Chereads / Menikah Sembilan Bulan / Chapter 9 - Sopir mata keranjang.

Chapter 9 - Sopir mata keranjang.

Suara alarm Jesica berdering. Jesica segera meraih ponselnya. Ia mengira ada didalam kamarnya.ia terbangun ketika mendapati lengan kekar ada di pinggangnya. Bukannya mendapatkan ponsel dia malah mendapatkan tangan yang melingkah di pinggangnya. "Ha!" Jsica yang tadinya masih mengantuk langsung membuka matanya lebar-lebar dan melihat lengan siapa yang memeluknya.

"Pak… pak Billy," gumam Jesica dengan lirih. Tidak ada yang berubah dengan pakaiannya. Hanya saja pakaiannya tersikap dan kancing bajunya terbuka satu. Pakaian miik Billy juga tidak terlepas dia masihmenggunkan kemeja putih transparan itu. Namun, kancing bajunya juga terkoyak beberapa.

"Ah.. mungkin karena posisi tidur yang liar makanya sampai kayak gini," batin Jesica untuk menenangkan dirinya.

"Tidak terjadi sesuatu, tidak terjadi sesuatu." Lagi-lagi Jesica mengsugesti dirinya sendiri agar tidak terlalu panik. Dengan tergesa-gesa Jesica mengemasi tas dan ponselnya sebelum bos mudanya itu terbangun. Meskipun sedikit pusing Jesica tidak peduli. Pegawai hotel yang masih beberapa saja ada di lobby menatap aneh pada Jesica. Jesica menutupi wajahnya dengan tasnya. Dengan langkah yang cepat ia mencari taxi yang sedang mangkal di depan hotel Sky itu.

"Pak tolong antar saya ke jalan gedung tua," kata Jesica dengan tergesa-gesa.

"Baik," sahut sopir taxi yang masih terbilang muda itu. Dia terlihat beberapa kali menatap nakal kearah jesica yang duduk di belakangnya melalui spion dalam mobil itu. Jesica merasa rishi dengan itu. Tapi tidak ada pilihan lain lagi. Selama perjalanan Jesica menghindarai kontak mata antara sopir taxi itu.

Sopir itu sudah biasa mengatarkan wanita yang pulang hampir fajar. Dia mengira Jesica juga wanita seperti itu.

"Pak! Anda bisa fokus menyetir saja tidak?" bentak Jesica yang mulai tidak tahan dengan sopir itu.

"Jangan sok jual mahal," gumam lirih pria itu.

"Apa maksudnya?"

"Sok nggak tahu, pekerjaan lo sudah bisa menjelaskan." Mendengar itu Jesica mengepalkan tangannya. Tapi dia tidak bisa memberikan bukti ontentik jika berdebat dengan sopir itu. Karena memang posisinya dia menggunkan baju seperti itu dan pulang di pagi hari. Terlebih masih ada bau alkohol dalam tubuh Jesica.

Tidak lama Jesica sampai di depan asramanya. Belum ada tanda-tanda penghuni asrama itu bangun. Jesica segera masuk kedalam kamar sebelum ada yang melihatnya. "Huft…" Jesica menghela napas panjang setelah samai di dalam kamarnya.

Beruntungnya hari ini hari minggu, sehingga Jesica tidak harus masuk ke kantor, dia menggunkan hari ini untuk membersihkan diriri dan menyuci baju yang dia pakai semalam. Setelah selesai melakukan itu Jesica tidur. Seharian dai tidak melakukan apapun setelah mencuci dan mandi.

Mila mengajak Jesica untuk makan, tapi Jesica menolaknya. Mila dan Ramdhan semlaam tidak pulang bersama. Mila mengira Jesica pulang bersama Ramdhan. Begitu pula sebaliknya, Ramdhan mengira Jesica pulang dengan Mila. Mareka tidak tahu apa yang dialami Jesica semalam.

***

"Bil!" panggil Robin seraya menggoyangkan tubuh Billy yang masih terbaring lelap di atas kasur.

"Billy," ulang Robin.

"Apa sih!" sahut Billy dengan menggeliat di bawah selimut tebal berwarna putih itu.

"Mana Jesica?" tanya Robin.

"Pulanglah. Ngapain lo tanyain dia sama gue," jawab Billy.

Robin mengeryitkan dahinya. Robin tidak melanjutkan percakapan tentang malam kemarin. Billy segera menyeruput kopi yang ada di mejanya. Dia benar-benar tidak ingat tentang semalam. Dia hanya ingat terakhir dia menyanyai Jesica perihal presentasi yang di lakukan beberapa bulan yang lalu, hingga membawa perusahaannya menjadi sepeti ini.

