Di rumahnya Siska harap-harap cemas, memikirkan apakah surat yang dia tulis telah dikirim ke alamat yag tepat, apakah sampai pada yang di tuju. Siska menatap jendela kamarnya,
"Ya Rabb apakah bang Ahmad sudah menerima surat dariku itu?, Aku merindukannya ya Rabb, tidak ku sangka kalau perjalanan pernikahanku akan begini."
Siska menyeka air matanya yang diam-diam mengintip dipelupuk matanya. Saat ini tidak ada yang bisa dilakukannya lebih dari itu, hanya sekedar memberikan kabar lewat surat karena Ahmad tidak memiliki telepon genggam.
Tidak terpikir olehnya untuk menelepon rumah bu Aisyah yang pernah dia kenal saat KKN dan beliau pemilik rumah yang Siska tinggali saat KKN.
"ah iya, kenapa aku baru terpikir, kenapa aku tidak tanya kabarnya saja lewat bu Aisyah yah, kan aku bisa langsung meneleponnya."
lalu Siska terdiam sejenak, menghelakan nafasnya begitu panjang. Niat yang baru saja terlintas dipikirannya segera ditepisnya karena dia sadar itu bukanlah solusi.
"ah tapi itu tidak mungkin, jika aku lakukan itu, tentu itu akan berefek kurang bagus buat keluarga Ahmad."
Siska tersadar dari berbagai pikiran yanng menghantuinya dengan suara ketukan pintu kamarnya. Karena kamarnya tidak dikunci Sri pun menghampiri Siska yang masih mematung di depan jendela, mengabaikan kehadiaran Sri.
"Kamu ini kenapa sih Sis, jagan bilang kamu maish memikirkan pemuda kampung itu."
"dia Ahmad Mih, dia punya punya nama." jawab Siska datar tanpa menoleh pada ibunya
"ah siapa pun itu, gak penting buat mamih, yang penting buat mamih hanya kebahagiaan kamu sayang."
Sri mendekat lalu memeluk anaknya,
"Kamu jangan begini terus dong sayang, kamu harus jaga kesehatan, kamu jangan patah hanya gara-gara dia yang sama sekali tidak mempedulikanmu."
Pikiran Siska terbius oleh kata-kata Sri, dia menatap ibunya, lalu menangis dalam pelukannya.
"apa yang mamih katakan itu benar, kenapa dia tidak segera datang menjemputku, atau setidaknya mengabariku lebih dulu, kenapa justru aku yang harus mengabarinya?" Siska membatin.
*
Tangan Ahmad bergetar, keringat dingin tiba-tiba membasahi dahinya, jantungnya berdetak tak beraturan, lebih cepat daripada biasanya. Dengan perlahan lembaran kertas yang ada digenggamannya pun dibukanya dan terpampanglah seuntai kata yang tersusun rapi di dalamnya dengan diawali salam.
Assalamu'alaikum
Teruntuk bang Ahmad Firdaus
Di
Tempat
Sebelumnya maafkan aku karena pergi dari rumah tanpa Izin dari Abang, aku berharap di sana bang Ahmad selalu baik-baik saja. Aku pun di sini berusaha untuk baik-baik saja. Siska menunggu kabar lewat surat dari Abang, tapi tidak ada satu suratpun yang datang.
Tapi tidak mengapa mungkin abang sibuk bekerja, aku maklumi itu, jika abang rindu Aku pun demikian, merindukan kebersamaan kita, namun maafkanlah aku karena belum bisa pulang kembali ke rumah.
Selama Ibu masih bersikap tidak adil, aku tidak ingin pulang. Maaf bukan maksud untuk menjelek-jelekan ibu, tapi itulah kenyataannya. Awalnya tidak ingin aku menyampaikan ini padamu bang, tapi sepertinya ini sudah saatnya aku menceritakan semuanya.
Enam bulan aku tutupi semuanya, sudah cukup aku menyimpannya sendiri, saat itu saat pertama abang membawaku ke rumah dan mempekenalkan aku sebagai istrimu, Ibu begitu senang, begitu ramah dan sayang padaku.
Namun seiring waktu berjalan, saat aku ketahuan hamil sudah dua bulan, ibu sedikit heran ditambah bumbu-bumbu dari para tetangga yang kurang sedap, sehingga di sanalah mulai aku rasakan perubahan sikap ibu.
Aku masih ingat pagi itu saat bang Ahmad berangkat kerja, aku mual mual sehingga beberapa kali muntah, bukannya ibu datang untuk menenagkanku tapi tidak ternyata bang, ibu malah datang mengomeliku,
"Kenapa anakku bisa tertipu dengan kecantikanmu, membawa pulang wanita yang sudah bunting, apa tidak ada wanita lain apa di bumi ini. Lagian kamu juga Siska kenapa harus anakku Ahmad yang kamu pilih untuk masuk dalam perangkapmu, apa karena Ahmad begitu polos sehingga bisa kamu bodohi?" Ucap ibumu saat itu dengan begitu ketus.
Sungguh menusuk hatiku, tapi aku berhusnudzon mungkin ibu belum mendengar cerita dari abang tentang cerita pernikahan kita, sehingga ibu mengira anak yang aku kandung adalah anak hasil perbuatan nista, Astagfirullah, perih bang hati ini dituduh sekeji itu oleh mertua sendiri.
Itu tidak seberapa bang, suatu hari ibu pun pernah dengan tega membiarkan aku kelaparan, seperti biasa itu terjadi saat abang pergi bekerja, hari itu dari pagi sampai sore aku belum makan, aku tahan laparku hingga melilit, namun aku ingat kalau di dalam perutku ada jabang bayi yang butuh asupan makanan (meskipun tidak bergizi, yang penting ada sesuatu yang masuk ke dalam perutku).
