Paulina yang diantar oleh Dio tak sengaja dilihat oleh Agnes yang juga sedang berada di lobi tempatnya berlatih. Tak sengaja melihat wajah Dio saat dia menurunkan kaca mobilnya ditambah Paulina yang turun dari mobilnya, membuatnya merasa terbakar dan kesal. Saat Paulina baru masuk ke dalam akademi tersebut, dia terkejut melihat Agnes yang sedang duduk membaca majalah musik. Mengatur ritme napasnya, Lina meletakkan sepatu putihnya dan berjalan di depan Agnes canggung. Tak ada kata yang terucap, Agnes tetap menundukkan kepala membaca majalah d tangannya, sementara Lina segera bergegas ke dalam kelasnya.
Agnes menutup majalah di tangannya, melihat sang mantan sahabat berjalan santai tanpa penyesalan membuat Agnes semakin membencinya! Dia kemudian mengambil tas biola coklatnya dan menuju ke kelas yang sama dengan Paulina, kelas Nona Odele. Ketika masuk, Agnes melihat teman-teman sekelasnya mengerumuni Paulina memberikan ucapan selamat padanya karena bisa satu panggung dengan pemusik sekelas Abigail. Paulina yang melihat Agnes langsung terdiam dan kembali duduk membuka tas biolanya. Sementara teman-teman mereka saling pandang, ada yang berbisik pula di belakang Agnes. Gadis itu hanya mengepalkan tangan menahan malu dan marah yang sebenarnya siap meledak bagai bom nuklir kapan saja.
"Selamat sore, anak-anak." Untunglah Nona Odele tepat waktu hingga suasana dingin dan canggung segera cair.
"Selamat sore, Nona Odele."
Wanita 25 tahun itu kemudian melihat murid-muridnya dan menghampiri Paulina tiba-tiba. "Selamat ya, Lina." Senyum Odele.
"E-eh, a-apa Nona?" Lina berdiri dan terkejut.
"Sstt, kamu duduk saja. Ibu hanya ingin menyampaikan ucapan selamat karena kamu bisa bermain bersama dengan Abigail Juan Perero. Ibu benar-benar bangga. Tapi, Ibu tak hanya bangga pada Lina … pada kalian semua, Ibu juga bangga." Senyum Odele disambut tepuk tangan beberapa muridnya dan senyuman.
"Haha, jangan buat saya ingin muntah, Nona Odele!"
Kelas segera sunyi dan tatapan mereka menuju satu kursi, Gema Melody Agnesia.
"Agnes? Kamu kenapa?" Odele berlalu dari kursi Lina yang tak jauh dari Agnes. "Kamu kenapa, Nes? Apa yang mau kamu katakan?" tanyanya lagi.
"Tak ada yang ingin saya katakan, Nona Odele. Bukankah semuanya sudah jelas?" sindir Agnes melihat ke arah Paulina.
Odele yang langsung mengerti ucapan Agnes menepuk bahunya pelan dan berkata pelan, "Ke ruanganku setelah kelas usai."
Agnes terdiam sejenak. "Untuk apa, Nona? Jika ada yang ingin dibicarakan, bicarakan saja di sini! Tak perlu ada rahasia!" ketus Agnes.
Odele hanya menarik panjang nafasnya sambil memegangi keningnya. "Hah, susah jika emosimu masih belum stabil, Nes. Ibu tak ingin merusak mood bermainmu."
"Sebelum Nona mengatakannya …." Mata Agnes melirik tajam ke kursi yang diduduki Lina dan berkata, "Mood saya telah lebih dulu rusak!" Agnes keluar kelas membanting pintu kencang, membuat murid-murid lainnya terkejut dan bahkan salah satu dari mereka ada yang berkata, "Hah, mentang-mentang anak Abigail main seenaknya sendiri! Mungkin karena perangainya itulah kenapa dia tak dipilih oleh ibunya sendiri!"
"Hush! Jangan bicara ngawur kamu! Urus saja urusan kamu, ga usah kepo sama urusan orang lain!" sahut Odele tegas.
Lina masih terdiam menundukkan kepala, mengepalkan tangan. Tak mengerti kenapa dia harus mengalami semua ini. Tak mengerti mengapa dia yang dipilih oleh Abigail sementara hingga detik ini sang ayah, Wardana juga tak memberikan penjelasan apa pun padanya.
Agnes yang berada di luar kelas ternyata mendengar ucapan salah satu temannya yang menjelekkan dirinya. Ingin rasanya dia teriak, kedua tangannya telah mengepal kencang dan siap mendobrak pintu di depannya … melabrak yang tadi menjelekkan dirinya. Tapi Agnes memilih untuk pergi dan meninggalkan kelasnya.
