Chereads / Dendam Terindah / Chapter 21 - Rencana Perjodohan

Chapter 21 - Rencana Perjodohan

"Mami mau kamu menyambutnya?"

"Apa? Menyambutnya gimana maksud Mami?"

"Nanti kamu juga akan tahu, my dear." Senyum Abigail mengurai lebar.

Seminggu sebelumnya,

"Selamat datang, Nyonya Abigail." Seorang pria dengan tuksedo mendatangi Abigail yang tengah berbincang dengan Tuan Lame dan Paulina beserta ayahnya, Tuan Wardana.

"Malam." Sahut Abigail melihat pria itu penasaran. "Maaf, Anda siapa, ya?" tanya Abigail lagi.

"Lama tidak bertemu, Nyonya Abigail. Saya ragu jika Anda masih ingat dengan saya." Ucap pria bertubuh tinggi proporsional itu.

Tak ada jawaban dari Abigail, terlihat dia tampak sedang berpikir tentang pria di depannya kini. "Maaf, tapi saya tak mengenal Anda."

"Kalau begitu bagaimana jika saya menyebut nama Adi Golden Mining Company, apa Anda akan ingat saya?"

Abigail mengernyitkan keningnya. Tuan Lame yang melihat Abigail mulai tak nyaman, segera mengenalkan dirinya pada pria tersebut.

"Maaf, Tuan. Jika Anda tak keberatan, saya ingin memperkenalkan diri sebagai teman Nyonya Abigail. Nama saya Lame Nicholas." Tuan Lame mengulurkan tangannya.

"Saya tahu Anda, Tuan Lame. Pemilik Minerva Record Company. Senang bertemu dengan Anda."

Kali ini Tuan Lame yang mengarahkan pandangannya pada Abigail, namun wanita itu hanya tersenyum mengendikkan bahunya.

Tak lama, suami Abigail, George Laurel datang menghampiri sang istri. "Sayang, apa sudah selesai?" tanya George melingkarkan tangannya ke pinggang ramping sang istri.

"Selamat malam, Tuan George." Sapa ayah Paulina dan Tuan Lame.

"Lina, beri salam pada Tuan George, beliau adalah papinya Agnes," ujar Tuan Wardana.

"Selamat malam, Tuan George." Sapa gadis itu membungkukkan badannya.

"Malam," sahutnya singkat kemudian George langsung mengarahkan pandangannya pada lelaki berwajah Asia yang berdiri di depan sang istri.

"Anda-" Tunjuk George.

"Kenapa, Sayang? Apa kau mengenal Tuan ini?" tanya Abigail penasaran.

"Sepertinya aku pernah melihat wajah Anda di satu tempat dan wajah itu … rasanya tak asing lagi," ucap George mengingat keras.

"Apa kau pernah mendengar Adi Golden Mining Company, Sayang?" tanya Abigail lagi.

"Adi Golden Min- ah, ternyata Anda Tuan Adi Waksana!" serunya.

"Haha, akhirnya ada juga yang ingat nama saya." Senyum pria yang masih tampak gagah itu.

"Kau kenal, Sayang?" Abigail makin bingung.

"Tentu saja! Apa kau lupa dengan beliau? Bukankah dulu beliau tetangga dan putranya adalah sahabat baik Agnes?" George melihat Abigail tertawa kecil.

Abigail tak ingin berpikir keras untuk sesuatu yang banyak membuang energinya. Dia hanya mengiyakan apa yang dikatakan oleh suaminya.

"Bagaimana kabar Anda, Tuan George? Lama tak bertemu, kelihatannya Anda semakin sukses." Ucap Adi menepuk bahu sebelah kiri George.

"Haha, biasa saja, Tuan Adi. Justru yang saya dengar adalah perusahaan Anda sekarang yang terdepan dan menjadi perusahaan multinasional. Luar biasa!" Tawa George.

"Asal kerja keras, semua pasti bisa, Tuan George. Oh, ya ngomong-ngomong saya baru saja bertemu dengan Agnes. Dia sekarang sudah dewasa dan cantik seperti Anda, Nyonya Abigail."

"Di mana Anda bertemu dengan Agnes, Tuan Adi?" tanya Abigail.