Sore itu aku mencari makanan ke dapur, saat aku sedang makan sedikit nasi sisa ibu makan saat siang. Tiba-tiba saja aku mendengar ibu menggrutu di balik pintu dapur.
"Dasar perempuan tidak tahu diri, kerjaannya cuma makan dan tidur, tidak tahu apa suamimu kerja banting tulang untuk menghidupimu. Enak bener yah jadi kamu, tingal makan aja, dasar perempuan manja." Ujar Ibu saat itu.
Begitu sakit hati ini bang, padahal aku baru makan, dan aku tiduran karena memang kepala ini rasanya begitu pusing. Kalau aku kuat, kau pun ingin membantumu bekerja bang. Tapi apalah daya mungkin karena aku sedang hamil sehingga badan ini tidak berdaya untuk melakukan banyak aktivitas.
Semenjak saat itu, aku sering kali menahan lapar, membiarkan perutku melilit kesakitan, tanpa ada yang tahu. Aku lakukan itu karena aku tidak tahan dengan sikap ibu yang selalu menyindirku dengan kata-kata yang menyakitkan.
Selama enam bulan itu, maafkan karena aku berpura-pura baik-baik saja di depanmu bang, aku berusaha menyembunyikan rasa sakit dan penderitaanku selama tinggal dirumahmu itu.
Aku selalu menyambutmu saat pulang kerja dengan senyuman, padahal keadaanku begitu pedih dan teriris. Aku tidak ingin menyalahkan siapa-siapa dengan keadaanku saat ini, karena akulah yang telah memintamu untuk masuk dalam kehidupanku dan aku dengan sukarela memilih untuk menjadi bagian dari hidupmu.
Oh iya bang, yang paling membuatku sakit dari sikap ibu adalah sindiran-sindiran kejamnya tentang anak yang aku kandung, entah kenapa ibu selalu bilang kalau ini adalah anak orang lain. Aku kasian pada anakku, dia ditolak oleh neneknya sendiri, kehadirannya tidak diterima oleh keluarganya sendiri. Miris.
Tapi biarlah, lupakan saja, semoga ibu sudah berubah, dan menyadari kehilafannya, karena walau bagaimanapun anakku adalah cucunya sendiri, bukan cucu orang lain.
Sudahlah, aku tidak ingin membuka luka lama, aku ingin membangun kehidupan yang lebih baik, sekali lagi Aku tidak bermaksud untuk menjelekkan ibu bang, maafkanlah jika ada kata-kataku yang salah.
Oh iya bang, surat ini pun aku buat karena ada kabar bahagia untukmu, anak kita telah terlahir seminggu yang lalu, dia seorang jagoan, dia seorang laki-laki, dan aku berinama Adnan Firdaus, sebagaimana harapanmu dulu, kamu pernah bilang jika anak kita terlahir laki-laki harus ada nama kamu dibelakangnya,
"Sis kalau anak kita lahir nanti, aku mau kasih nama Adnan Firdaus, kan bagus banget artinya surga firdaus, dan kerennya lagi ada embel-embel nama aku dibelakangnya, biar orang-orang tahu kalau dia adalah anakku." Yah begitulah kamu dulu bilang bang, aku masih ingat betul dengan ucapanmu yang kamu lantunkan dengan penuh semangat.
Baiklah bang, mungkin hanya itu saja yang aku luapkan lewat barisan kata ini, sebenarnya aku ingin mengurai rindu ini lebih banyak lagi, namun tentu saja itu tidak mungkin, butuh buku tebal untuk menuliskannya.
Aku harap surat ini sudah kamu terima dan kamu baca, dan semoga kamu mau membalasnya dan datang ke rumah orangtuaku untuk melihat anak kita.
Oh iya salam bakti buat Ibu.
Wassalam
Fransiska yang menunggu kehadiranmu.
Tanpa Ahamd sadari air matanya sudah meleleh, menganak sungai, berjatuhan di pipi dan membasahi lembaran kertas yang sedang dia baca. Tubuhnya tiba-tiba bergetar dan terdengar isak tangis tertahan dari mulutnya.
Tangis kepedihan karena ternyata selama enam bulan Siska hidup bersamanya tidak merasakan kebahagiaan, justru malah penderitaan.
"Aku tidak menyangkanya Sis, sungguh aku tidak tahu tentang itu. Maafkan aku ya Rabb karena tidak bisa menjaga istriku dengan baik."
Ahamad pun tidak bisa berbohong kalau dia meraskaan hal yang lain, ada hal yang membuatnya menangis bahagia karena ternyata istrinya masih ingat padanya, dan masih mau memberikan kabar tentang kelahiran anaknya itu.
"Oh Adnan anakku, maafkan ayahmu ini yang tidak bisa berada disampingmu saat kau terlahir ke bumi ini."
Terakhir tangis haru, bahagia yang begitu sangat dia rasakan karena anaknya telah terlahir dengan selamat, dia bahagia karena telah menjadi seorang bapak.
Namun Ahmad merasa tak berguna karena tidak mampu membahgiakan istrinya dan tidak bisa mendampinginya saat dia membutuhkannya.
Ahamd kembali menatapi kata yang terangkai dengan indah, dia merindukan istrinya, dia ingin sekali memeluk istrinya untuk memberikan ketenangan. Ahamd juga merindukan anaknya, dia ingin memeluknya dan merasakan bagaimana tatapan anaknya untuk pertama kali.
Ahmad menyeka air matanya lalu memeluk lembar kertas yang sedang digenggamnya seolah dia sedang memeluk istri dan anaknya.
"Aku sangat merindukan kalian wahai anak dan istriku."
Bersambung...