Apa kita bisa bertemu malam ini? Saya akan mengirimkan alamatnya ke ponsel Anda."
Abigail yang telah masuk ke dalam sedan mewahnya, memerintahkan sopir pribadinya ke sebuah restoran eksklusif yang mewah dan terkenal di pusat Jakarta. "Ke restoran biasa."
"Baik, Nyonya."
Sedan Abigail akhirnya meninggalkan parkiran La Toule Academy. Ternyata Odele melihat kedatangan investor terbesar di tempat itu dan ketika melihat Agnes telah kembali ke kelas, Odele hanya melihat muridnya itu datar dan kosong. Tanpa banyak bertanya, Odele segera memulai pengajarannya dan meminta Paulina untuk maju ke depan, memainkan lagu yang ia mainkan bersama dengan Abigail. Entah apa yang ada di pikiran Odele, sepertinya pengajar yang terkenal ramah dan murah senyum itu memiliki "sesuatu" di balik perintahnya meminta Paulina memainkan salah satu lagu dari penulis musik klasik favorit Agnes, Antonio Vivaldi.
"I-ni …." Paulina membatu ketika Odele memintanya memainkan Four Seasons milik Vivaldi. "N-Nona Odele? Anda tak serius meminta saya memainkan lagu ini bukan?"
"Kenapa?" Senyum Odele. "Bukankah lagu ini yang kau mainkan dengan Abigail? Kenapa sekarang sepertinya kau ragu? Atau aku harus meminta Agnes untuk menemanimu bermain? Bagaimana, Agnes?" Odele melihat Agnes yang menyilangkan kedua tangannya melihat Paulina gugup.
"Saya tak bisa, Nona!" sahut Agnes tanpa memedulikan ekspresi Odele.
"Begitu? Tapi, bukankah ini keahlianmu? Kenapa kau tak mau menunjukkannya pada kami?" pinta Odele.
"Karena aku bukan orang yang haus akan pujian dan gila pencitraan!" Agnes menatap tajam seolah menyindir Paulina sembari berkata demikian. Odele tersenyum dan berkata, "Baiklah! Aku telah memutuskan Gema Melody Agnesia dan Paulina akan bermain bersama memainkan Four Seasons di atas panggung ketika kenaikan dan kelulusan kalian nanti dari akademi ini!"
"APA!" kompak Agnes dan Paulina menjawab, menatap sang pengajar.
"Jadi, mulai sekarang kalian bisa berlatih berdua, ya." Senyum Odele meminta Paulina kembali ke kursinya.
"Saya keberatan, Nona Odele!" Agnes mengangkat tinggi-tinggi tangannya.
"Kenapa kamu keberatan, Nes?"
"Kenapa harus dia? Bukankah masih ada yang lainnya?" tanya Agnes sedikit sombong.
"Yang lainnya siapa maksud kamu?"
"Mungkin, seseorang yang mengatakan saya adalah orang yang semena-mena?" sindir Agnes tanpa melihat siapa yang dia maksud.
"Heh, kamu nyindir aku!" Teriak salah seorang murid di kelas itu sambil menunjuk ke arahnya.
"Oh, jadi itu kamu … Christy?" Seringai Agnes baru menoleh ke kursi di pojok belakang.
Odele langsung memegangi keningnya. "Nes, ikut Ibu sekarang! Dan kalian, tetap tenang! Ibu ga akan lama!" tegas Odele.
***
Di ruangan Odele, Agnes diminta untuk menjelaskan sikapnya hari ini yang telah membuat gaduh seisi kelas, bahkan sampai meninggalkan ruang kelas.
"Jelaskan padaku, apa yang terjadi padamu?" Odele menyilangkan kedua tangannya, melihat Agnes datar.
"Bukankah sudah jelas, Nona? Saya tak ingin dan tak akan pernah bermain dengan Paulina! Kenapa masih Nona tanyakan?" sahutnya santai.
"Dan kenapa? Apa karena malam itu? Dia bermain dengan mami-mu dan kau cemburu karena bukan kau yang dipilih?"
"YA! Anda puas sekarang, Nona Odele?" Agnes menekankan katanya tegas.
"Ckckc, kupikir tadinya kau pantas menyandang calon mahasiswi Le Conservatoire de Music Paris, tapi ternyata itu terlalu berlebihan untukmu."
"Apa maksud Nona?"
"Apa kau tahu kenapa Abigail memilih Paulina daripada dirimu?" Tunjuk Odele.
"Karena dia berbakat! Apa lagi?"
"Itu … faktor lainnya, namun ada yang lebih penting!"
"Apa yang lebih penting daripada bakat?" tanya Agnes penasaran.
"Kepercayaan dan keberanian, juga kerjasama," sahut Odele.
Agnes hanya menaikkan alisnya.
"Kau berbakat Agnes, harus kuakui itu. Kau sangat teramat berbakat, bahkan jika boleh aku katakan, kau adalah copy-an seorang Abigail. Tapi, kau masih belum memiliki kepercayaan dan keberanian menunjukkan bakat dan kemampuanmu. Kau seperti katak dalam tempurung, Nes. Hanya berani di dalam, tapi takut di luar."
"Apa Anda sedang mengejek saya, Nona Odele?"
"Bagaimana bisa kau bilang aku mengejekmu, Agnes?"
"Karena saya merasa seperti sedang dihakimi, Nona. Semua mata memandang saya seperti penjahat!"
Odele tersenyum. "Tak ada yang melihatmu seperti itu, Agnes apalagi sampai menganggapmu seperti penjahat. Mereka hanya iri … cemburu, karena kau adalah putri seorang wanita sekelas Abigail."