"Ketika dia akan pergi ke toilet dan dia menabrak saya."

"Apa? Agnes menabrak Anda?" George tampak terkejut.

"Iya, tapi tak apa, Tuan George. Justru sayalah yang harus minta maaf pada putri Anda. Kapan-kapan saya akan mengundang kalian makan malam di rumah, karena kebetulan Bagas juga sebentar lagi akan kembali ke Indonesia untuk liburan."

Saat ini,

Agnes melihat mamnya yang diam sambil tersenyum kecil, membuat Agnes semakin curiga jika maminya memiliki niatan lain. Memang, Agnes tak lagi mudah percaya dengan maminya terutama setelah kejadian di Hotel Sampoerna malam itu.

"Agnes capek dan ngantuk, Mi. kalo ga ada yang dibahas lagi, Agnes mau tidur."

"Oh, oke! Istirahatlah, anak gadis Mami yang cantik. Pasti kamu lelah sangat kan?" Abigail bangun dari ranjang Agnes, mencium kening putrinya dan mematikan lampu kamarnya. "Mimpi indah, Sayang."

Saat Abigail telah keluar dari kamarnya, Agnes pelan-pelan membuka pintu kamarnya dan melihat wanita itu masuk ke kamarnya. Dengan langkah mengendap-endap, Agnes mendekati kamar kedua orang tuanya dan menempelkan telinga kanannya ke pintu kamar orang tuanya.

"Jujur saja, George aku masih tak percaya jika kita baru saja bertemu dengan Tuan Adi Waksana. Pria yang kabarnya telah menghilang selama 10 tahun dan tiba-tiba berdiri di depan kita, aku masih sedikit ragu apa benar itu dia." Ucap Abigail sambil membersihkan sisa-sisa make up di wajahnya.

"Kenapa kau ragu? Jelas-jelas itu adalah tetangga kita dulu. Menurutku tak ada yang aneh dengan 'menghilangnya' pria itu, karena sekarang kau bisa melihat seberapa besar perusahaan Adi Mining itu, Sayang. Aku malahan sempat kepikiran bagaimana jika kita jodohkan Agnes dan putra Tuan Adi Waksana?"

Abigail menghentikan tangannya, menoleh ke belakang melihat sang suami yang sedang membaca buku kesukaannya sebelum tidur. "Perjodohan? Kau sedang tak menyindir pernikahan kita, kan?" tanya Abigail curiga.

"Kenapa kau bisa berpikiran seperti itu, Abi? Aku sedang membicarakan Agnes, kenapa malah kau sangkut pautkan dengan kita?" George masih bersikap datar dan membaca bukunya.

"Tidak! Tak ada apa-apa." Abigail kembali membersihkan wajahnya, namun ternyata diam-diam George melirik sang istri sambil menyeringai.

Agnes yang mendengar tentang rencana kedua orang tuanya tentu saja sangat terkejut dan dia segera kembali ke kamarnya, menyelimuti tubuhnya, berpikir keras bagaimana mungkin orang tuanya memiliki pemikiran layaknya orang dulu?

"Apa-apaan mereka! Perjodohan? Bagaimana mungkin! Umurku baru 18 tahun dan … dan tak mungkin aku akan menikah di usia muda! Lagipula, Bagas … Bagas?" Agnes langsung bangun dari ranjangnya dan membongkar kembali album masa kecilnya yang disimpan di dalam sebuah box warna coklat tua yang diletakkan di bawah tempat tidurnya.

"Kala tak salah, aku pernah punya teman namanya Bagas. Tapi, apa iya Bagas itu …." Agnes cepat-cepat membongkar kardus miliknya dan membuka sebuah sampul album warna merah bata. Foto-foto yang banyak memperlihatkan masa kecil Agnes sewaktu masih tinggal di Inggris-Perancis-Brazil, hingga akhirnya menetap di Indonesia. Pelan dan teliti, kedua mata coklatnya memeriksa satu per satu tiap foto yang ada di lembaran foto itu. Senyum simpul tak sadar Agnes urai di wajahnya kala mengingat dirinya yang tak mau lepas dari gendongan mami. Lembar per lembar jemari panjang lentiknya membuka foto-foto tersebut hingga matanya berhenti pada salah satu foto yang memperlihatkan dirinya tengah duduk berduaan dengan seorang anak laki-laki bertubuh tambun, pipi chubby, berkacamata putih tebal, kaos warna pelangi dengan jeans baggy serta senyum yang memperlihatkan kawat gigi warna putih.

