Ahmad memeluk erat surat dari Siska, dia teringat kala pertama mendapati istrinya pergi dari rumah.
Gerimis dipipi Ahmad tak terbendung bahkan lebih deras daripada hujan. kerinduan yang selama ini menyelimutinya dan hanya bisa ia genggam dengan do'a-doanya kini terjawab sudah.
Perasaan mimpi sempat hinggap, ia pun menampar pipinya sendiri beberapa kali hingga ia merasakan kesakitan membuktikan apa yang dibacanya adalah nyata. Dengan penuh semangat dia melihat kembali kata yang terangkai untuknya, lalu dia mengucap kesyukuran pada Rabb yang maha memberi keselamatan dan maha memberi keamanan.
"Ya Rabb, terimakasih karena Engkau telah hadirkan anak kami ke bumi ini dengan selamat, dan kau sehatkan pula istriku, semoga aku segera bisa menjemput istri dan anakku Ya Rabb.Aamiin." Do'nya dipanjatkan dengan begitu khusu.
Kemudian dia segera melipat lembaran surat itu, lalu menyimpan ke lemari pakaiannya, dia selipkan tumpukan baju paling bawah, supaya tidak ditemukan ibunya. Untuk sementara ini Ahmad tidak ingin memberitahukan kabar baik itu pada Ibunya. Karena waktunya belum tepat.
Lalu dia segera ke kamar mandi bersiap-siap untuk ke mushola karena adzan maghrib akan segera berkumandang.
*
Malam sebelum tidur, Fatma menanyakan prihal surat yang tadi siang dibaca Ahmad,
"Ahmad, kamu sudah baca suratnya, dari siapa rupanya, apa itu surat panggilan kerja?" Tanya Ibunya sambil duduk dikursi berhadapan dengan anaknya itu.
Ahmad menoleh ke arah Ibunya, dia bingung hendak mengatakan apa, namun di sisilain dia harus tetap mengatakan tentang surat itu,
"Oh itu bu, iya bu itu surat dari kota, sepertinya nanti seminggu lagi Ahmad harus ke kota bu buat mengurus semuanya." Jawab Ahmad tidak menjelaskan dengan jelas.
"Oh jadi benar itu surat panggilan kerja, ya baguslah semoga nanti kamu di sana dapat pekerjaan yang layak dan syukur-syukur dapat pengganti si Siska." Ungkap Ibunya membuat hati Ahmad sedikit terisris.
Untuk menghindari cekcok maka Ahmad terpaksa mengiyakan kata-kata ibunya,
"Iya bu, semoga aku mendapatkan yang terbaik." Jawab Ahmad singkat.
Dalam hatinya Ahmad meminta maaf karena terpaksa dia berbohong tentang surat itu,
"Maafkan aku bu, aku tidak bermaksud merahasiakan surat itu darimu, tapi sepertinya sekarang belum saatnya ibu tahu kalau cucu ibu sudah terlahir. Aku khawatir kalau aku beritahukan sekarang ibu malah berbicara yang tidak-tidak tentang Siska. Aku tidak tega mendengarnya bu, walau bagaimana pun dia itu istriku dan ibu juga adalah orang yang aku sayang, jadi tidak mungkin jika aku harus memilih salah satu dari kalian." Gumam Ahmad dalam hati.
Melihat Ahmad bengong, Fatma kembali mengajaknya berbincang.
"Eh Ahmad kamu kenapa, kok malah bengong, harusnya kamu bahagia karen kamu akan dapat pekerjaan yang lebih baik. Kamu jangan pikirkan dan khawatirkan ibumu ini, Ibu akan baik-baik saja, Ibu sudah Ridho jika kamu mau ke kota. Dulu Ibu tidak mengizinkanmu ke Kota karena Ibu takut kehilanganmu, berita-berita yang jelek bertebaran di koran-koran tentang kejahatan Ibu kota.
Tapi kini baru Ibu menyesali keputusanku dulu, Andai kamu dulu melanjutkan sekolah ke kota dengan beasiswa itu, tentu mungkin hidup kita tidak akan dikucilkan oleh orang-orang yang berpunya itu.
Ibu baru sadar ketika ayahmu sakit-sakitan dan akhirnya pergi meninggalkan kita karena sakit keras dan tidak tertolong lagi. Ibu menyesal karena tidak mengikuti keinginan ayahmu untuk membiarkanmu sekolah ke kota saat itu.
