Semenjak hari itu Jesica dn Ramdhan semakin dekat. Seperti dengan Mila. Putri yang asli dari Jakarta tidak memiliki banyak waktu untuk pergi bersama, sehingg mereka bertemu hanya saat bekerja.
Tak terasa Jesica telah bekerja di perushaan itu hampir satu bulan. Jesica menepati janjinya kepada Ramdhan. Mereka menghabisakn waktu hanya berdua karena Mila pergi bersama pacarnya sendiri. Sedangkan Ramdhan yang mengaku jomblo hanya pergi bersama Jesica.
"Emang di Jakarta harus ya pakai Bahasa elo gue?" tanya Jesica untuk memulai pembicaraan.
"Enggak, Dulu Mila juga nggak kok, dia juga medok banget. Tapi karena lingkungan jadi dia ikut logat Jakarta sekarang," jawab Ramdhan.
"Aku masih suka malu kalau ngomong di kantor, mereka menganggap aku medok banget," ucap Jesica.
"Nggak perlu malu. Setiap daerah juga punya bahasanya sendiri."
"Silahkan," sela pelayan lesehan yang mengantar makanan yang dipesan oleh mereka berdua.
"Terima kasih," sahut Jesica dengan sopan.Ramdhan menatap bangga Jesica yanag duduk di depannyya itu.
Mereka mengehentikan obrolan mereka dan segera menyantap makanan yang ada di depan mereka. Sudah menjadi langganan Ramdhan yang mencuri pandang kepada gadis itu. Jesica selalu merasakanya, Hanya saja ia tak mengangkat matanya.
***
Pagi ini adalah hari penting bagi perusahaan tempat ia bekerja. Billy yang seharunya mengahdiri rapat penting tidak bisa hadir karena adanya kendala penerbangan. Robin sebagai asisten pribadi Billy harus bisa menghandle semuanya. Namun, kini juru bicara atau yang biasanya presentasi sedang ikut bersama Billy. Robin bisa saja melakukan presentasi. Tapi dari dahulu jika ada yang presentasi harus ada yang duduk bersama dengan tamu yang lain. Itulah yang menjadi ciri khas Billy dan Robin.
Brak…
Karena tergesa-gesa robin tidak sengaja menabrak Jesica yang akan masuk kedalam Lift.
"Ma-af," ucap Jesica eraya membantu Robin mengambil berkasanya yang berserakan di lantai. Robin tidak bergeming sedikitpun. Jesica merasa bersalah. Ia mengira Robin marah karena berkasnya jatuh.
"Pak. Sekali lagi saya minta maaf," ucap Jesica sekali lagi. Jesica tidak sadar jika berkas Robin terselib di antara berkasnya.
"Iya," sahut Robin dengan datar. Jesica tak memperdulikan Robin yang telah berlalu. Ia kembali keruangannya. Ramdhan dan Mila sedang ada tugas bersama. Mereka sudah terbiasa mejalankan tugas bersama. Jesica dan Putri bekerja berdua saja dalam ruangan itu. Lalu lalang di luar tidak mengganggu mereka berdua. Semua pergawai sedang sibuk dengan pekerjaan masing-masing, termasuk Putri. Jesica yang baru datang mulaimembuka berkasnya satu persatu.
"Loh!" seru jesica saat melihat ada berkas yang bukan miliknya.
"Kenapa?" tanya Putri.
"Ini loh, ini kan bukan berkasku," jawab Jesica dengan wajah yang bingung.
"Lah! Kok bisa?"
Jesica mencoba mengingat berkas siapa kah yang ada di tangannya tersebut. Jesica dengan cepat akan kejadian yang baru saja dia alami.
"Aku ingat!" seru Jesica.
"Ini berkas Pak Robin," kata Jesica.
"Kok bisa sama kamu?" tanya Putri dengan heran seraya melihat isi berkas itu.
"Tadi nggak sengaja aku nabarak dia pas di deoan lif," jelas Jesica.
"Kayaknya berkas penting deh. Anterin sana!"
"Anterin yuk," pinta Jesica.
"lah…, disini nggak ada orang. Bisa jadi bencana ini ntar," kata Putri.
"Lo tanya aja ke resepsionis, kali aja tahu kemana Pak robin rapat," usul Putri.
Jesica dengan cepat menuju lantai satu. Dia menanyakan keberadaannya kepada resepsionis.
"Selamat pagi," sapa Jesica.
"Di mana jadwal Pak Robin hari ini?" tanya Jesica.
"Ada keperluan apa?" tanya wanita yang berdiri di balik meja yang tinggi itu.
"Ada berkas yang ketinggalan," jawab Jesica.