Agnes hanya diam, dia tak ingin lagi memikirkan sikap sang mami yang telah membuatnya terpuruk dan hilang kepercayaan diri. Tanpa basa-basi, Agnes langsung berdiri dari kursinya sambil berkata, "Saya izin kembali ke kelas, Nona. Tolong, jangan katakan apa pun lagi mengenai mami. Saya sudah cukup terpuruk dan hanya ingin bermain sesuai dengan mood saya."
Odele menatap datar punggung Agnes. Ketika gadis itu menutup pintu, Odele menyandarkan tubuhnya sedikit ke kursinya, melihat terangnya lampu neon panjang yang terang menyilaukan mata sambil bergumam, "Sebenarnya apa yang sedang direncanakan oleh Nyonya Abigail? Apa dia mau menumbalkan putrinya sendiri? Hah, benar-benar dia …."
***
Agnes yang telah kembali ke kelas tak sengaja bertemu pandang dengan Paulina. Kali ini dia tak seagresif ketika bertemu Paulina di awal kelas, gadis itu berusaha santai dan tenang menghadapi sahabat yang baru saja menyandang status musuh itu. Tanpa banyak kata, Agnes kembali ke kursinya, membuka tas biolanya, menempatkan partitur di stand tiang partitur hitam dan mulai menyetel string biolanya.
"Kamu ga apa-apa, Paulina?" tanya salah seorang teman musik mereka.
"Ga apa-apa, maksudnya?" tanya Paulina bingung.
"Itu, Nona Odele nyuruh kamu ke depan, tapi kok kaya nyindir gitu, ya?" tanya temannya lagi kepo.
"Bisa ga kalo kamu ga usah urusin urusan orang lain! Ga ada sindiran dan ga ada maksud apa-apa. Jangan dilebihkan!" tegas Paulina menatap tajam.
"Tsk, dibelain malah kaya gini, cih!" kesal teman Paulina seketika menyingkir. Paulina terus menatap punggung Agnes datar, namun ekspresi yang diperlihatkannya menunjukkan gadis itu sangat penasaran dan memikirkan ucapan temannya tadi. 'Sepertinya, aku memang harus menanyakan hal ini pada Nona Odele.'
***
Sementara itu, sedan yang membawa Abigail berhenti di parkiran restoran Deluxe dan menanti kedatangan seseorang yang tadi dia hubungi. Fokus mata Abigail terus tertuju pada rangkaian kendaraan yang masuk ke restoran mewah dan eksklusif di Jakarta itu. Telunjuknya tak berhenti mengetuk sandaran tangan pintu mobilnya, kaca gelap sedan miliknya sedikit banyak melindungi dirinya dan mengkamuflase keberadaannya di tengah keramaian. Jam tangan emas mewah yang melingkari pergelangan mungil tangan Abigail menunjukkan pukul 19.00 malam. Wanita anggun ini mulai gelisah dan terus menatap layar ponselnya. Kedua bola matanya juga mulai bergerak tak tentu arah, sesekali menyuruh sopir pribadinya turun memeriksa apakah seseorang yang ditunggunya sudah datang atau belum.
"Bagaimana? Apa dia sudah datang?" tanya Abigail memeriksa beberapa pesan yang masuk ke ponsel pintarnya.
"Belum, Nyonya." Tunduk pria bersetelan jas hitam.
Ekspresi kesal Abigail tak bisa disembunyikan. "Kita pulang!" perintahnya.
"Baik, Nyonya."
Tak lama, ponsel miliknya berdering saat akan dimasukkan ke dalam tas. Abigail yang masih kesal membiarkan ponselnya terus berdering dan tak memeduliknnya. 'Hah, siapa suruh menghiraukan ucapanku! Sekali aku diacuhkan, akan ada harga yang harus dibayar!' geram Abigail.
"Gawat, Nyonya Abigail tak mau mengangkat teleponku!" panik seorang pria di sebuah ruangan dengan ukuran sedang terus menghubungi Abigail, namun tak jua diangkat dan justru sekarang malah aktif. "Kenapa perasaanku tak enak, ya?" ujar lelaki tersebut menyandarkan punggungnya sambil melihat ponselnya.
***
Sesampainya di rumah, Abigail segera menuju ke kamar Agnes dan melihat anak gadisnya tengah merebahkan tubuhnya di ranjang empuk dan nyamannya. "Agnes, boleh Mami bicara?" tanya Abigail langsung masuk ke kamar Agnes.
"Mami? Kok ga ketuk pintu dulu?" tanya Agnes terkejut langsung bangun dari rebahannya.
"Pintu kamu terbuka, apa yang perlu diketuk?" sahut Abigail santai.
"Mam!" teriak Agnes kesal.
"Sudah … sudah! Mami ga mau bahas soal pintu yang ga penting itu! Ada hal yang mau Mami bicarakan denganmu, dan ini penting!"
"Tinggal bilang aja kan, Mam?" timpal Agnes kesal.
"Apa kamu masih ingat Bagas Aditya Waksana?"
"Bagas … siapa?" tanya Agnes bingung.
"Kamu tak ingat teman masa kecilmu, Agnes?"
Agnes mengernyitkan keningnya. "Maksud Mami apa, sih? Agnes ga ngerti."
"Bagas, putra Tuan Adi Waksana akan pulang ke Indonesia, liburan. Sekarang dia sedang menempuh pendidikannya di MIT, Amerika."
"Lalu, apa yang Mami mau dari Agnes? Welcoming party?" tanya Agnes agak ketus.
Abigail tersenyum, mendekati anak gadisnya, duduk di sebelahnya seraya memelankan suaranya berkata, "Kamu temui dia, ya."
"Apa? Untuk apa?" Kejut Agnes.
"Kau juga akan tahu nanti, my dear." Sahut Abigail mengurai senyum.