama siapa disana?" tanya Jesica dalam tangisnya.
"emangnya mau kerja dimana, Mbak?" tanya Bimo.
"Mbak dapat tawaran bekerja dari beberapa perusahaan, dan yang menarik hanya yang di Jakarta," jawab Jesica.
"Disurabaya nggak ada?" tanya Bimo.
"Ada, Dek. Tapi gajinya nggak sebanyak yang di Jakarta," jelas Jesica.
"Biaya hidup pasti juga mahal, Mbak." Bimo berusaha melarang kakaknya pergi, tapi dia tidak ingin terlihat terang-terangan.
"Mbak sudah memikirkannya, Dek. Di sana ada tempat tinggal untuk pegawai baru," ucap Jesica.
"Ya sudah, kalau sudah yakin mau bagaimana," kata Bimo dan segara pergi kekamarnya.
Bimo diam-diam menangis karena dia tidak ingin kakaknya pergi. Meskipun mereka tidak memiliki banyak waktu berbicara dengan kakaknya tapi Bimo sangat sanyang dengan Jesica. Terlebih saat dia masih duduk di bangku SMP dimana ayahnya meninggal, sedangkan Jesica masih duduk di bangku SMA kelas dua. Jesica bekerja membantu ibunya untuk biaya sekolahnya dan adiknya. Bahkan dia mengalah mengantar adiknya terlebih dahulu sebelum berangkat kesekolahnya. Dan dia rela menjemput adiknya di saat dia belum selesai sekolah. Setelah selesai dia akan membantu ibunya mencuci banyak baju para tetangga. Bahkan Jesica membantu salah satu saudaranya yang membuat kue-kue di pasar untuk menambah biaya sehari-hari dan biaya sekolahnya. Hal itulah yang membuat Bimo tidak mau melihat kakaknya hidup sendiri di luar kota.
Tok… tok…
"Bim…," panggil Jesica seraya mengetuk pintu kamar adiknya itu. "Mbak boleh masuk?" tanya Jesica. Namun, tidak ada jawaban dari adiknya yang ada di dalam kamar. Jesica tetap masuk kedalam kamar adiknya dan meliha adiknya meringkuk di atas Kasur dengan bertutupkan bantal di atas kepalanya.
"Bim," panggil Jesica lagi dengan lembut dan menggoyahkan tubuh adiknya dengan pelan.
"Hiks," suara isak tangi Bimo terdengar oleh Jesica dengan pelan.
"Bim, Mbak lulus kok malah sedih," kata Jesica.
"Bukan bagitu, Mbak. Bimo nggak mau Mbak sendiri di Jakarta," ucap bimo dengan lirih.
"Bimo, Mbak di sana kerja. Biar kamu sama ibu nggak kekurangan seperti ini. Kamu nggak kasihan sama ibu yang kerja terus?" tanya Jesica.
Bimo menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Biar Bimo saja yang bekerja," kata Bimo.
"Bukannya mau meremehkan kamu, Bim. Tapi, kamu masih sekolah. Kamu seorang laki-laki, kamu harus sekolah yang tinggi agar tidak bisa mendapatkan pekerjaan yang baik nantinya," sahut Jesica.
Bimo tidak punya alasan yang kuat untuk melarang kakak perempuannya bekerja di Jakarta. Jesica dengan berat hati menghubungi kartu nama yang di berikan oleh salah satu tim yang berasal dari perusahaan BILLYON GROUP. Jesica mengirimkan pesan persetujuan kepada nomor tersebut.
Beberapa hari kemudian, Jesica mendapatkan balasan dengan menanyakan kapan Jesica akan berangkat. Mereka akan memberikan akomodasi transportasi saat jesica mengatakan kapan ia kan berangkat. Jesica meminta waktu satu minggu lagi untuk menghabiskan waktu bersama adik dan ibunya. Bukan hal yang mudah bagi jesica meninggalkan mereka meskipun untuk bekerja. Eko Susilo, nama yang ada di kartu nama tersebut menyetujui permintaam Jesica. Pihak perusahaanpun tidak kalah pintar, mereka tidak mau Jesica membatalkan begitu saja, Eko segera memesan tiket pesawat dan mengirimnya kepada Jesica. Dengan begitu Jesica tidak akan membatalkan tawaran tersebut setelah satu minggu.
Jesica membantu ibunya menyuci dan membuat kue setiap hari selama satu minggu, pekerjaan yang akan dia lupakan setelah dia pergi ke Jakarta. Niat jesica semakin bulat saat melihat ibunya tidur dengan larut saat membuat pesanan kue. Meskipun salah satu saudaranya membuat kue juga, mereka tidak keberatan jika dewi memiliki usaha yang sama. Bagi mereka rejeki tidak ada yang tertukar. Jesica sedikit tenang meninggalkan ibunya besama Bimo, karena di sekitar rumah masih banyak saudara. Sehingga jika ada sesuatu dengan ibunya ataupun Bimo, jesica bisa meminta batuan saudaranya yang ada di sekitar rumah.
Sebelum pergi, Jesica memberitahu Bimo langganan cuci baju hingga tempat bahan kue yang biasanya menjadi langganan ibunya. Jesica akan tenang meninggalakn ibunya bersama Bimo saat dia berhasil mengingat semuanya dalam satu minggu ini. Terlebih Bimo sudah lebih baik mengendarai motornya.
"Bim, kamu harus tahu semua tempat ini ya," kata Jesica kepada Bimo yang duduk di jok boncengan.
"Iya, Mbak," sahut Bimo dengan lembut.
Sore itu mereka berdua sengaja berkeliling, untuk menghabiskan waktu bersama. Bimo mulai menunjukkan perhatian dan manjanya kepada kakaknya.
"Mbak. Aku mau beli itu," kata Bimo saat melihat tukang bakso langganannya.
"Ayo," sahut Jesica yang menurutinya dengan pernuh sabar.
"Aku saja yang bayar," pungkas Bimo saat melihat kakaknya hendai mengeluarkan uang untuk membayar bakso.
"Haha… emang punya duit?" tanya jesica dengan nada meledek dan terkekeh.
"Punya…," jawab Bimo dengan percaya diri. "Nih!" seru Bimo seraya menunjukkan satu lembar uang.
Jesica melarang adiknya untuk membayar. Dia berikan uang terlebih dahulu kepada penjual bakso tersebut.
"Loh!"
"Ssssttt…." Desis Jesica seraya menaruh jari telunjuknya di bibir menandakan agar Bimo diam. Setelah selesai bertransaksi Jesica dan Bimo pulang dengan membawa tiga bungkus bakso.
Sesampainya dirumah, Bimo dan Jesica menagmbik mangkuk untuk wadah bakso yang mereka beli dan menyajikannya kepada Dewi yang sedang duduk di teras. Hal sepele yang sangat harmonis. Dengan hidangan sedehana saja mereka sangat bahagia asalkan mereka bisa makan bersama. Hal yang akan di rindukan oleh Jesica jika dia mulai bekerja di Jakarta.