Setelah membersihakan diri, Billy segera melakukan chek out. Ia melanjutkan harinya seperti tidak terjadi apa-apa. Jesica yang di hantui rasa takut akan kejadian semalam, Billy alah melanjutkan harinya bersama teman-temannya anak dari kolongmerat lainnya.

Malam telah tiba, karena siang tidur telalu lama, Jesica tidak bisa tidur malam ini. Saat sedang melamun di depan kamarnya, dia teringat kejadian malam itu. "Ish! Muncul mulu dalam oatakku," usir Jesica terhadap bayangan malam itu.

Trrrt …. Tttrttt..

Ponsel Jesica bergetar di sampingnya, nampak sebuah nomor dua belas digit yang belum dia simpan muncul di layar ponselnya. Dengan ragu dia menjawab panggilan itu.

"hallo!"

"Jes!" panggil pria yang ada di ujung telepon itu.

"Iya, ini siapa?" tanya Jesica karena dia merasa tidak mengenal nomor tersebut, tapi suara itu seakan tidak asing.

"Saya Robin." Mendengar nama itu Jesica terbelalak.

"Ada pa ya, Pak?" tanya Jesica.

"Tidak, sya hanya memastikan ini nomor kamu saja," jawab robin. Meskipun sedikit janggal Jesica mengiyakan saja. Tidak mungkin sekelas Robin mau mengurusi peawai kecil seperti dia.

"Ya sudah, kalau begitu. Maaf sudah mengganggu istirahatmu," kata Robin sebagai penutup panggilannya.

Tut …. Tut…

Jesica mengerutkan keningnya seraya menatap ponselnya yang menunjukkan wallpaper foto dirinya bersama ibu dan adiknya. Hal yang sama di lakukan oleh Robin. Dia mengerutkan keningnya saat panggilannya sudah usai. Robin seakan menahan pil dalam tenggorokannya yang enggan dia telan dan dia muntahkan. Robin ingin menyakan sesuatu kepada Jesica. Tapi takut akan menyinggung gadis itu.

"Sudahlah, cari waktu yag tepat saja," gumam Robin.

Robin tidak memikirka hal itu terlalu dalam lagi. Dia akan menyakan secara langsung esok hari saat bertemu di kantor. Sedangkan Jesica bingung memikirkan alasan apa yang harus di katakana kepada temannya perihal malam kemarin, Jesica tidak tahu aka nada yang tanya atau tidak, tapi harus menyiapkan alsan yang tepat jika ternyata ada yang melihatnya malam itu. Jesica tidak mau menggiring opini pada atasannya dan dirinya. Apapun masalahnya pasti Jesicalah yang akan di pandang buruk.

Karena terlalu memikirkan masalah itu, Jesicamenjadibtidur hingga dini hari. Sehingga dia bangun sedikit telat. Mia sudah menunggu didepan kamarnya dengan motor matic yang biasa ia gunakan. "Jes!! Lama amat!" teriak Mila.

"Iya-iya," sahut Jesicadari dalam kamarnya. Jesica dengan jalan terpincang-pincang seraya menggunakan sepatunya.

"Hih! Lama amat. Tidur jam berapa sih lo?" tanya Mila.

"Maaf-maaf,' sahut Jesica.

"Udah, yok."

Mila dan Jesica menuju kantor dengan terburu-buru. Mereka akan dianggap absen jika telat mengisi absen yang di gunakan dengan sidik jari masing-masing. Jesica semakin merasa tidak karuan. Selain mikirin masalah dengan Billy, kini Jesica merasa tidak enak dengan Mila karena dia harus ikut buru-buru karena dia.

"Mil, maaf ya kamu harus ngebut gini gara-gara aku," kata Jesica entah sudah berapa kali dia meminta maaf karena hal ini.

"Sudahlah, lo santai aja. Kita nggak bakal telat kok," sahut Mila.

"Tapi-"

"Tapi lo nggak enak!" potong Mila.

"Iya," sahut Jesica.

"Muntahin klo nggak enak," kata Mila.

"Hih, jangan gitu." Melihat Mila sangat tenang membuat Jesica merasa kalau Mila hanya pura-pura tenang agar dirinya tidak canggung lagi.

Setelah meleati ramainya jalanan pagi, akhirrnya Jesica dan Mila sampai di halaman kantor tempat mereka bekerja. Dengan cepat Jesica dan Mila melakukan absen agar tidak di anggap tidak masuk. Terlihat wajah mereka lega setelah berhasil absen.

"Tuhkan, apa gue bilang. Nggak telat kan," kata Mila dengan sombongnya.

"Tapi naik motornya kayak mau ke basecamenya malaikat maut," sahut Jesica.

Mereka berdua terkekeh dan berjalan bersama menuju ruangan yag sama. Jesica sebisa mungkin melupakan masalah yang mengganggu pikirannya semalam. Dia berharap tidak ada yang menanyakan hal itu.