Chereads / Dendam Terindah / Chapter 16 - Sakit yang Tak Berdarah

Chapter 16 - Sakit yang Tak Berdarah

Setelah kejadian malam penyambutan sang mami di Hotel Sampoerna beberapa waktu lalu, hubungan antara Agnes dan Paulina mulai merenggang. Agnes yang biasanya dalam seminggu tak pernah absen menelepon Paulina, kini seakan ditelan bumi, benar-benar hilang dari sang sahabat. Clarissa yang menyadari akan perilaku tak biasa Agnes dan Paulina mulai menyelidiki mengapa keduanya berada dalam "perang dingin." Sedikit ragu dan takut, namun Clarissa berusaha untuk menjadi penengah antara keduanya karena bagaimanapun juga Paulina dan Agnes telah bersahabat cukup lama, bahkan Agnes adalah orang pertama yang mengenalkan biola pada Paulina.

Bel istirahat di SMA Pelita Bangsa berdering dengan kencang. Para murid yang telah lelah dengan pelajaran yang terbilang cukup menguras tenaga akhirnya satu per satu meninggalkan kelas mereka dan pergi menuju kantin yang terletak di belakang sekolah. "Kamu ga ke kantin, Nes?" tanya Clarissa melihat Agnes membenamkan kepalanya di lipatan kedua lengannya.

Tak ada jawaban, Agnes tetap bungkam seribu bahasa. Clarissa hanya menghela napasnya dalam-dalam. Duduk di sebelah sang sahabat, menyentuh pundak gadis belia itu pelan dan berkata, "Nes, Lina sudah cerita semuanya ke aku … tentang malam itu. Dia benar-benar nggak tahu sama sekali kalau dia akan bermain sama mami kamu." Jelas Clarissa memiringkan kepalanya.

Namun, sepanjang apa pun Clarissa menjelaskan, tetap tak ada reaksi dari Agnes. Gadis itu justru menegakkan kepalanya dan berdiri meninggalkan Clarissa.

"Nes! Agnes!" teriak Clarissa menyusul Agnes.

Bruk!

"Auwwww!" teriak Clarissa jatuh terduduk cukup keras di lantai luar kelasnya. "Liat-liat, donk kalo jalan! Pake mata!" kesal Clarissa memegangi pinggulnya berusaha berdiri.

"E..eh, Cla-Clarissa. Kamu enggak apa-apa?"

"Kamu! Hhhhh, kenapa sih tiap ketemu kamu bawaannya pengen nabok aja!" Clarissa yang telah berdiri namun tetap memegangi pinggulnya melihat kesal ke arah Vino.

"Aduh, aku benar-benar minta maaf. Tapi, kayaknya kamu yang salah deh." Ucap remaja dengan rambut yang tak pernah sisiran namun otak terbilang encer itu menunjuk Clarissa sambil tersenyum.

"Heh! Udah salah, masih aja ngeles kaya kernet!" tambah kesal Clarissa.

"Ya, maaf deh. Maaf, aku lagi laper banget soalnya. Dah, ya." Vino langsung berlalu meninggalkan Clarissa yang masih kesal dengan tingkah laku Vino yang main kabur seenaknya setelah menabrak tubuhnya.

"Arrggghhh, Vinoooooo!" Clarissa mengepalkan tangannya, geramnya.

***

Sementara itu, di kediaman keluarga Regazka, Dio yang tengah serius mengikuti pelajaran dari guru home schooling-nya, mendadak mengalami pusing yang teramat sangat hingga ia terjatuh dari tempat duduknya dan pingsan. Bu Evi, guru home schooling Dio yang panik segera teriak memanggil Jhon Berry dan sang kepala pelayan segera masuk ke dalam ruang belajar majikannya.

"Tuan Muda!" pekik Jhon. "Kenapa Tuan Muda pingsan, Bu Guru?"

"S-saya juga tak tahu, Tuan Kepala Pelayan. Tiba-tiba saja Dio terjatuh dari tempat duduknya," jelas Evi panik.

"Bantu saya mengangkat Tuan Muda ke sofa itu." Jhon menunjuk sofa panjang merah dekat meja kayu warna coklat tua tempat guru Dio meletakkan tas dan buku-bukunya.

"B-baik."

Setelah keduanya memindahkan tubuh Dio ke sofa, Jhon cepat-cepat menghubungi Dimas, dokter pribadi keluarga Regazka. Tak lama kemudian, Jhon memutar balik tubuhnya, melihat Evi berada di sisi muridnya, mengusap kepalanya, namun segera disergah oleh Jhon.

"Eh, k-kenapa, Tuan Kepala Pelayang?" tanya Evi terkejut Jhon langsung menyanggah tangannya ke atas, seolah memperingatkan agar ia tak menyentuh tubuh majikannya sembarang.

"Maaf, Bu Guru. Tapi, dokter sebentar lagi akan tiba dan alangkah baiknya jika kita tak 'meletakkan' tangan pada tempat yang tak sesuai dengan tempatnya." Jhon menundukkan sedikit kepala.

