"Demi sebuah pencitraan, Paman. Hanya dengan itu aku bisa bertahan," ucap Claudio melirihkan suara dan pandangannya.
"Tuan Muda-"
"Aku tahu aku salah telah bersikap demikian pada guruku sendiri, tapi aku punya alasan kenapa aku harus seperti tadi. Aku malah berharap Bu Evi tak datang lagi ke rumah ini."
Jhon hanya diam, membungkukkan badannya dan keluar ruangan meninggalkan Claudio sendiri. Tatapan mata remaja itu terlihat sendu melihat langit Jakarta yang masih panas meski waktu telah menunjukkan pukul 16.00 sore. Kedua mata coklat gelapnya tampak menyalang seperti mata elang yang sedang mengincar mangsanya, namun dia tak tahu apakah mangsa yang akan didapat sesuai dengan harapannya. Berkali-kali Claudio menarik nafasnya sambil mengingat kejadian yang membuatnya sedikit menarik urat saat Sebastian, sang papa terus mendesaknya agar segera mengajukan form aplikasi ke MIT dan gerak cepat sang papa yang terus menanyakan kapan Bagas Aditya Waksana akan kembali ke Indonesia.
"Hah, benar-benar orang tua yang keras kepala!" keluh Claudio melihat biola coklatnya tergeletak di meja dekat tiang partitur. Menghilangkan penat dan kegundahan, Claudio mulai memainkan lagu Four Season (winter) dengan luwes.
Jhon yang tengah menyiapkan makan siang untuk majikannya, tiba-tiba berdiri, melihat ke arah sumber suara. Pria paruh baya itu mengernyitkan keningnya dan membawakan teh untuk Claudio.
"Tuan, teh Anda." Jhon melihat gesture tubuh sang majikan yang menunjukkan kesepian, ketakutan, dan kecemasan yang dia sembunyikan selama ini. Alunan biola dan lagu yang dimainkan oleh Claudio jelas ingin memperlihatkan bagaimana dirinya sekarang ini.
"Tuan-"
"Aku tak hidup di zaman Victoria, Paman. Tapi kenapa aku diperlakukan seolah aku berada di zaman itu? Semua kebebasanku … hilang, semua hak ku … dicabut! Apa yang aku miliki sekarang? Tak ada hanya sebuah tuntutan dan tuntutan. Aku sudah muak, Paman sejujurnya." Dio menghentikan permainan biolanya.
"Saya mengerti maksud Tuan, tapi bagaimana pun juga selama Anda berada di rumah ini, Tuan Sebastian-lah yang berhak menentukan." Jhon menundukkan kepalanya.
"Aku tau. Karena itu, aku jadi sangat ingin bertemu dengan 'teman belajarku' itu Paman. Jika papa begitu percaya dengan pria yang bernama Adi Waksana, mungkin aku juga bisa percaya pada putranya." Senyum tipis Dio.
"Maksud Anda?"
Dio lagi-lagi tersenyum, namun bukannya memberi jawaban malah menyuruh Jhon menyiapkan mobilnya.
"Kita jalan-jalan lagi Paman." Ujar Dio mengumbar senyum.
"Lagi? Tapi, Anda sudah berkali-kali keluar, Tuan. Bagaimana jika Tuan Sebastian tahu dan memberikan hukuman yang lebih? Tolong, sekali ini saja Anda berada di rumah, Tuan Muda. Ini juga demi kebaikan Anda."
Tak ada jawaban dari Dio. Remaja itu duduk menyandarkan tubuhnya di sofa merah bata, menyilangkan salah satu kakinya sambil berkata, "Boleh aku pinjam ponsel Paman?"
"Untuk apa, Tuan?"
"Aku ingin menghubungi sahabatku, sudah lama tak mendengar suaranya … aku rindu." Senyumnya.
"Tapi, Tuan-"
"Oh, ayolah Paman. Paman takut apalagi? Ponsel ini disadap?" Dio menaikkan salah satu alisnya.
Dengan terpaksa, Jhon meminjamkan ponselnya dan meminta kepala pelayan itu keluar ruangan.
"Aku ingin privasi, Paman. Bolehkah?" Tanya Dio sambil mengetik.
Ragu, Jhon hanya menatap datar Claudio. "Aku bukannya mau menghubungi yang 'lain', Paman. Aku memang mau menghubungi sahabatku," yakinkah Dio.
"Baik, Tuan. Permisi."
Tak lama setelah keluar, Dio mulai menelepon sahabat baiknya, siapa lagi kalau bukan Vino. Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya terdengar suara di ujung telepon. Suara anak laki-laki yang nyaring.
"Halo, siapa ini?"
[Ini aku, Claudio.]
Vino tersentak! Dia melihat ponselnya nomor beda dengan yang biasa dipakai Claudio.
