Hujan mulai reda.
Mereka telah bersiap untuk pulang. Kembali, Ahamd memimpin, namun lagi-lagi Siska mengekor di belakangnya.
"Kak Ahmad, besok malam ikut bareng kami di acara barbeque ya, di depan rumah bu Aisah," ajak Mita.
Siska menepuk dahinya.
"Ya Allah, aku hampir saja lupa soal itu. Iya, Kak ikut kami ya, please ...." Siska sangat berharap Ahmad ikut.
Tampak pemuda itu, terdiam sejenak.
Ikut, bersama mereka selalu membuatnya minder.
"Maaf, tapi aku bukan bagian dari kalian. Takutnya, itu mengganggu."
"Nggak kok. Ya, kan teman-teman?" Siska membalikkan tubuh pada mereka sambil mengedipkan sebelah mata.
"Bener, ikut aja jangan sungkan. Lagian, kamu udah banyak bantu kita, anggap aja ucapan terima kasih," ujar salah satu mahasiswa laki-laki.
Ahmad pun mengulas senyum. "Baiklah. Insyaa Allah, aku akan datang."
Dalam hati, Siska bersorak gembira.
"yeeeee senangnya hatiku mendengar kak Ahmad akan ikut acara kami."
*
Malam berganti.
Ahmad benar-benar menepati janji. Selepas isya, ia berjongkok di ambang pintu, untuk mengikat sepatunya.
Atasan kemeja kotak-kotak berwarna navy, dipadu celana jeans longgar menjadi pilihannya.
Fatma memperhatikan gerak gerik anaknya yang sedari tadi tersenyum tanpa sebab. Terlebih, hanya sekedar makan-makan, pakaiannya tampak rapi.
"Nak, ingat ya kata-kata ibu. Hati-hati dalam bergaul."
Ahmad menoleh ke arah ibunya. "Oke, ibuku sayang."
"Ibu dengar, kamu sangat akrab sama mahasiswa yang tinggal di rumah bu Aisah," imbuhnya menunjuk pada Siska dan kedua temannya.
"Oh, itu. Namanya juga pemandu mereka, Bu. Jadi, aku harus melakukan pendekatan."
Tampak Fatma menghela napas panjang, tetap saja itu membuat dirinya khawatir. Paras rupawan milik anaknya, tidak dipungkiri mengundang para gadis untuk mendekat.
"Bagaimana pun, kamu harus berhati-hati. Apalagi jika dekat dengan gadis kota. Kamu, jangan sekali-kali, membuka hati. Mereka tidak ada yang tulus, pasti hanya memanfaatkanmu saja sebagai pemuda kampung yang polos."
Ahamad terkekeh, ia kerap mendengar wejangan itu berkali-kali dari mulut Fatma. Namun, ia mencoba memahami dan sabar.
"Iya, Bu. Tenang aja, aku ingat kok pesanmu," ucap Ahamd seraya berdiri.
Fatma tampak lega. "Syukurlah, Nak. Kita hanya orang biasa, yang kita miliki hanya harga diri. Pertahankan itu, jangan sampai goyah godaan semu."
Kalimat itu, menjadi penutup sebelum Ahamad pamit dan memberi salam.
*
Ahmad telah sampai di pelataran rumah bu Aisah.
Beberapa mahasiswa tampak telah hadir, sedang mempersiapkan acara. Ahmad tidak menyangka, jika yang datang cukup banyak bahkan mereka berpenampilan bagus, seketika ia merasa menjadi butiran debu, di antara tumpukkan berlian.
"Ah sudah ku duga, benar kata-kata ibu, sebaiknya aku tidak terlalu sering bergaul denga mereka."Ahmad Membatin dan hampir saja membalikan tubuhnya untuk kembali ke rumah tapin tertahan oleh sapaan Siska.
Siska menyadari, jika Ahmad sudah datang. Ia mendekat dan menyuguhkan senyuman manis. Untuk sekian detik, Ahmad terpaku dengan kecantikannya, terlebih pakaian anggun yang dikenakan. Seketika Ahmad pun lupa dengan niatnya untuk kembali pulang.
"Aku kira, kamu gak akan datang. Susah juga buat menghubungi, karena kamu gak punya hp."
Ahmad menggaruk tengkuknya. "Maaf telat. Aku bantu apa, nih?"
"Ikut aku aja."
Mereka berjalan berdampingan, membuat pasang mata tertuju pada keduanya. Samar teman-teman mereka bersiul dan bersorak, menggoda Ahmad dan Siska. Kecuali satu orang.
"Abaikan mereka," bisik Siska, yang menyadari wajah pemuda itu sudah memerah.
Keduanya duduk melingkar, bersama Keempat teman lain termasuk Reina dan Mita.
Siska mengajari Ahmad menusuk beberapa potong sosis. Di wadah, juga sudah ada bakso, ikan, jagung manis, ada juga brokoli dan makanan lain. Namun, tidak ada udang di sana.
"Kak Ahmad, kalau nanti mau udang, sebelah sana di bakarnya, ambil aja jangan sungkan," ucap Mita.
Ahmad hanya mengangguk tanpa bertanya.
Setelah semua siap, makanan dibakar. Tiap alat bakar, memiliki kelompoknya masing-masing.
Seorang gadis, bernama Vina mendekat ke arah Ahmad.
"Hai, Kak. Mau udang ini gak? Di kelompokmu, tampaknya gak ada," ucapnya sambil menatap tidak suka pada Siska.
Ahamad menerima sate udang itu, sambil berterima kasih.
"Enak gak? Sate ini, emang aku bakar untukmu."