Evi hanya terdiam sambil menaikan sebelah alisnya, mencoba mengerti kata-kata yang dikatakan oleh Kepala Pelayan keluarga Regazka.

"Baik, saya mengerti. Maaf, Tuan Jhon. Saya hanya bersikap sebagaimana seorang guru terhadap muridnya … melindungi dan mengayomi." Balas Evi tersenyum.

Selang beberapa menit kemudian, seorang wanita yang memakai pakaian pelayan mengetuk pintu ruang belajar di mana Dio berada. Jhon segera membuka pintu merah bata itu dan melihat pria dengan pakaian putih dengan tas hitam kecil yang ia tenteng di tangan kanannya memasang ekspresi tegang dan gelisah. "Di mana Tuan Dio?"

"Dokter, Anda sudah datang? Tolong, Tuan Dio 'kembali' seperti beberapa waktu lalu."

Dimas tak perlu membuang waktu lama, pria dengan potongan rambut lurus merah agak kecoklatan, wajah oval, kulit putih pucat, serta kacamata menyesuaikan dengan wajahnya mulai memeriksa keadaan Claudio. Melirik ke arah Evi, "Dia-"

"Beliau adalah guru home schooling Tuan Muda." Jelas Jhon menunjuk Evi.

"Salam kenal, Dokter. Saya Evi, guru Claudio." Sang Guru tersenyum memperkenalkan dirinya.

"Salam kenal, Bu Guru." Balas Dimas sambil memeriksa Claudio.

Sekitar 20 menit memeriksa Claudio, Dimas melepas stetoskopnya dan menarik napas dalam-dalam. "Bagaimana keadaan Tuan Muda, Dokter? Apa yang sebenarnya terjadi pada Tuan Dio? Kenapa beliau sering pingsan akhir-akhir ini?" tanya Jhon panik dan cemas.

'Sering pingsan?' gumam Evi melihat dengan ekspresi terkejut.

Dimas lagi-lagi melirik Evi.

"Maaf, apa Anda bisa keluar sebentar, Bu Guru?"' pinta Dimas tiba-tiba.

Awalnya Evi enggan meninggalkan tempat itu, tapi dia sadar jika dirinya hanyalah orang luar dan keluarga Regazka termasuk keluarga eksklusif yang tak bisa sembarang orang bisa mendekati dan menyebar luaskan tentang mereka. "Saya mengerti, Dokter." Jhon mengantar Evi keluar ruang belajar Dio dan menutup rapat pintu merah bata tersebut. 'Ya Tuhan, Dio yang selalu baik-baik saja di sekolah, ternyata harus mengalami kejadian seperti ini. Lindungilah dan selamatkanlah, Tuhan murid hamba yang paling baik ini.' Evi menyatukan kedua tangannya membentuk kepalan doa.

"Dokter, ada apa sebenarnya dengan Tuan Dio?" Jhon menatap Dimas lekat tak berkedip.

Sang Dokter melepas kacamatanya, sekali lagi memeriksa pupil mata Dio yang masih terpejam dan berkata, "Mungkin ada baiknya jika Tuan Muda dibawa ke rumah sakit untuk pemeriksaan lebih lanjut. Saya akan memberikan sura rekomendasi ke rumah sakit yang paling bagus dan terbaik di Jakarta."

Jhon terkejut! "Apakah begitu parah sakit yang dialami Tuan Dio?"

"Saya tak bisa berkata lebih lanjut, tapi sepertinya Dio memiliki 'sesuatu' yang selama ini dia pendam dan mengakibatkan psikisnya sedikit … terganggu."

"Maksud An-da, Dokter? Tuan Dio …."

"Tidak, saya tidak mengatakan jika Tuan Dio gila. Tapi beliau mengalami gangguan secara psikologis, karena itu saya menyarankan agar Tuan Dio segera diperiksa oleh psikiater."

Jhon diam. Dia bingung apakah harus mengatakan pada majikannya atau tetap menuruti kemauan tuan mudanya. Dimas melirik Jhon sedikit curiga. "Apa Tuan dan Nyonya Regazka belum tahu keadaan Tuan Dio?"

Jhon menggelengkan kepalanya. "Tuan Dio melarang saya untuk mengatakannya pada tuan dan nyonya."

"Begitu, tapi jika tidak segera diambil tindakan, saya khawatir keadaan Tuan Dio semakin tak stabil …."

Jhon dan Dimas mendengar lenguhan suara lemah Dio. "Tuan Muda, Anda sudah sadar?" Jhon menghampiri Dio dan menahan tubuh majikannya yang ingin bangun.

"Anda sebaiknya banyak istirahat dulu, Tuan Dio. Sepertinya Anda kelelahan ya akhir-akhir ini?" tanya Dimas sambil tersenyum.

"Tidak juga, Dokter. Anda lihat sendiri kan di mana saya sekarang?" Dio agak ketus menyahuti Dimas.

"Tuan Muda mau minum, akan saya ambilkan." Jhon mengulurkan tangannya ke sebuah gelas berisi air putih. "Tolong jangan katakan apa pun pada mama dan papa, Dokter." Ucap Dio tiba-tiba melihat tajam Dimas.