"Ini … beneran kamu, Dio?"
(Iya, ini aku! Emangnya siapa yang lagi kamu harap nelpon?)
"Eng-enggak, Cuma beda aja sama nomor biasanya. Gimana kabar kamu? Kudengar kamu lagi homeschooling, ya? Enak ga?
(Kamu kaya wartawan aja, ya, banyak tanya. Enak ga enak.)
"Anak-anak pada nanyain kamu, tuh. Mereka kangen sama kamu, kayaknya. Apalagi si Agnes."
Dio terdiam. Dia hampir melupakan perasaannya pada Gema Melody Agnesia yang selama ini diam-diam disukainya.
"Jadi, kapan?"
(Kapan apanya?)
"Kapan kamu nembak Agnes?"
(Hhhh, kayak ga da obrolan lain, sih Vin!)
"Haha, habis aku kehilangan temen yang biasa jadi bahan ketawa aku."
Dio hanya tersenyum simpul mendengar ucapan Vino.
"Kamu yang sabar, ya Dio. Kami semua juga terkejut saat tahu dari Bu Jenny kalo kamu homeschooling. Tapi, aku yakin papa kamu punya alasan kenapa kamu sampai harus homeschooling."
Dio membelalakkan matanya, tak menyangka jika Vino yang selama ini dianggapnya hanya sebatas "sahabat" ternyata mampu membuat hatinya bergetar. Teman sebangku Vino yang hanya bisa bicara panjang lebar dan kerap omong besar tanpa arti mengucapkan kalimat yang selama delapan belas tahun tak pernah didengarnya, meski dari orang terdekatnya sekalipun.
"Halo … halo, Dio masih di situ kan?"
(Oh, y-ya. Aku masih di sini. Sudah dulu, ya. Aku masih harus mengejar ketertinggalanku.)
"Apanya yang tertinggal? Bukannya homeschooling itu malah eksklusif?"
(Sudah dulu, ya. Makasih udah mau ngobrol ama aku.)
Dio langsung mematikan ponsel, menutupi wajahnya dengan kedua tangannya … terisak pelan dalam dekapan kedua tangannya.
***
Agnes, yang masih berada di sekolah dan bersiap akan pulang, tiba-tiba dihadang oleh Vino. Dia membentangkan tangannya bak pesawat tepat di depan pintu kelas 3 IPA 11 dan membuat Agnes tak nyaman. "Ada apa?" tanya Agnes ketus.
"Mana Clarissa? Biasanya kalian kaya duit sama dompet, nempel terus."
"Aku sedang buru-buru, Vin. Kalau emang ga ada yang penting, minggir!" ucap Agnes tegas.
Vino menurunkan kedua tangannya, mencium aroma parfum khas perempuan yang kuat namun tak membuat sesak hidung. "Barusan aku nelpon Claudio," ucap Vino tetiba.
"Terus? Apa urusannya denganku?" Agnes menoleh ke Vino, melihat temannya datar.
"Kamu tuh ga peka banget ya jadi cewek!" kesal Vino.
"Peka? Peka gimana ya, maksudnya?" Agnes kini membalikkan badannya, menyilangkan kedua tangannya.
"Kamu emang ga tahu apa gimana, ya? Padahal seluruh sekolah udah tahu kalo Claudio suka sama kamu! Tapi kamu kayak tutup telinga gitu, sih Nes?!"
"Terus urusannya sama kamu apa? Emangnya kamu siapanya Claudio? Ibunya? Ayahnya? Atau pengasuhnya? Sorry, aku masih punya urusan yang LEBIH PENTING dibanding ngurusin hal ga BERGUNA kaya gini!" delikan mata Agnes dan kata-katanya yang langsung menuju sasaran membuat Vino geram. "Jangan mentang-mentang kamu anak pemusik terkenal dan primadona sekolah ini, kamu bisa seenaknya bertingkah, Nes! Dio temanku, kalau emang kamu ga suka … tinggal tolak dia dan jangan kasih PHP!"
"PHP? Tolak? Helloooo! Dia ngomong aja ga pernah, gimana aku mau nolak dia? PHP dia? Mikir donk kalo ngomong! Udah, aku ga mau habisin tenaga dan waktu sia-sia sama orang kaya kamu! Mending kamu belajar aja sana, lihat universitas mana yang mau terima orang macam kamu!" Agnes menyeringai seakan mencibir-menyindir Vino.
"Dasar cewek blagu!" ucapnya ketika melihat punggung Agnes pergi dari hadapannya.
"Bla … bla .. bla … bla!" Agnes mengangkat tangan kanannya sembari mengolok-olok Vino.
'Hhhh, dasar cewek angkuh! Ngapain sih Dio suka sama cewek modelan Agnes?'