Chereads / Terjerat Cinta Lokasi / Chapter 12 - Kesempatan itu Masih ada

Chapter 12 - Kesempatan itu Masih ada

Binar mentari belum sempurna berikan cahaya pada dunia, dia masih bersembunyi dibalik upuk. Burung-burung beterbangan saling mengintai, mencari sesuap Rezeki untuk bisa mengisi perutnya.

Demikian juga dengan Ahmad dia sedang bersiap-siap untuk pergi mencari nafkah tambahan, dia pamit pada ibunya.

"Bu, aku mau berangkat kerja dulu ya bu," Ungkap Ahmad dengan menggunakan kaos dan juga celana kain yang sudah lusuh.

Fatma mengerutkan keningnya,

"Eh, tunggu-tunggu kamu ini mau kemana sepagi ini, lihat tuh masih jam enam pagi ini Ahmad." Ungkap Fatma sambil menunjuk ke arah jam dinding.

"Iya Ahmad tahu bu, tapi sengaja berangkat jam segini karena rencananya mau mengangkut dulu batu bata bu sampai sekitar jam 7, setelah jam 7 baru aku berangkat ke tempat kerjaan seperti biasa." Jawab Ahmad dengan semangat.

"Lah kok ngangkut batu bata, memangnya gajimu diproyek kurang Ahmad, Ibu gak mau kamu terlalu memporsir tenagamu, lagian gajimu dan hasil sayur dari ladang juga sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup kita Ahmad." Ungkap Fatma merasa keberatan jika anaknya terlalu memaksakan diri memporsir tubuhnya untuk bekerja.

Ahmad menarik nafas dengan berat,

"Ahmad tahu bu, tapi kali ini Ahmad harus mendapatkan uang lebih, karena Ahmad tidak bisa hanya berdiam diri saja dengan kepergian Siska, aku harus berbuat sesuatu supaya bisa menjemputnya kembali. Lagian Bu aku juga belum tahu informasi keberadaan Siska dimana sekarang, aku harus mencarinya bu." Jawab Ahmad dengan mata berkaca-kaca

"Alah Ahmad, Ahmad, sudahlah biarkan saja permpuan seperti itu pergi, tidak usahlah kamu bersusah-susah payah  untuk mencarinya." Jawab Fatma ketus.

Ahmad tidak ingin pagi-pagi berdebat dengan ibunya, setelah salam pada ibunya dia langsung pergi.

"Bu maaf yah, Ahmad buru-buru, Asslamu'alaikum." Ungkap Filza sambil menutup pintu.

"Wa'alaikumslaam warahmatullahi wabarakatuh, Dasar Ahmad masa kamu mau-maunya sih dibodohin sama perempuan itu, mau-maunya kamu dijadiin kambing hitam olehnya." Ungkap Fatma sambil ngomel-ngomel.

*

Di tempat batu bata itu, Ahmad sangat bersemangat mengangkutnya dan menaruh ke atas mobil pikup. Dalam setiap tetes keringatnya berkelebatan senyum Aiska, sehingga dia tidak merasakan lelah yang melandanya, yang dia harap adalah bisa secepatnya mencari tahu tentang keberadaan istrinya.

Begitulah hari-hari lewatkan dengan bekerja dan bekerja demi mengumpulkan pundi-pundi rupiah. Meski tidak banyak tapi Ahmad bisa menyisihkan sebagian Gajinya yang dia kumpulkan untuk menjemput istrinya.

Meskipun tidak jarang Fatma mengomel setiap ketahuan kalau Ahmad menyisihkan untuk bekal saat dia akan menjemput Siska.

"Ngapain kamu ngumpulin uang buat jemput wanita yang gak bener seperti Siska itu, mending uang yang kamu tabung itu buat modal atau buat kamu cari Istri yang lain." Ungkap Fatma dengan mudahnya bicara.

Kata-kata itu jelaslah menusuk hati Ahmad, sungguh tidak menyangka kalau ibunya bisa berpikir serendah itu tentang istrinya.

"Cukup Bu, cukup jangan hina lagi Siska seperti itu, dia istriku bu, dan dia sedang mengandung anakku bu, calon cucumu. Ahmad mohon bu jangan lagi ibu menjelek-jelekkan Siska. Kalau ibu memang kurang suka sama dia, setidaknya hargai aku sebagai suaminya bu." Ungkap Ahmad sambil meneteskan air mata.