"Oh, my … apa mami-papi udah ga waras, ya mau menjodohkanku dengan pria seperti ini! Tapi, apa Bagas ini? Setahuku, aku tak punya banyak teman yang namanya Bagas dan nama Bagas hanya …." Agnes mendelikkan matanya, menutup mulutnya dan langsung menutup albumnya! Dia kembali ke kasur dan menyelimuti tubuhnya, berharap apa yang didengar tadi hanyalah halusinasinya.

"Tidak! Semoga itu hanya halusinasiku! Masalahku sudah banyak dan kenapa sih mereka punya pikiran macam zaman Siti Nurbaya!" gerutu Agnes.

***

Keesokan paginya, Agnes yang telat bangun, cepat-cepat pergi ke ruang makan dan tepat seperti yang dirasakannya, Abigail dan George telah menunggunya.

"Selamat pagi, Mi, Pi." Ucap Agnes menarik kursi berseberangan dengan Abigail.

"Pagi," sahut mereka berdua.

Suasana makan pagi yang serasa berada di pemakama, sepi dan sunyi. Kedua orang tuanya yang fokus pada gawai masing-masing membuat Agnes makin tak bernafsu menghabiskan sarapannya. "Agnes berangkat dulu, Mi, Pi." Buru-buru memundurkan kursinya.

"Agnes, duduk dulu. Papi mau bicara!" perintah George mengelap mulutnya.

"Ada apa, Pi? Agnes sudah hampir terlambat." Ucap Agnes melihat jam dinding di ruang makannya.

"Tak lama, kecuali jika kau memang mau membuatnya lama." Sahut George melirik tajam.

Dengan keadaan terpaksa, Agnes menuruti perintah papi. "Apa yang ingin Papi bicarakan?"

"Kami ingin kau temani Mami dan Papi berkunjung ke keluarga Waksana."

"Keluarga Waksana? Siapa itu keluarga Waksana?" tanya Agnes mengernyitkan keningnya.

"Pria yang kau tabrak ketika Mami mengadakan pertunjukkannya di Hotel Sampoerna," balas George.

"Pria yang Agnes tabrak? Agnes tak ingat."

"Dia-" Abigail segera memegang punggung telapak tangan suaminya memberi kode gelengan kepala.

"Nanti kamu juga tahu, Sayang. Yang pasti kamu akan senang bertemu dengannya lagi." Senyum Abigail.

Agnes sebenarnya tahu dan paham ke mana arah pembicaraan kedua orang tuanya, tapi dia tak mau gegabah dan ceroboh kali ini. Sambil tersenyum, Agnes berpura-pura mengiyakan permintaan kedua orangtuanya.

"Agnes mengerti, Mi. Sekarang Agnes berangkat dulu."

"Hati-hati, Sayang." Ucap Abigail melambaikan tangannya. "Untuk urusan ini, serahkan padaku George! Aku tahu apa yang akan kau katakan pada Agnes jika aku tak segera bertindak!" Lirik tajam Abigail.

"Buah tak jauh jatuhnya dari pohonnya," ucap George menyesap kopinya.

"Oh, jangan mulai lagi George. Masih terlalu pagi untuk memulai perdebatan."

"Siapa yang ingin mengajakmu debat? Aku hanya mengatakan yang sebenarnya. Bukankah Agnes adalah hasil perjodohan juga, Abi?"

"George!" Abigail mulai menaikkan nada bicaranya. "Tolong jangan sangkut pautkan masa lalu kita dengan Agnes! Dia tak ada hubungannya dengan masa lalu kita, OK!"

"Oh, jadi sekarang kau mulai peduli padanya?" Seringai George.

"Apa maksudmu?"

"Kupikir kau sama sekali tak acuh padanya."

"George! Jelaskan maksudmu!" paksa Abigail.