Orang-orang yang mendengar, tampak bersorak ke arah mereka. Vina tersipu, lalu lebih mendekat pada Ahmad.
Hanya Mita dan Reina yang diam, dan menyadari perubahan wajah Siska yang berubah sendu.
"Enak, kok. Siska mau?" Tiba-tiba Ahmad menyodorkan sate udang itu padanya. Sontak Siska mundur selangkah sambil membulatkan mata.
Mita sedikit menghalau tangan lelaki itu. "Jangan Kak Ahmad."
"Kenapa?"
"Ya gak usah! Itu kan buat kamu, jangan kasih ke orang. Lagian, Siska gak akan mau. Dia alergi udang," desis Vina mendelik ke arah Siska.
Ahmad membeku. Ia baru tahu hal ini, pantas saja di kelompoknya tidak ada bahan udang.
"Oh, maaf Siska. Aku gak tahu," ucap Ahmad merasa bersalah.
Siska pun mencoba tersenyum.
"Nggak apa-apa."
Untuk menghibur gadis itu, ia meraih satu buah jagung manis.
"Ini aja ya, aku bakar spesial untukmu."
Terasa, ada kupu-kupu menggelitik perut Siska. Ahmad, pandai membuat suasana hati gadis itu kembali bahagia.
Vina, dibuat kesal dengan adegan itu. Lalu, ia melangkah mengambil sesuatu, lalu tak lama kembali.
"Gak enak sate-sate itu, tanpa bumbu yang telah aku buat."
"Wait ... bumbu apa dulu?" sergah Mita.
"Hanya bumbu kacang kok, pedas manis. Aku udah capek-capek bikin, lho." Vina memajukan bibir.
Mereka tampak saling pandang dengan mimik ragu.
"Ya udah, pake bumbu aja. Kalian suka bumbu kacang kan?" ujar Siska
Tanpa suara, mereka hanya mengangguk.
Lagi-lagi, Vina melakukan pendekatan pada Ahamad, dan membubuhi makanan milik lelaki itu dengan bumbu pemberiannya. Ia melakukan itu juga, pada milik Siska dan yang lain.
Siska mulai menggigit makanannya, lalu terdiam tanpa suara. Kemudian, disusul oleh Ahmad yang ikut memakan miliknya.
Sadar ada sesuatu, Ahmad menarik ujung jaket milik Siska.
"Sis. Ikut aku sebentar."
"Cie ... mau mojok nih, yee ...." goda Reina.
"Nggak. Ada urusan sebentar." Ahmad mencoba menjelaskan.
Keduanya pun, menjauh dari mereka. Lalu duduk di kursi kayu yang panjang.
Tampak, Siska menggaruk wajah dan lengannya.
"Aku terlambat, harusnya ... tadi lebih dulu memakannya, agar tahu jika bumbu itu ada bahan udangnya," ucap Ahmad menyesal.
Siska kembali tersenyum, ia senang merasa diperhatikan.
"Makasih, ya. Aku nggak apa-apa, besok pagi pasti udah baikan."
"Yakin?" tanya Ahmad.
"Iya, don't worry."
"Huft! Harusnya, tadi kita gak nerima tawaran Vina ya. Lagian, udah tahu kamu alergi tapi dia malah tetap kasih kamu bumbu itu. Kan aneh, kayak sengaja." Ahmad mengetuk- ngetuk dagunya.
Siska hanya memandang wajah lekat milik Ahmad. Lelaki itu tidak tahu saja, jika Vina kerap melakukan hal itu karena iri pada Siska.
"Jangan bahas dia ya. Aku ingin, bahas kita aja. Ada hal yang ingin kuutarakan," ucap Siska.
Mata keduanya bertemu, degup jantung pun berpacu kencang.
"Aku suka kamu," ujar Siska tiba-tiba.
Ahmad masih mengolah hatinya, tidak ingin salah mengartikan, yang membuat hal itu jadi salah paham.
"Aku juga suka kamu, sebagai teman yang baik."
Tampak Siska menggeleng lemah.
"Bukan seperti itu. Tapi, suka dalam arti lain. Yaitu cinta."
Ahmad terdiam, masih menatap manik cokelat milik Siska.
"Aku gak salah dengar?" tanya Ahmad tak percaya.
"Nggak. Aku serius dengan ucapanku."
Ahmad tidak menyangka, jika mereka memiliki perasaan yang sama. Tapi ....
"Sis. Aku gak kaya sepertimu, orang kampung juga. Mustahil kita bersama. Ah aku tahu pasti kau cuma bercanda."
"Aku serius Ahmad. Gak masalah buatku. Asalkan kamu juga mencintaiku," cetus Siska mantap.
Ahmad tersenyum hambar, pikirannya menerawang pada kalimat dan nasehat Fatma, tentang berhati-hati pada gadis kota. Walaupun hatinya bertentangan, bahwa baginya semua orang memang berbeda, di manapun tempat tinggalnya.
"Hei, kenapa diam? Kamu ragu ucapanku?" Siska membuyarkan lamunannya.
Tampak Ahmad mendesah dengan berat.
"Maaf Siska. Aku gak bisa menerimamu, karena memang gak semudah itu."
Wajah Siska sudah kian memerah akibat alergi, namun ia menahannya. Kata-kata Ahamd lebih membuatnya sedih.
"Kok gitu itu sih, Kak. Kenapa gak perjuangkan dulu?"
"Dengan keterbatasanku ini, aku nggak bisa. Sekali lagi maaf ...."
Hati keduanya terkoyak. Dan entah kapan, bulir bening keluar dari pipi mulus Siska.
bersambung...