"Nyonya, Nona Muda sepertinya meninggalkan kelasnya." Seorang pria dengan setelan jas hitam layaknya pekerja kantoran berkacamata hitam berada di sedan hitam mewah tak jauh dari parkiran La Toule Academy.
"Ikuti dia!" perintah suara seorang wanita di dalam mobil itu.
"Baik, Nyonya."
Agnes yang berjalan lunglai, pandangan kosong menatap ke bawah tak sadar jika dia sedang diikuti oleh sebuah sedan hitam di belakangnya. "Aku turun sini saja. Kau tunggu di mobil." Ucap wanita itu segera turun dari kendaraannya.
Agnes kini berada di atas gedung La Toule Academy. Gedung yang didesain dengan gaya bohemian dan memiliki atap yang biasa digunakan bersantai oleh murid-murid di akademi itu menjadi tempat favorit Agnes mengembalikan mood-nya.
"Dari kecil hingga dewasa, aku selalu merasa kesepian. Meski di tempat keramaian sekalipun, aku tak pernah bisa merasakan arti keramaian, hidupku benar-benar kosong. Ingin rasanya aku menyerah … aku benar-benar tak kuat lagi! Kepercayaan yang aku tanam di mami juga telah sirna. Aku tak percaya lagi dengan ucapan orang-orang yang selalu bermulut manis di depanku, tapi menusuk di belakang!"
"Jadi begitu kau menilai mami–mu, Nes?"
Agnes segera menoleh ke belakang dan melihat seorang wanita bergaun hitam panjang dengan clutch warna senada dengan topi lebarnya berdiri tegak menatap tajam ke arahnya. "M-Mami?" ucap Agnes terkejut.
"Bisa kau ulangi ucapanmu yang barusan?" Abigail perlahan berjalan mendekati putrinya.
Agnes menundukkan kepalanya. Dia mundur selangkah, menunjukkan ketakutan pada Abigail.
"Ayo, katakan sekali lagi. Kenapa diam? Mami dengar sangatt jelas kau mengatakannya, tapi kenapa sekarang malah diam?" Abigail memiringkan kepalanya, mengintip wajah Agnes yang terus ditundukkan. "A-apa maksud Mami? Agnes tak mengerti."
"Jangan belagak bodoh, Agnes. Mami dengar sendiri keluhan-keluhan tak berguna kamu itu!" Agnes seketika menegakkan kepalanya! Darahnya mendidih dan tangannya mengepal kencang.
"Keluhan tak berguna? Apa maksud Mami dengan kata itu? Apa selama ini Mami pernah memikirkan perasaan Agnes? Apa Mami pernah menanyakan keadaan Agnes? TIDAK! Mami hanya mementingkan popularitas dan citra! Mami hanya ingin menyanjung seseorang yang Mami bilang penuh bakat! Apa Mami tahu, anak yang Mami ajak ke atas panggung dan bermain dengan Mami adalah hasil ajaranku? Orang yang Mami banggakan adalah anak didikku!" teriak Agnes tak bisa menyembunyikan kekesalannya.
"Benarkah? Bagus, donk kalau begitu." Sahut Abigail tenang dan malah tersenyum.
"Kenapa … kenapa Mami malah tersenyum? Apa Mami sedang mengejekku?" kesal Agnes.
"Bagaimana mungkin Mami mengejek kamu? Apa sebuah senyuman terlihat mengejek bagimu, Nes?"
"Agnes muak Mami selalu seperti ini! Agnes muak dengan kata-kata Mami yang tak bisa dipercaya! Padahal Agnes telah menaruh kepercayaan besar pada Mami, tapi kenapa … kenapa, Mi? Kenapa Mami mengkhianati Agnes? Kenapa?!" teriak Agnes.
"Mami tak mengkhianatimu, Nes. Tak ada seorang ibu yang akan meracuni anaknya sendiri-"
"Benarkah? Apa Mami yakin dengan kata-kata Mami?" sindir Agnes menyeringai.
"Tentu saja. Apa kau ingin bukti?" tantang Abigail.
"Bukti apa? Agnes sudah lelah dan muak, Mi." Agnes segera turun dari atap dan kembali ke kelas.
Abigail tersenyum menyeringai sambil menggelengkan kepala. Tak lama, wanita yang identik dengan penampilan elegan dan classy itu mengeluarkan ponsel pintarnya dan menghubungi seseorang.
"Hallo, apa malam ini Anda punya waktu? Bisa saya bertemu dengan Anda? Akan saya kirimkan alamatnya di ponsel Anda."