Namun George hanya diam dan mengambil jas hitam yang disangkutkan ke kursi makan. "Aku akan pulang terlambat. Oh, ya aku masih penasaran kenapa anak Wardana yang bermain denganmu dan bukan Agnes? Apa kau sengaja melakukannya, Abi?" Seringai George melirik sesaat dan berlalu meninggalkan ruang makan.

Abigail hanya diam, wanita itu dengans santai menyeruput teh hitam keesukaannya sambil menikmati alunan musik Tchaikovsky dari ponselnya.

***

Agnes yang telah tiba di sekolah berlari di sepanjang lorong sekolah yang telah sepi. Gadis itu melihat jam di pergelangan putihnya telah menunjukkan pukul tujuh kurang lima menit. Agnes menambah kecepatan larinya dan untunglah, tepat ia sampai di muka pintu, tepat bel sekolah berbunyi. Menarik nafas lega tiba-tiba dia mendengar suara pelan dan dalam seorang wanita yang sudah sangat dikenalnya.

"Kamu telat, Agnes?"

Agnes yang terkejut, menoleh ke belakang dan tepat berdiri wanita berambut panjang dengan mata tajam, alis hitam yang runcing layaknya Hakim Bao sambil membawa laptop hitam yang diapit oleh kedua tangannya.

"S-selamat pagi, Bu." Senyum simpul Agnes.

"Kamu telat?" tanya guru wanita yang terkenal dengan julukan Miss On Time tersebut.

"Eng-enggak, kok Bu. Ini may naruh tas, tadi ada yang diambil dulu." Kilah Agnes ditertawakan oleh sebagian teman-temannya.

"Kamu itu contoh di kelas ini! Kemarin kamu ke mana? Banyak guru yang melaporkan kamu hilang selama jam pelajaran?"

"Itu, anu Bu, saya kemarin ada di ruang UKS, tak enak badan," Agnes berusaha meyakinkan.

"Banyak alasan! Duduk sana! Dan nanti ke ruangan Ibu pas istirahat!"

Clarissa mengendikkan bahunya melihat Agnes berjalan ke kursinya. Ekspresi wajahnya terlihat muram, hingga membuatnya tak berani menginterogasi sahabat cantiknya itu. "Tumben, telat?" penasaran Clarissa akhirnya tak bisa membiarkan mulutnya lama tertutup.

"Jangan tanya macam-macam dulu, Class. Aku sedang banyak pikiran."

"Kelas tiga kan memang lagi sibuk-sibuknya," ucapnya pelan.

"Kamu ngomong apa?" sambar Agnes.

"Agnes! Clarissa! Kalau kalian masih sibuk rumpi, di luar sana!" Tunjuk Bu Jenny dengan suaranya yang menggelegar.

"M-maaf, Bu." Clarissa menundukkan kepalanya.

Agnes sama sekali tak bisa fokus sepanjang pelajaran, padahal ujian kelulusan hanya tinggal menunggu minggu. Tapi, justru di saat dirinya harus konsentrasi penuh malah dihadapkan pada masalah yang datang bertubi-tubi. Rasanya ingin sekali dia membalikkan meja di depannya. Geram dan sangat marah ekspresi wajah Agnes saat ini.

"Nes, kamu ga apa-apa?" tanya Clarissa sedikit khawatir.

"Aku benar-benar kesal dibuat oleh mereka!" ucap Agnes pelan-pelan bicara.

"Mereka? Mereka siapa?"

"Siapa lagi yang sering mengatur hidupku?! Papi dan mamiku!"

"Memangnya kenapa dengan mereka?"

"Kau tak akan percaya jika aku mengatakannya, Class."

"Apa? Jangan buat aku kepo dan mati penasaran!" gerutu Clarisssa.

Agnes menghela nafasnya dalam, "Jangan sampai kau teriak, atau kau akan kupukul!" ancamnya.

Clarissa mengernyitkan keningnya. "Apaan, sih! Bikin kepo aja! Tinggal bilang aja, sih!"

"Iya, bawel deh! Papi dan mami mau menjodohkan aku dengan entah siapa cowok itu. Aku sama sekali tak mengenalnya!"

"HAH!!!!!!" pekik Clarissa membuat semua mata tertuju pada mereka berdua.

"AGNESSSS … CLARISSAAA!! Keluar kalian!"