"Apa saya boleh tahu alasannya, Tuan Muda?" sahut Dimas.

"Kekecewaan terbesar papa adalah ketika melihat putra yang dibanggakannya lemah, karena itu akan mempengaruhi citra papa di depan koleganya." Sahut Claudio ketus menyeringai.

"Tuan Muda-"

"Saya sudah sehat, Dokter. Tolong Anda tinggalkan tempat ini karena saya ingin kembali belajar!" Claudio bersikeras bangun dan berdiri, meski harus dipegangi oleh Jhon. Dimas hanya tersenyum dan berkata, "Saya mengerti, Tuan Dio. Ini, kartu nama tempat saya membuka praktek. Jika Anda membutuhkan saya, 24 jam pintu akan selalu terbuka." Dimas membalikkan tubuhnya.

"Tolong antar Dokter Dimas keluar, Paman."

"Tak perlu, Tuan Jhon. Anda tolong jaga Tuan Dio baik-baik. Segera hubungi saya jika Anda kembali pingsan, Tuan Dio."

"Baik, terima kasih, Dokter." Jhon menundukkan kepala sambil memegangi lengan kiri Claudio.

Dio langsung duduk memegangi kepalanya yang masih terasa pusing. "Anda sungguh tak apa-apa, Tuan? wajah Anda tampak pucat. Apa saya katakan pada Bu Evi jika kelas Anda-"

"Paman tak ada hak untuk mengatur kehidupanku!" tegas Claudio.

"'Maaf, Tuan. Bukan maksud saya seperti itu, Tuan. Maafkan saya." Jhon menundukkan kepalanya.

"Tolong panggilkan Bu Evi, Paman. Katakan padanya aku siap memulai belajar lagi."

Jhon agak khawatir dengan keputusan Claudio, tapi ia juga tak bisa menolak. Dengan berat hati, Jhon memanggil kembali Evi yang duduk menunggu Claudio di luar ruang belajar pemuda itu.

"Bu Evi, silakan masuk. Tuan Claudio siap untuk belajar kembali." Jhon membuka lebar pintu merah bata tersebut dan membuka tangannya lebar.

"Dio, kau tak apa-apa?" Bu Guru Evi segera menghampiri Dio, mengusap wajahnya yang ingin dihentikan oleh Jhon, namun Dio langsung melayangkan lirikan tajam ke sang Kepala Pelayan.

"Saya tak apa-apa, Bu Guru. Terima kasih telah mengkhawatirkan saya." Senyum Dio.

"Ibu ga sangka kamu sampai seperti ini, Dio. Apa kamu sangat belajar dengan keras sampai lupa dengan kesehatanmu?" lirih Bu Evi.

Sedikit terkejut, Dio melayangkan senyum hangat seraya berkata, "Saya menanggung masa depan saya, Bu. Jadi, kalau bukan saya yang melakukannya … siapa lagi?"

"Ibu sangat bangga padamu, Dio. Tapi, kalau kau tak kuat jangan dipaksakan. Kita bisa mengganti dengan hari lain."

"Tidak!" tegas Dio membuat terkejut gurunya. "Saya sudah sehat dan siap untuk belajar! Dalam kamus saya tak ada kata 'esok, terlambat, dan menyerah'!" Dio melihat gurunya dengan mata menyalang layaknya elang, membuat Evi sedikit gemetar. "Baiklah jika itu maumu, Dio. Ibu tak ada hak untuk melarang semangat dan keinginan kuatmu."

"Tuan, saya permisi dulu. Jika Anda butuh sesuatu, saya ada di luar ruangan." Jhon membungkukkan badannya dan disahut anggukan kepala Claudio.

***

Di tempat lain, Agnes yang masih berada di sekolah menjadi buah bibir karena peristiwa yang terjadi beberapa waktu lalu saat dirinya menghadiri malam penyambutan sang mami dan parahnya mereka membicarakan tentang Agnes yang tak bermain dengan sang mami di atas panggung dan justru orang lain. Agnes yang merasa terbakar emosi dan telinga yang terus berdengung kencang karena sindiran teman-temannya membuat gadis ini enggan mengikuti pelajaran dan lebih memilih berada di perpustakaan sekolah, membaca buku kesukaannya sambil mendengarkan musik melalui earphone-nya

Halaman dengan kertas putih bergambar dibolak-balik oleh jemari panjang dan lentik milik Agnes. Mata bulat coklat miliknya terus memperhatikan not-not balok yang ada di depannya dengan ekspresi bahagia. Senyum mengembang dan mata yang enggan berkedip menunjukkan bagaimana Agnes tampak begitu menikmati kesendiriannya.

'Hah, seandainya setiap hariku selalu tenang dan damai seperti ini …."

Belum lagi Agnes bersyukur atas kedamaian yang dia rasakan, ponsel yang diletakkan di sebelahnya bergetar dan sebuah pesan yang tertulis di salah satu aplikasi pesan di ponsel pintarnya yang bertuliskan 'Aku menunggumu di depan gerbang sekolah.'