Mungkin sekarang keputusan ibu memang terlambat, tapi setidaknya kamu bisa tahu kota itu seperti apa nak." Ungkap Fatma bercerita panjang lebar, mengungkit kejadian dimasa silam saat suaminya masih hidup.
Ahmad tidak enak hati dan merasa kasihan pada Ibunya, dia pun mendekat dan memeluk ibunya.
"Sudahlah bu, yang lalu biarlah berlalu tidak usah lagi ibu kenang. Ayah pun di sana insyaallah sudah tenang. Kalau Rezeki tidak ada kata terlambat bu, siapa tahu nanti ketika aku di kota aku bisa mengikuti sekolah penyetaraan bu, jadi tetap bisa belajar meskipun aku sudah tidak muda lagi." Ungkap Ahmad berusaha membuat Ibunya tersenyum.
"Hallah, kamu ini, memangnya kamu sudah setua apa Ahamd, kamu tuh baru 21 tahun, jadi kamu masih terhitung muda Ahmad, gapailah citamu meski tanpa ijazah sekolah menengah atas, ibu yakin suatu saat kamu akan menjadi orang sukses." Ungkap Fatma mendo'akan anak semata wayangnya.
Lalu keduanya pun tertawa bersama smabil berpelukan, Ahamad sudah berjanji pada ayahnya bahwa dia akan membahagiakan ibunya. Meskipun kadang ibunya sering menjelek-jelekan istrinya, tapi Ahmad tetap berusaha untuk menjaga adabnya terhadap seorang ibu.
Ahmad tidak ingin menjadi anak durhaka, namun, Ahmad juga sedang berusaha untuk membuktikan kalau Siska istrinya itu adalah perempuan yang baik-baik.
Setelah mereka berbincang-bincang, Karena sudah malm, Fatma lebih dulu pamit untuk tidur dan dia langsung ke kamarnya.
"Ahmad sepertinya ibu sudah ngantuk nih, gak apa-apa yah ibu tidur duluan, kamu juga jangan terlalu malam ya nak tidurnya." Ungkap Fatma sambil berjalan menuju kamarnya.
"Iya bu, istirahatlah semoga tidurnya nyenyak. Aku juga sepertinya mau ke kamar bu, selamat istirahat." Jawab Ahmad.
Semenit kemudian, Ahamad langsung mematikan lampu ruang utamanya, kemudian dia masuk ke kamarnya. Di kamar dia tidak langsung tidur tapi berniat untuk membalas surat dari Siska, meskipun tidak tahu akan sampai atau tidak, walau bagaimana pun dia akan tetap menulis surat jawaban pada istrinya.
Dia duduk di kursi menghadapkan dirinya pada sebuah meja tua yang sebelumnya dia gunakan sebagai meja belajar. Namun kini juga tidak jauh beda fungsinya karena diatasnya masih ada setumpukan buku yang sering dia baca dikala dirinya senggang, terkadang dia juga menulis di buku khusus yang dia sediakan untuk mengumpulkan tulisannya.
Tangannya segera bergerak dengan aktif mencari kertas kosong dan juga pena. Ahmad ingin segera menuangkan rindunya lewat kata demi kata yang akan dia rangkai dan akan dipersembahkannya untuk istrinya tercinta.
Di atas kertas kosong itu Ahamd memulai menuang rindu lewat barisan aksara,
Assalamu'alaikum,
Teruntuk kekasih halalku Siska dan anakku Adnan Firdaus
Aku bukan lah lelaki yang pandai merangkai kata, aku hanya ingin mengatakan bahwa aku merindukan kehadiran kalian di sisiku.
Teruntuk kamu wahai istriku, maafkan aku karena selama ini aku abai terhadapmu, aku tidak tahu kondisimu yang sebenarnya, maafkanlah ibuku, ada waktunya nanti kita akan memberitahukan kebenarannya.
Bersabarlah dan tunggu aku, aku akan segera menjemput kalian ke sana. Salam sayang dariku untukmu dan anak kita.
Wassalam,
Suamimu yang mencintaimu
Selsai menulis, dia kemudian membaca ulang isi suratnya, setelah dirasanya cukup, kemudian dia melipat suratnya dengan lipatan terbaiknya.lipatan berbentuk hati.
Lalu disimpannya surat yang sudah diamasukan kedalam amplop itu di saku baju kerjanya. Sengaja disimpan di saku bajunya supaya tidak terlupa, karena dia berniat esok saat bernagkat kerja akan sekalian mengantarkan suratnya ke kantor pos, biar tenang pikirnya.
Bersambung...