"Pak Robin sudah berpi lima menit yang lalu menggunkan mobilnya," jelas wanita yang bertugas menjadi resepsionis itu.
"Alamat," ucap singkat Jesica.
Wanita itu segera menulis alamat di sebuah kertas dan segera memebrikan kepada Jesica. Jesica segera menacari taxi untuk mengejar Robin. Meskipun dia buta arah di Jakarta Ia nekat demi tanggung jawabnya
"Pak, antar ke alamat ini ya." Jesica segera menunjukkan selembar kertas yang di berikan resepsionis tadi.
Jesica tidak berhenti meremas tangannya sendiri untuk mengurangi rasa cemasnya. Hampir lima belas menit Jesica menempuh perjalanan hingga sampai di sebuah gedung tinggi yang sangat megah.
"Sudah sampai. Dek," kata sopir taxi yang mengantarkan Jesica.
"Berapa pak?" tanya Jesica.
"Sesuai yang tertera. Enam puluh ribu."
Jesica tertegun mendnegar itu. Di kantongnya hanya ada tujuh puluh ribu. Sedangkan dia lupa tidak membawa dompet. Tapi dia tidak berfikir lama. Ia segera membayarnya. Jesica segera masuk seraya mencari sosok Robin. Tapi hingga masuk kedalam gedung itu Jesica tidak menemukannya. Ia terpaksa harus bertanya kepada bagian informasi.
"Selamat pagi, apa benar hari ini ada rapat dari Billyon Group?" tanya Jesica.
"Selamat pagi!"
"Iya, Benar. Ada yang bisa saya bantu?"
"Saya mau mengantarkan ini kepada atasan saya," jelas Jesica.
"Baiklah. Tunggu sebentar."
Jesica menunggu dengan cemas. Kini kecemasannya doble. Ia memikirkan respon Robin dan dia juga memikirkan caranya untuk pulang. Jesica tidak membawa dompet dan tidak memiliki banyak teman di Jakarta.
"Mari ikut saya," ajak seorang perempuan yang membawanya masuk kesebuah ruangan besar.
"Tunggu disini dulu," kata wanita itu sete;ah sampai didepan pintu ruangan itu. Tak lama Robinpun keluar dan menghampiri Jesica.
"Ada apa?" tanya Robin dengan datar.
"ini pak. Saya mengantar ini," jawab Jesica seraya memberikan berkas yang dia bawa.
Robin segera mengambil berkas itu dan melihatnya.
"Terima kasih," kata Robin dan berbalik begitu saja.
Jesica hanya menghela napas lega dan melangkah pergi. Ia memang tidak berharap lebih. Dia bisa mengantarkan berkas yang di butuhkan oleh atasannya sudah cukup.
"Tunggu!" Langkah Jesica berhenti setelah Robin menghentikannya.
"A-ada apa, Pak?"
"Kamu bisa presentasi?" tanya Robin.
"T-tidak, pak." Jawab Jesica dengan ragu.
"BIsa aja lah," paksa Robin. Robin segera menarik Jesica masuk kedalam ruang rapat.
"T-tap-tapi…"
Jesica tidak memiliki kesempatan untuk menolaknya. Jesica melihat semua orang datang dengan pakaian rapi. Pria maupun wanita. Jesica merasa insecure melihat penmapilan mereka. Tapi Robin menguatkannya.
Selama menunggu beberapa perwakilan perusahaan lain melakukan presentasi, Robin memberi tahu Jesica intinya presentasi hari ini. Denganwaktu yang singkat Jesica harus bisa menguasai situasi yang berlum pernah dia rasakan dan lakukan sebelumnya.
"Pak. Saya nggak bisa," bisik Jesica.
"Bisa!"
"Ta-"
"Ssst" Robin memberikan isyarat agar Jesica diam. Jesica pasrah dan mulai membaca berkas di hadapannya. Dan memperlajari cara biacara dari beberapa perwakilan yang telah presentasi terlebih dahulu.
"Selanjutnya, Pihak dari Billyon Group."
"Waktu dan tempat dipersilahkan."
Jesica seketika mematung untuk sesaat. Semua mata tertuju padanya. Robin menyenggol kaki Jesica dan menyadarkan Jesica dari ketertegunannya.
Jesica mulai melangkah maju dan menatap semua wajah yang ada di hadapannya. Sebuah layar proyektor mulai menunjukkan logo perusahaannya. Jesica memejamkan mata sekejap dan berubah menjadi berani dalam sekejap. Dia segera memulai menyapa semuanya dan memulai preentasi. Robin sebenarnya juga merasa khawatir dengan hasilnya, tapi dia tidak mau menunjukkan kepada Jesica.