Hati ibu yang mana yang tidak sedih saat melihat anaknya terluka, begitu pun Fatma, dia iba melihat anaknya yang menangis,

"Maafkan ibu Ahmad, ibu hanya ingin yang terbaik untukmu saja." Ungkapnya sambil mendekat dan mengusap pundak Ahmad.

Ahmad terdiam, tangannya menyeka air matanya yang hampir jatuh, dia merasa bersalah atas kepergian istrinya, tapi dia belum mengerti benar dengan permasalahan yang sebenarnya terjadi, sehingga dia pun tidak tahu harus menyelsaikannya dari mana.

Bahkan meskipun terpaksa dia tetap menulis surat ke rumah orangtua Siska, namun surat-surat yang dia kirimkan sebulan yang lalu belum juga ada satupun yang berbalas. Ahmad pun tidak tahu apakah suratnya sampai atau tidak ke tangan Siska.

Seminggu, dua minggu hingga satu bulan terlewati, namun surat-surat yang dia kirim belum juga berbalas.

"Siska sebulan sudah kamu pergi, seharusnya aku ada disampingmu untuk menemanimu berjuang melahirkan anak kita yang pertama." Gumam Ahmad dengan linangan air mata.

Ahmad berfikir kalau istrinya sudah waktunya untuk melahirkan, dia tidak menyangka kalau kejadian yang sama sekali tidak diinginkan itu terjadi, dia ditinggalkan istrinya dengan ketidakjelasan.

Rasanya ingin dia marah dengan keadaannya yang serba salah, tapi marah pada siapa, sedangkan dia tahu sekarang istrinya sedang berjuang tanpa kehadiran dirinya.

Meskipun kadang saat dia dalam keadaan jenuh dalam penantian, dia menyalahkan kepergian Siska.

"Salahmu sendiri kenapa kamu pergi begitu saja, jangan salahkan aku jika aku tak ada bersamamu saat kamu melahirkan anak kita." Gumamnya bicara sendiri sambil menyeka air matanya yang berhambur keluar.

Yang bisa Ahamd lakukan saat ini hanya mendo'akan keselamatan untuk istri dan anaknya, dia juga sedang berjuang untuk bisa menjemputnya kembali kerumah.

*

Ahmad tertegun melihat amplop berwarna coklat, di pojok kiri tertuli namanya, lalu dengan hati yang deg-degan, dia mencoba membuka amplop yang tergeletak di meja. Saat dia hendak membuka surat itu, ibunya datang dan menyapanya,

"Eh kamu sudah pulang Ahmad, itu tadi ada surat dari kota, siapa tahu surat panggilan kerja mending segera kamu buka aja Ahmad." Ungkap Ibunya.

Memang akhir-akhir ini Ahmad mengirimkan lamaran kerja ke beberapa tempat di kota tentunya setelah diizinkan oleh ibunya. Wajar jika ibunya menyangka kalau amplop coklat yang sedang ada ditangannya itu disangka suratbpanggilan kerja.

"Hmm...iya bu, nanti Ahmad buka ya, selepas aku mandi, gerah banget soalnya hari ini." Jawab Ahmad sambil beranjak menuju kamarnya.

Setibanya di kamar Ahmad tidak langsung mandi, karena dia penasaran dengan amplop yang masih dipegangnya. Dia ke kamar karena ingin menghindari omelan ibunya saja, sebab dia khawatir kalau ternyata amplop itu berisi surat dari Siska.

Hampir dua bulan sudah kepergian Siska, dan dia berharap itu adalah surat darinya. Dengan pearasaan yang tidak menentu dia pun mulai membuka amplop itu, lalu mengambil lembaran putih yang ada di dalamnya.

"Dear Ahnad suamiku," Baru saja Ahmad membuka lipatan kertas itu, Ahmad tersentak saat membaca barisan pertama di surat itu.

Ahmad masih tidak percaya dia melihat dan membaca berkali-kali barisan itu, dia mengucek matanya mencoba menjelaskan penglihatannya.

"Alhamdulillah Ya Rabb akhirnya dia mengabariku." Gumam Ahmad dan tidak kuasa untuk menahan tangis sambil memeluk surat yang belum selsai dia baca.

Setelah puas menagis, Ahmad pun membuka kembali lembaran surat itu, dia mulai membaca kata demi kata yang terangkai di dalamnya. Masih merasa tidak percaya dengan apa yang ada digenggamannya, dia pikir dia akan kehilangan Siska untuk selamanya, tapi dengan adanya surat itu membuktikan bahwa masih ada kesempatan untuknya untuk bisa bersatu dan  memperbaiki semuanya.